4 Macam Tawaf Dan Hukumnya

Sedang Trending 3 bulan yang lalu

Kincaimedia– Sebagaimana maklum, salah satu rangkaian haji dan umrah adalah ritual tawaf. Rupanya ada 4 macam tawaf nan mempunyai akibat norma nan berbeda.

 اعْلَمْ بِأَنَّ الطَّوَافَ أَرْبَعَةٌ ثَلَاثَةُ فِي الْحَجِّ وَوَاحِدٌ فِي الْعُمْرَةِ

“Ketahuilah bahwa tawaf ada empat macam. 3 macam dalam rangkaian haji. 1 macam dalam umrah”. (Al-Mabsuth hal: 34).

Pertama, tawaf qudūm. Nama lainnya tawaf al-Tahiyyat, tawaf al-Liqā, tawaf al-wurūd, dan tawaf awal al-bait. Itulah nama-nama tawaf untuk macam tawaf nan pertama. Tawaf tersebut digelar ketika baru sampai kepada baitul Makkah. 

Tawaf qudūm hukumnya sunnah menurut kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah. Sementara menurut kalangan Malikiyah hukumnya wajib. Argumentasi Malikiyah lantaran memahami sabda Nabi nan memerintahkan para sahabatnya untuk tawaf sebagai perihal nan wajib, argumen pertama. Kedua, tawaf dianalogikan dengan takbir dalam salat nan sama-sama menjadi pembuka ibadah: shalat dan haji (al-Kafī Fi Fiqh Ahli al-Madinah, 360).

Adapun sanggahan dari Hanafiyah ialah perintah tawaf sifatnya absolut nan tidak menyebut jumlah tertentu sehingga tidak menghendaki untuk diulang-ulang. Sementara ijmak mengatakan bahwa tawaf nan wajib ialah tawaf saat tanggal 10 Dzulhijjah alias hari nahr alias saat sholat idul adha dilaksanakan. Dengan demikian, tawaf nan dilakukan sebelum waktunya bukankah tawaf nan wajib.

Bantahan kedua, tawaf sama dengan pujian iftitah shalat. Ketika pujian sunah dalam iftitah shalat, maka tawaf juga sunah dalam ihram. Kesunahan tersebut bertindak hanya bagi orang-orang nan tidak berdomisili di Makkah, baik sedang ihram alias tidak ihram menurut Syafi’iyah.(al-Sarakhsi, al-Mabsuth [4/33]/ Nihayāt al-Zain 204).

Kedua, tawaf Ifādlah alias ziyārah. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa tawaf tersebut dinamakan ziyārah lantaran datang dari Mina sehingga berjamu ke baitullah nantinya bakal kembali lagi ke Mina dan tidak tinggal di Makkah. Sementara nama ifādlah lantaran bertolak dari Mina.

Tawaf ifādlah alias ziyārah merupakan salah satu rukun-rukun haji. Tidak ada ustadz nan memungkiri bahwa tawaf kedua ini adalah rukun dalam ibadah haji dan umrah Sehingga hajinya tidak bakal sempurna jika tawaf ini tak dilaksanakan dan tak bisa ditambal dengan dam alias denda (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 5/311).

Ketiga, tawaf wada’. Nama lainnya adalah tawaf shadr dan tawaf akhir ‘ahdin. Tawaf macam ketiga ini sunah hukumnya menurut kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah. Berbeda dengan Hanafiyah dan Hanbaliyah nan mengatakan wajib, sebagian Syafi’iyah juga mengatakan demikian.

Alasan nan mengatakan wajib adalah sabda Nabi melalui riwayat Ibnu Abbas nan menyatakan bahwa Nabi memerintahkan kepada sahabatnya untuk mengakhiri haji alias umrahnya dengan tawaf. Hanya saja, wanita menstruasi mendapatkan pengecualian untuk tidak melakukannya. Kewajiban ini juga hanya bertindak kepada orang nan bukan masyarakat Makkah.

Sementara argumen Syafi’iyah ialah qiyas. Di mana tawaf wada’ ini disamakan dengan tawaf qudūm nan sama-sama sunnah dan hanya bertindak kepada orang nan tidak bermukim di Makkah (al-Mabsuth, al-Sarakhsi, 4/35). Disisi lain, Malikiyah berhujjah bahwa wanita menstruasi boleh tidak tawaf dan tidak perlu bayar tebusan. Hal ini meniscayakan tawaf wada’ tidak wajib (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 122).

Keempat, ialah tawaf Umrah. Tawaf umrah ini adalah rangkaian rukun dalam ibadah umrah. Dan dalam ibadah umrah tidak ada tawaf wada’ alias shadr dan tawaf qudūm sebagaimana dalam ibadah haji. 

Imam al-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsuth (3/34) mengatakan bahwa seseorang nan sampai ke Baitullah mungkin untuk melakukan tawaf rukun dalam ibadah umrah sehingga tidak boleh melakukan perihal lainnya berbeda dengan haji. Di mana dalam ibadah haji ketika tiba ke Baitullah maka tak mungkin melakukan tawaf rukun lantaran belum tiba waktunya sehingga melakukan tawaf sunah sampai waktu tawaf rukunnya tiba.

Sedangkan tawaf wada’ dalam umrah menurut Muhammad Hasan al-Saibani, juga boleh dilakukan dalam ibadah umrah jika hendak pulang ke negaranya sebagaimana orang nan haji. Dalam kitab al-Mabsuth [4/35] Imam al-Sarakhsi menukil pendapat Muhammad Hasan al-Syaibanai.

 وَأَمَّا طَوَافُ الصَّدَرِ فَقَدْ قَالَ الْحَسَنُ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – فِي الْعُمْرَة طَوَافُ الصَّدَرِ أَيْضًا فِي حَقِّ مَنْ قَدِمَ مُعْتَمِرًا إذَا أَرَادَ الرُّجُوعَ إلَى أَهْلِهِ كَمَا فِي الْحَجِّ

“Tawaf al-shadr (wada’) sungguh Hasan al-Saibani mengatakan bahwa orang nan unrah juga berkuasa melakukan tawaf tersebut ketika hendak pulang ke daerahnya sebagaimana orang haji”.

Itulah 4 macam tawaf dalam rangkaian haji dan umrah. Sementara jika hanya memandang macam-macamnya tawaf itu sendiri, menurut Syekh Nawawi dalam kitab Nihayāt al-Zain [205], ada 7 macam tawaf sebagai berikut.

وأنواع الطّواف من حَيْثُ هُوَ سَبْعَة طواف الْقدوم وَطواف الْإِفَاضَة وَطواف الْوَدَاع وَطواف التَّحَلُّل وَطواف الْعمرَة والمنذور والمتطوع بِهِ

“Adapun macam-macam tawaf dari aspek tawaf itu sendiri ada 7. Tawaf qudum, ifadlah, wada’, tahallul, umrah, nan dinadzarkan, dan tawaf sunah”.

Selengkapnya
Sumber Bincang Syariah
Bincang Syariah