KincaiMedia– Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi umat Muslim. Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam beragam karyanya menjelaskan bahwa puasa mengalami dua fase dalam proses disyariatkan sebelum menjadi tanggungjawab penuh seperti yang dikenal saat ini.
Kedua fase ini mencerminkan kebijaksanaan Allah dalam menetapkan hukum secara berjenjang agar lebih mudah diterima oleh umat Islam. Bulan Ramadhan adalah masa wajib puasa bagi umat Nabi Muhammad Saw.
Sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183. Selain itu, ibadah ini juga merupakan salah satu rukun Islam yang kudu ditaati oleh setiap pemeluknya.
Pelaksanaan puasa di bulan suci Ramadhan bukan hanya terbatas pada kegiatan menahan diri untuk tidak makan, minum dan menggauli istri saja, bakal tetapi suatu program Tuhan untuk melatih hamba-hambaNya agar selalu berupaya sabar, memperbanyak ibadah dan menghidupkan kepekaan sosial.
Kewajiban kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah puasa ini dimulai pada tahun ke-2 pasca hijrah Nabi Muhammad Saw ke Madinah. Namun terdapat fase syari’at yang menjadi tahapan puasa Ramadhan kudu dilakukan setiap tahun dengan ketentuan yang telah dikenal hingga saat ini.
Fase Disyariatkan Puasa
Menurut Syekh Dr. Yusuf al-Qardawi dalam kitab Fiqh al-Shiyam (hal. 19-21) dia menjelaskan bahwa terdapat dua fase disyariatkan ibadah puasa Ramadhan umat Nabi Muhammad Saw. Tahap yang pertama ialah fase Takhyir (pemilihan) dan tahap yang kedua ialah fase Tahtim (keharusan).
Dalam fase yang pertama, kaum muslimin yang telah mukallaf dan dinyatakan bisa secara bentuk diberikan pilihan untuk mengerjakan puasa alias tidak menunaikannya sama sekali. Pada masa ini tidak ada tanggungjawab untuk kudu melakukan ibadah tersebut.
Akan tetapi, terdapat ketentuan yang kudu terpenuhi di antara kedua pilihan di atas. Pertama, siapa saja yang memilih untuk berpuasa, maka dia kudu menyelesaikannya dan ini pilihan yang diutamakan. Kedua, untuk orang yang memilih tidak menjalankan puasa, maka dia wajib untuk bayar fidyah berupa pemberian makanan untuk orang yang miskin.
Kesimpulan ini diambil oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi dengan berdasarkan Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183-184:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas Anda berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum Anda agar Anda bertakwa. (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara Anda sakit alias dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.
Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib bayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan amal itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika Anda mengetahui.”
Selanjutnya, memasuki fase kedua, kaum muslimin diwajibkan untuk melakukan ibadah puasa tanpa diberikan pilihan seperti yang telah bertindak pada fase pertama. Ketetapan ini dimulai ketika wahyu Allah Swt pada ayat selanjutnya turun, ialah pada Surat Al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang kewenangan dan yang batil). Oleh lantaran itu, siapa di antara Anda datang (di tempat tinggalnya alias bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah.
Siapa yang sakit alias dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah Anda mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar Anda bersyukur.”
Syekh Yusuf al-Qardhawi menggunakan dua riwayat sebagai penguatan argumentasinya tentang kedua fase disyariatkannya puasa bagi umat Islam. Riwayat pertama berasal dari Salamah bin al-Akwa’ yang dikutip dari Kitab Shahih Bukhari dan Muslim.
Dalam riwayat yang pertama ini, al-Akwa’ menjelaskan bahwasanya ketika diturunkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ” alias bermakna, “Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib bayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin” bertindak ketentuan tentang kebolehan tidak berpuasa namun dibebankan pelunasan dengan perihal lain, ialah bayar fidyah. Sehingga pada akhirnya turun ayat setelahnya yang menghapus ketentuan tersebut.
Kemudian, riwayat yang kedua berasal dari Imam Muslim saja, sebagai pelengkap dari apa yang telah dijelaskan dalam riwayat pertama. Yakni, ayat yang turun untuk menghapus ketentuan kebolehan berpuasa alias tidak itu adalah “فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ” yang berarti, “Barang siapa di antara Anda datang (di tempat tinggalnya alias bukan musafir) pada bulan itu, maka berpuasalah.”
Selain itu, dalam sebuah hadits yang berasal dari Aisyah Ra disebutkan bahwasanya pada periode awal, kaum muslimin bebas memilih untuk berpuasa alias tidak. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَأْمُرُ بِصِيَامِ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ رَمَضَانُ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw pernah memberikan perintah untuk melaksanakan puasa Asyura’ sebelum turun hukum puasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi, ketika ibadah tersebut diwajibkan pada bulan Ramadhan, siapa saja boleh melaksanakannya ataupun tidak.
Demikianlah, sebuah proses perkembangan syari’at Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dinamika ini juga bertindak dalam penetapan tanggungjawab ibadah selain puasa.
Tidak ada sama sekali tuntunan ibadah dalam Islam yang diinstruksikan secara paksa terhadap para pemeluknya. Karena sejatinya kepercayaan ini datang sebagai kemudahan, bukan untuk mempersulit hidup. Wallahua’lam.