Jakarta -
Saat menginjak bangku Sekolah Dasar (SD), tentunya Si Kecil mempelajari mengenai cerita pendek (cerpen) dalam bahasa daerah untuk mengenal budaya Indonesia. Salah satu bahasa daerah yang mempunyai kekayaan cerita pendek adalah Bahasa Madura.
Dengan style bahasanya yang khas, cerpen-cerpen bahasa Madura bisa menyampaikan nilai-nilai budaya yang kaya dan mendalam. Cerpen dalam bahasa Madura tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga menjadi media untuk memahami kehidupan masyarakat Madura.
Berbagai cerita dalam bahasa Madura sering kali mengangkat tema-tema seperti kehidupan sehari-hari, budaya istiadat, hingga kisah moral yang sarat dengan pesan berharga. Keunikan cerpen tersebut terletak pada penggunaan kosakata dan ungkapan lokal yang memperkuat identitas budaya.
Dengan membaca alias mendengarkan cerpen ini, Si Kecil tidak hanya belajar tentang cerita, tetapi juga memperkaya pemahaman mereka terhadap bahasa daerah yang mulai jarang digunakan. Selain itu, cerpen berkata Madura juga memberikan kesempatan untuk lebih mengenal tradisi dan filosofi hidup masyarakat Madura.
Mempelajari cerpen dalam bahasa Madura juga bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan sekaligus mendidik. Gaya penulisannya pun sering kali condong ringan dan menghibur, sehingga menarik perhatian pada semua usia untuk menikmati setiap alur ceritanya.
Dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Madura Menunggu Getah Batu oleh Kemendikbudristek, terdapat cerpen bahasa Madura beragam tema yang dapat dipelajari Si Kecil:
1.Tahlilan
Karya: A. Hamzoh Fansuri B.
Berselang beberapa saat setelah azan asar dikumandangkan, rumah Pak Kerte sudah dipenuhi banyak огang meгeka duduk dalam posisi mellngkar. Tidak hanya orang-orang sekitar yang datang dan ingln mengikuti асагa tahllan ini, tetapi juga penduduk dari desa-desa terdekat.
Seperti pada umumnya, tahllan di desa Pak Kerte, orang-orang yang datang tanpa diundang. Mereka datang dengan hati yang lapang mendoakan yang sudah meninggal. Begitu рun рakaian уang mereka kenakan, sederhana dan apa adanya, sarung dengan warna mencolok, ada pula yang kusut. Веgitu pun dengan peci yang mereka pakai, beraneka warna dan corak. Аdа yang berwarna hitam, putih, merah, dan biru.
Seolah ada hukum tak tertulis dalam setiap acara, yang lebih dewasa dan tua akan memilih duduk di ruang tengah yang sudah digelari tikar, lengkap dengan rokok dalam gelas kaca dan kopi yang disediakan tuan rumah. Sementara itu, anak-anak dengan sendirinya duduk di tubir teras. Terlebih, ini hari ketujuh sejak almarhumal Suleha, anak sulung Pak Kerte meninggal.
Anak-anak itu tak peduli,yang terpikirkan anak-anak adalah bahwa di hari ketujuh mereka selalu membayangkan makanan enak-enak dan berkat yang memang disiapkan oleh Pak Kerte, lebih-lebih yang meninggal adalah putri pertamanya.
“Pasti cem-macem jajanan disediakan!” bisik seorang anak kepada kawan di sebelahnya. Beberapa orang berpaling, melirik tak senang kepada dua anak yang ribut tentang jajanan. Anak-anak pun menundukkan kepala, orang tua yang melirik tadi mengembuskan asap rokok sebelum kemudian buru-buru mematikan lantaran ustad yang diundang memimpin tahlil sudah datang. Pak Kertep dengan sigap menyambut dan mempersilakan duduk di tempat yang tak hanya digelari tikar,tetapi juga sajadah berlapis.
Sebelum membuka acara, ustad menebarkan pandangan ke sekitar ruangan, kemudian meminta izin kepada Pak Kerte untuk memulai.
“Assalamualaikum wr.wb. para bapak, saudara-saudara yang selalu dimuliakan oleh Allah Swt. Malam ini adalah malam ketujuh sepeninggal almarhumah Suleha binti Kerte.….” belum selesai kiai berbicara, ada seseorang menyeletuk. Sontak semua orang terkejut, menoleh, dan memandang kearah Paman Slamet. Pria agak tua, yang rumahnya hanya berjarak dua genting genteng itu menyeletuk. Suaranya sedikit bergetar lantaran bercampur dengan rasa malu.
“Saya minta maaf, Pak Kiai, saya sudah lancang. Jika diperkenankan, saya minta kegiatan tahlilan ini juga dikhususkan untuk mendoakan istri saya, Hamida.” Pertanyaan, permohonan, alias apa sebenarnya yang mau disampaikan Paman Slamet? Semua orang terkejut, saling menoleh, saling menatap, ada pula yang mengernyitkan alis, menggeleng gelengkan kepala, tidak paham dengan apa yang disampaikan Paman Slamet. Kiai yang bekerja memimpin tahlil menoleh kepada Pak Kerte selaku tuan rumah. Sementara itu, Pak Kerte hanya terdiam tanpa satu kata pun. Semua orang terdiam seperti batu nisan,sama-sama berpikir, menafsirkan kemauan Paman Slamet dan mengait-ngaitkan antara Suleha dan Bibi Mida.
Sudah bukan rahasia umum, orang-orang Madura sangat giat mengirimkan para wanita bekerja sebagai TKW. Di Desa Jamburingin, wanita jarang bersekolah hingga bangku SMP. Umumnya semua wanita berakhir sekolah di bangku SD. Hampir tidak ada satupun yang berguru hingga SMA.
Keadaan ini sebenarnya dialami wanita di seluruh desa yang ada di Madura. Bukan hanya lantaran kudu menjadi TKW,tetapi sejak mini wanita Madura sudah dijodohkan, dinikahkan, dan dijadikan seorang ibu. Bagi orang Madura, wanita dijadikan sebagai penopang keluarga.
Demikian juga dengan Bibi Mida, tahun 2000-an dia berangkat keluar negeri untuk menjadi TKW, sebelum kemudian disusul oleh Suleha, putri Pak Kerte. Tahun-tahun pertama di luar negeri, setiap bulan Bibi Mida giat mengirimkan duit penghasilan dari hasil jerih payahnya.
Ia juga kerap menelepon, berganti berita ini dan itu, tetapi yang sering diceritakan adalah manisnya bekerja di luar negeri, sehingga membikin yang mendengar mau menyusul menjadi TKW. Namun, suami Bibi Mida tidak mempunyai telepon sendiri, dia menerima telepon melalui pesawat telepon milik Pak Dulla, ayah saya.
Kebetulan, satu-satunya rumah yang memiliki pesawat telepon adalah rumah saya. Jadi sudah biasa dipakai, dipinjam, dan dibuat repot oleh banyak orang. Jarak rumah di sini cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya. Jadi ketika ada telepon dari luar negeri, saya maupun family di rumah kudu berteriak-teriak sembari berlari ke rumah Bibi Mida memanggilkan suaminya.
“Paman… Paman… Paman Slamet ada telepon dari luar negeri. Bergegaslah, Paman!" kata-kata seperti itulah yang sering diucapkan adikku jika memanggil suami Bibi Lida.
“lya…lya, tunggu sebentar, Nak. Katakan tunggu sebentar” jawab Paman Slamet sembari berteriak dari jauh dan menyibak sarungnya.
Anehnya lagi, om Slamet tidak datang sendirian ke rumah, ia bersama para tetangga. Ya, semua keluarga ikut serta, seakan telepon untuk suami Bibi Mida juga telepon buat mereka, sehingga keadaan rumah mendadak penuh. Semua orang ikut mendengarkan apa yang dibahas melalui telepon, meski sebenarnya mereka tidak mendengarkan secara langsung apa yang disampaikan Bibi Mida.
Orang-orang hanya mendengarkan bunyi Paman Slamet dan menerka-nerka apa yang sedang dibicarakan Bibi Mida dan suaminya. Jika penerima telepon tersenyum, semua orang juga ikut tersenyum. Penerima telepon tertawa, semua juga ikut tertawa cekikikan. Sebaliknya, penerima telepon menangis,semua juga ikut sedih.
Orang-orang tidak merasa malu meminta gagang telepon untuk ikut berbincang dengan Bibi Mida tanpa mereka peduli bahwa suami alias orang tuanya tetap merasa kangen kepada Bibi Mida. Yang tidak mendapatkan giliran berbincang dengan Bibi Mida, mereka menitipkan salam, alias sembari menyeletuk di dekat telepon.
“Da…Mida,bagaimana kabarmu, sehat kan?”
“Apakah Anda nyaman di sana?”
“Apakah majikanmu tidak pelit?”
“Bulan depan, Leha, anak saya bakal menyusulmu.” begitulah ucapan orang-orang yang ikut bersuara di dekat penerima telepon.
Setelah Bibi Mida menutup telepon, orang-orang kembali ke rumah masing-masing. Beberapa orang tetap ada yang duduk-duduk di balai milik Paman Slamet. Kini yang tersisa di rumah hanya aroma. Aroma yang tertinggal bervariasi, ada aroma minyak angin, balsem, minyak urut, daun sirih, dan adapula aroma jamu.
Bertahun-tahun Bibi Mida sudah tidak menelepon, Paman Slamet risau dan gelisah. Suami dan seluruh kerabat merasa bingung dan berupaya mencari info tentang keberadaannya. Mereka datang ke instansi tenaga kerja, dan bertanya kepada TKW yang baru saja datang bekerja dari luar negeri. Bahkan setiap tahun, mereka selalu berpesan kepada orang-orang yang naik haji, berambisi mereka bisa berjumpa dengan Mida di Arab Saudi. Namun semua upaya sia-sia.
Paman Slamet sudah kehabisan cara. la bingung kudu mengadu ke mana lagi. Pemerintah?Itu pun sudah sering kulakukan. Paman Slamet sudah datang ke Dinas Tenaga Kerja untuk menanyakan berita istrinya. Namun, untuk kesekian kalinya dia kudu mengelus dada. Sepuluh tahun lebih dia mencari berita tentang istrinya, tetapi jawabannya sama. Mereka selalu berputar-putar tanpa memberi berita yang jelas.
“Masih kami cari. Tunggu kabarnya, Pak!”
“Saya minta maaf, tetap belum ada kabar”
“Yang sabar, Pak Slamet. Dubes Indonesia tetap berupaya mencari informasi."
“Minggu depan, Dubes Indonesia bakal memberikan informasi.”
“Bulan depan …”
“Tahun depan … .”
“Banyak bermohon ya, Pak..”
“Braaakk!!!”
“Kapan janji itu ditepati? Kapan saya bisa menerima berita tentang istri saya. Kapan-kapan, hah!” Paman Slamet memukul meja. Kesabarannya mulai sampai ke ubun-ubun. Napasnya tersengal-sengal. Matanya melotot, merah membara memandang ke arah para petugas yang ada di instansi tersebut. Paman Slamet menatap orang-orang di Kantor Dinas Tenaga Kerja itu satu per satu. Celurit yang sudah diselipkan nyaris diarahkan kepada para petugas, umpama tidak segera saya halangi. Ya begitulah kejadiannya, tatkala saya menemani Paman Slamet menuju instansi keparat itu.
Sekarang sudah memasuki tahun kesepuluh Paman Slamet menunggu berita tentang istrinya, Bibi Mida. Padaku, om bercerita bahwa tahun ini merupakan lebaran ketiga tanpa berita dari Malaysia. Dua tahun lalu, istri saya berkabar. la berjanji bakal pulang pada saat lebaran, tetapi sudah dua janji dia ingkari. la tak kunjung pulang ke rumah. Setelah itu, dia tidak pernah lagi membikin janji. Mungkin merasa jauh lebih baik dibandingkan membikin janji, tetapi dia ingkari untuk ketiga kalinya.
Sekarang saya mengerti apa tujuan Paman Slamet. la merasa cemas nasib seluruh TKW Indonesia, termasuk kepada nasib istrinya. Itulah sebabnya, kenapa Paman Slamet meminta izin kepada ustad agar turut mendoakan, termasuk nasib istrinya, Bibi Mida.
Bibirku perlahan mulai terbuka,ingin berbicara. Saya pun mau meminta kepada Pak Kiai agar mendoakan istri saya. Tetapi lidah ini terasa berat. Dada begitu berat
Desau angin menyusup, mengiris dan menerbangkan aroma kembang sesaji, juga berkat, jajanan yang mulai dibagikan, terlebih sejenak lagi waktu buka puasa sudah tiba. Sementara itu, pikiran saya mengembara membayangkan istri saya, Bibi Mida dan Suleha, dengan langkah apa dan gimana mereka mati? Kami di Madura hanya bisa menerima berita bahwa orang-orang yang kami cintai meninggal dan alias tidak terlacak jejaknya.
Angin terus mendesir, mengusik bulu kuduk, dan menerbangkaningatan saya. Saya bagai terperangkap cerita, juga berita dari nasib istri saya dan TKW lainnya, termasuk Bibi Mida. Sementara, orang-orang yang hadir, yang awalnya terasa pengap perlahan mulai sejuk. Orang-orang yang terdiam mulai menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepertinya, semua penduduk sudah memahami maksud Paman Slamet. Wajah mereka seolah-olah menyetujui permintaan Paman Slamet. Sementara itu, Pak Kerte dan Pak Kiai juga mengangguk, tanda bahwa mereka pun mengizinkannya. Tahlil kemudian dilanjutkan kembali.
Tahlil tampak lebih khusuk dibandingkan biasanya. Bukan lantaran berkah yang sudah disajikan. Tetapi itu! Anak-anak yang baru saja belajar mengaji terlihat khusuk berzikir dan bertahlil. Bacaannya sungguh bergelombang. Mata terpejam menandakan kekhusukan mereka memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Doa tidak hanya ditujukan kepada Suleha, melainkan untuk Bibi Mida, istri saya, dan seluruh TKW Indonesia yang bekerja di luar negeri dan bernasib sama.
Suara zikir yang awalnya lirih tiba-tiba menjadi kencang. Sungguh terdengar mengerikan. Hal ini juga membuktikan bahwa tahlil kali ini berbeda dengan tahlil pada umumnya. Sungguh berbeda.
2. Kesurupan
Karya: Abd. Rahem
Sambil menyunggi rumput, berpayung terik, Haji Lukman dan orang-orang se kampung melangkah beriringan menuju rumah masing-masing. Peluh menetes dari sela kerutan dahi. Angin menerbangkan debu-debu dan mengayunkan rerumputan serta ilalang. Namun begitu, angin yang menerbangkan debu, mencecap ujung daun dan ilalang tak pernah bisa menjadikan udara panas menjadi dingin. Begitu pun para pengarit rumput, pantang pulang sebelum berpayung rumput untuk dibawa pulang hingga bunyi sapi piaraan tetap menggema.
Ketika iring-iringan itu melintasi pematang, Haji Lukman berhenti, sementara yang lainnya terus melanjutkan perjalanan. Sejenak Haji Lukman melepas caping dan bajunya yang basah oleh keringat. la meletakkan caping dan pakaiannya pada dasar balai yang terbuat dari anyaman bambu.
Sambil menarik napas panjang, Haji Lukman mengedarkan pandangan matanya ke bentangan sawah. Sambil mengawasi dan menikmati suasana sekitar, dia mengambil sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Kotak itu tidak terlalu besar sehingga bisa dimasukkan kedalam saku. Di kotak itu Haji Lukman menyiapkan tembakau. Siang itu, Haji Lukman menikmati lintingan tembakau dan membiarkan jalan pikirannya mengitari aliran-aliran sawah.
“Mari pulang, Pak Haji,” bunyi Morakip membikin Haji Lukman terkejut.
“Silakan, Cong'. Saya tetap mau rehat sebentar,” sahut Haji Lukman sembari membikin parikan dan berkidung. Tidak lama setelah lelahnya berkurang, dia memakai baju, menyunggi keranjang, lampau pulang.
Di kamar, Durahman sudah menunggu Haji Lukman pulang menyabit rumputdisawah. Sembari menunggu pamannya pulang, sesekali dia merebahkan tubuhnya. Sambil menyunggi keranjang, Haji Lukman menuju kandang untuk meletakkan rumput.
“Sudah lama, Dik?” Haji Lukman menyapa Durahman. “Sejak tadi,Paman,” sahut Durahman.
“Tunggu sebentar, saya mau mandi terlebih dahulu. Silakan minum kopinya.Tadi bibimu membuatkan sebelum saya berangkat kesawah,” ucap Haji Lukman sembari mempersilakan Durahman menikmati kopi.
Durahman tidak menyahut apa pun, pertanda jika dia menerima tawarannya. Sambil menyeruput kopi, dia menunggu Haji Lukman. Tidak lama kemudian, Haji Lukman datang dan menyalaminya.
“Sapi saya ditawar delapan juta, Dik” Haji Lukman mengawali pembicaraan sembari membenahi posisi peci hitam dan memasang kancing baju berwarna putih.
"Siapa yang menawarnya,Paman? Jika tidak terlalu butuh uang, tidak perlu Paman jual. Lebih baik om pelihara sampai beranak," sahut Durahman.
“Nah ya itu, anakku Mat Sa'i yang ada di pesantren saat ini memerlukan banyak uang. Sebentar lagi dia ujian,"kata Haji Lukman. Mat Sa'i, putra sulung Haji Lukman sudah lima tahun menjadi santri di Bangkalan. Sebentar lagi bakal menjalani ujian akhir madrasah.
"Saya tidak bisa menyuguhi apapun, Dik. Bibimu sedang pergi melayat,” ucap Haji Lukman sembari masuk ke dalam bilik tidurnya. Setelah keluar dari kamar, dia menunjukkan barang pusaka dengan panjang dua jengkal. Barang tersebut dibungkus kertas hitam yang jika dibuka aroma kembang melati langsung tercium.
Di Kampung Neggara, Haji Lukman terkenal mempunyai senjata tajam yang ampuh. Semua orang, apalagi sesepuh desa sangat mengerti tentang ini. Jimat tersebut merupakan warisan dari Kakek Pasar, sesepuh Haji Lukman. Kabarnya, pusaka itu juga bisa tahu jika bakal ada seseorang yang bakal menawar sapi hingga lima belas juta rupiah.
Di kampung ini, Haji Lukman juga dijadikan sebagai panutan. Selain kaya, dia juga terlihat gagah dengan postur tubuh tinggi besar dan berkumis baplang. Haji Lukman juga sangat dermawan. la baik terhadap semua tetangga dan dikenal berperilaku santun.
Jika ada penduduk yang mau mengadakan acara, Haji Lukman biasanya menjadi tempat untuk dimintai pendapat. Misalnya ada kekurangan dana, Haji Lukman tidak segan-segan memberikan bantuan. Sifat-sifat seperti itulah yang membuatnya disegani banyak orang.
Bagaikan periuk berjumpa tutupnya. Istri Haji Lukman, Hajah Nawati tergolong wanita dermawan, cantik, dan alim kepada suaminya. Sambil membuka balut peralatan yang dibawanya, Haji Lukman berbicara "Saya mau menitipkan pusaka ini, Dik" kata Haji Lukman. Durahman kaget memandang pusaka keris elok tiga.
“Bagaimana, Paman, jangan titipkan kepada saya,” Durahman seperti menolak permintaan Haji Lukman.
“Tidak apa-apa, Dik. Kamu cukup merawat pusaka ini. Kamu tidak usah takut. Siapa tahu saya meninggal lebih dulu,” ucap Haji Lukman. Pusaka itu lampau diserahkan ke Durahman. Wajah Durahman tampak pucat dan linglung. Tangannya gemetar ketika menerima pusaka itu.
“Tetapi,kamu jangan sampai lupa, Dik. Setiap malam Jumat, pusaka ini kudu Anda bakar dengan dupa. Kelak, Anda berikan pusaka ini kepada putra pertamaku, Mat Sa'i jika dia sudah dewasa. Serahkan pusaka ini tepat pada malam Jumat manis setelah pukul 00.00," ucap Haji Lukman.
“Baik, Paman,” jawab Durahman sembari mengangguk.
“Sebelum diberikan kepada Mat Sa'i, mandikan pusaka ini dengan air tujuh sumber dengan kembang tujuh rupa dan warna. Baca salawat sebanyak sebelas kali tanpa bernapas. Lalu Anda konsentrasi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan niatkan dalam hati, tiada kuasa selain Allah yang Maha Pengasih," ucap Haji Lukman dengan penuh kepercayaan kepada Durahman.
“Tidak ada lagi warisan yang bisa saya serahkan kepada anak cucu. Saya berambisi pusaka ini tidak jatuh ke tangan orang lain. Kamu juga kudu ingat, Dik, jangan sampai pusaka ini membuatmu sombong dan angkuh, apalagi beriktikad melakukan hal-hal tidak baik. Sebab, pusaka ini merupakan pusaka turun-temurun para leluhur keluarga, ialah Buyut Pasar. Selain itu, pusaka ini ada penunggunya.”
“Pusaka ini berjulukan Malathe Sato'or. Nama Keraton Sumenep, dari Pangeran Banuwaju. Pada suatu ketika, pusaka ini hilang tanpa sebab, tetapi dengan bacaan Surah Kulhu, pusaka ini bisa kembali.
Hari Kamis, menjelang sore, Durahman berangkat ke sawah mengarit rumput. Keranjang yang dia bawa belum terisi penuh, tiba-tiba dari arah selatan, Syamsuni putranya berlari sembari memanggil-manggil. Durahman tercengang dan terkejut. Tidak biasanya dirinya dijemput.
“Pak, Pak, cepat pulang, Pak,” ucap Syamsuni dengan napas tersengal-sengal.
“Ada apa, Nak?” tanya Durahman sedikit kaget.
“Paman, Pak, Paman, Pak Haji, Pak”, Syamsuni tetap susah bernapas.
“Ada apa dengan, Paman?” Durahman bingung.
“Paman Haji meninggal dunia, Pak,” Syamsuni berlinang air mata. Tak banyak tanya dan kata, Durahman berlari menuju rumah. Arit dilemparkan dan keranjang pun dia tinggalkan.
Setibanya di rumah Haji Lukman, banyak orang berdatangan. Terdengar bunyi isak tangis melepas kepergian Haji Lukman. Bibi Nor pingsan. Ada tetangga yang mengaji, ada pula yang tidak kuasa menahan tangis. Sebagian penduduk ada yang merawat Bibi Nor.
“Sa'i, pulang, Nak. Kamu selalu dirindukan ayahmu,” ucap Bibi Nor ketika dia sadar. la berbicara seperti orang linglung. Sesekali dia berteriak seperti orang kesurupan. Tidak lama, dia pingsan lagi. Banyak wanita yang menjaga dan memegang Bibi Nor. Ada yang mengusapi ubun-ubun Bibi Nor dengan air. Namun, ada pula yang berzikirdi sebelah Bibi.
“Kamu kerasukan ayahmu. Jika datang dari sawah,kamu langsung mandi," Bibi Nor mulai meracau. Baru saja sadar, dia kemudian pingsan kembali.
“Innalillahi wainna ilaihirojiun, rupanya tadi itu Anda pamit kepadaku, Paman?” gumam Durahman sembari menangis.
“Kata Bibi,paman itu kesurupan. Paman mengeluh badannya terasa sakit dan meriang sepulang ayah dari rumah paman,” cerita Syamsuni kepada bapaknya.
"Ini sudah takdir. Pergilah Anda ke pesantren, Nak," Mat Sa'i”Durahman menangis sembari sesegukan.
“Baik,Pak,” Jawab Syamsuni sembari menangis.
Empat puluh hari setelah kepergian Haji-Lukman,Du-rahman pergi ke rumah Mat Sa'i. Sekitar pukul sepuluh malam. Durahman ditemui oleh Mat Sa'i. Suasana tampak sepi. Tak ada bunyi orang satu pun.Hanya Bibi Nor yang sudah tidur pulas. Keadaaan sunyi sepi. Yang terdengar hanya bunyi belalang, jangkrik, dan hewan lainnya.
Di kamar, Durahman dan Mat Sa'i saling bercerita. Bercerita tentang sawah, sapi, perjalanan Mat Sa'i ke pondok pesantren, hingga tentang Haji Lukman menjelang ajal. Ketika bercerita Haji Lukman, bunyi memirik mulai terdengar. Waktu menunjukkan sekitar separuh satu malam. “Saya mau menyampaikan amanah dari ayahmu, Nak," ucap Durahman.
“Silakan, Paman. Amanah apakah yang dititipkan ayahku kepada Paman?”
Durahman langsung mengeluarkan sebuah peralatan dengan panjang sekitar dua jengkal. Barang itu dibungkus kain hitam. “Barang ini saya terima dari ayahmu, Nak. Sehari sebelum kepergiannya. la meminta saya menyerahkan peralatan ini kepadamu,” kata Rahman. Mat Sa'i lampau menangis sesegukan memandang peralatan itu lantaran terkenang kepada ayahnya.
"Ауо kita ke halaman," uсар Durahman
Tengah malam, sekitar pukul satu, tak ada seorang pun di sekeliling rumah. Hanya Durahman dan Mat Sa'i di halaman. Mat Sa'i duduk bersila menghadap ke Barat. Semua perlengkapan yang dibutuhkan sudah disediakan. Sesuai dengan amanah Haji Lukman, ada kemenyan, air tujuh sumber; dicampur dengan kembang tujuh rupa dan tujuh warna.
Setelah membakar dupa, bibir Durahman tampak komat-kamit membacakan sesuatu. Setelah itu, Mat Sa'i dimandikan. "Ini, Nak, wasiat dari ayahmu. Pusaka ini berjulukan Malathe Sato'or nama Kabupaten Sumenep dari Pangeran Banuwaju."
Tangan Durahman tampak gemetar ketika menyerahkan pusaka itu Mat Sa'i pun juga gemetar. "Ayahmu juga berpesan jangan sampai pusaka ini Anda gunakan untuk niat-niat yang tidak baik dan jangan lah Anda berkarakter sombong. Pusaka ini merupakan leluhur family ayahmu yang juga seorang Buyut Pasar Pusaka ini ada penunggunya. Misal, pusaka ini lenyap lantaran Anda lupa meletakkannya, alias mungkin ada karena lain, Anda cukup membacakan surah kulhu sebanyak tiga kali. Lalu Anda panggil malathe sato'or, insyaallah pusaka ini bakal kembali dengan sendirinya," Mat Sa'i hanya mengangguk.
Waktu semakin larut, ayam mulai berkokok, pertanda subuh bakal segera tiba. Burung hantu bersuara dan berterbangan kesana kemari. Suara memirik semakin ramai. Durahman pamit pulang.
3. Mengingat Kemerdekaan Indonesia
Ilustrasi/ Foto: Getty Images/rudi_suardi
Karya: Amirul Muttaqin
Malam itu, malam Jumat wage. Saya berbareng adik-adik pergi mengunjungi rumah Kakek Sulaiman. “Assalamualaikum …”
“Waalaikum salam..wah cucu-cucu saya sudah besar. Duduk..duduk, Nak."
Kakek Sulaiman menerima kami dengan bunyi yang tidak begitu jelas. Suara Kakek terdengar serak. Maklum, kakek sudah sepuh.
Tahun kelahiran kakek bertepatan dengan seremoni para pejuang bangsa Indonesia. Usia kakek saat ini kurang lebih 90 tahun. Namun, semangat kakek tetap membara dalam menegakkan kebaikan bangsa Indonesia.
“Nak…kalian ini termasuk anak-anak muda. Badan kalian bakal bertambah besar dan pikiran kalian tetap sangat kuat, belum pikun. Kakek ini sudah sepuh. Nanti, kalian yang bakal meneruskanku," ucap kakek kepada saya dan adik-adik.
Saya bisa dikatakan sebagai cucu kakek yang paling besar dan kudu mengajarkan kebaikan kepada adik-adik, serta bertanggung jawab menegakkan kebaikan untuk bangsa dan negara. Menegakkan kebaikan bangsa ini sama halnya dengan memihak bangsa Indonesia seperti yang terjadi pada tahun 1945. Tahun ini, tepat pada tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia terbebas dari kolonialisme Belanda.
Kakek sering menceritakan kepada kami orang-orang yang memihak bangsa Indonesia, terutama para pejuang dan pahlawan bangsa. Ketika saya berada di rumah kakek, selalu diceritakan tentang kemerdekaan bangsa Indonesia yang bakal dirayakan setiap tanggal 17 Agustus.
"Nak…ketika era kolonialisme Belanda, banyak masyarakat memihak bangsa Indonesia dari penindasan kolonialis Belanda yang begitu sengit. Orang-orang pada era dulu tidak takut meninggal dalam memihak bangsa Indonesia.
Ditambah lagi, pada era dulu tidak ada senjata api seperti sekarang ini. Senjata yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam melawan kolonialis Belanda adalah bambu yang diruncingkan. Senjata ini sekarang dikenal dengan julukan tombak. Sementara orang yang berani melawan kolonialis Belanda disebut Pahlawan," Kakek bercerita penuh semangat hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat tiga puluh menit.
Kakek tetap antusias untuk melanjutkan cerita tentang gimana masyarakat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.“ Kakek tidak istirahat? Sekarang sudah pukul sepuluh malam lebih."
“Ya begitu itu kakekmu, Nak. Kalau sudah membahas tentang bangsa Indonesia, tidak ada yang bisa menghentikannya. Kalau hanya tiga jam, sepertinya tetap kurang untuk bercerita," sahut Paman Parman sembari menonton televisi di sebelah bilik menyela perkataanku kepada kakek.
Benar juga ucapan Paman Parman. Kakek mulai bercerita kepada kami mulai selepas salat isya sampai nyaris pukul sebelas malam. Cerita pun belum usai. Saya yang duduk di balai depan sudah terasa mengantuk. Namun, lantaran kakek begitu antusias saya pun ikut semangat mendengarkan ceritanya.
Kakek sungguh-sungguh bersemangat. Saya pun mau meniru semangat juang beliau dalam memperjuangkan bangsa Indonesia.
Adik-adikku sudah terlelap. Namun, saya tetap saja semangat untuk bertanya tentang kejadian pada era dulu dan apa pula yang dimaksud pahlawan dalam cerita kakek.
Bagi Kakek Sulaiman, pahlawan diartikan dua hal. Yang pertama, pahlawan Indonesia. Pahlawan Indonesia ini orang yang memihak negara dan bangsa Indonesia. Lebih-lebih dalam merebut kemerdekaan.
Pahlawan-pahlawan yang merebut kemerdekaan, seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, R.A.Kartini, dan sebagainya. Yang kedua, pahlawan daerah, seperti Ke'Lesap dan seterusnya.
Banyak pengetahuan yang diperoleh dari Kakek Sulaiman. Dari cerita kakek, saya banyak mengetahui sejarah-sejarah kemerdekaan Indonesia dan para pejuang alias pahlawan Indonesia.
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Kakek tetap saja bercerita. Namun, mata sudah tak tahan lagi, sampai tidak terasa, saya tertidur meninggalkan kakek yang tetap bercerita tentang perjuangan bangsa Indonesia.
Tanpa terasa sinar pagi mulai terbit dari Timur. Saya berbareng adik-adik berpamitan pulang kepada kakek. Di dalam perjalanan, saya memandang banyak bendera merah putih. Bendera itu untuk memperingati kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 17 Agustus. Warga biasanya meramaikan kemerdekaan dengan beraneka ragam lomba, seperti lomba lari karung, panjat pinang, tarik tambang, dan lain-lain.
Sesampainya di rumah, saya langsung berangkat ke sekolah. Di sekolah, saya diminta Pak Trio, Kepala Sekolah Yayasan Al-Karomah untuk menyiapkan kegiatan 17 Agustus. Yayasan Al-Karomah ini merupakan Yayasan SMA yang ada di sebelah Timur dari rumah saya.
Dalam menyiapkan kegiatan 17-an, para pembimbing di Yayasan Al-Karomah, terutama pak Trio berambisi kepada semua siswa untuk ikut memeriahkan. Sebab, para pembimbing bisa mengingatkan kepada para siswa mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tanggal 17 Agustus yang dinanti-nanti murid, guru, dan masyarakat telah tiba untuk dimeriahkan. Sepanjang jalan sudah dipenuhi dengan lampu berwarna-warni dan bendera merah putih dengan beraneka ragam ukuran. Ada yang kecil, sedang, dan besar.
Paman Parman yang biasanya hanya menjual alat-alat tulis menjelang 17 Agustus, ikut menjual bendera dan lampu kelap-kelip. Ada yang berwarna merah, kuning, biru, dan putih. Singkatnya, semua orang turut memeriahkan hari kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tanggal 17 Agustus kurang tujuh hari. Lomba-lomba di setiap yayasan pun sudah dimulai, khususnya di SMA Al-Karomah. Banyak teman kelas ikut lomba yang sudah disiapkan.
Seperti lomba tarik tambang dan panjat pinang. Saya juga mengikuti lomba itu dan merasa sangat senang karena saya bisa merasakan betul bahwa para pahlawan Indonesia ini patut diteladani dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
4. Sapi Kurban
Karya: Amirul Muttaqin
Lebaran Idul Adha tetap separuh bulan lagi, tetapi di Pasar Keppo sudah ramai orang menjual sapi kurban.
Tidak seperti biasa, hari ini Pasar Keppo sangat ramai. Harga sapi kian bervariatif, mulai dari nilai lima juta sampai dengan belasan juta rupiah. Harga sapi yang dijual di pasar, khususnya di Pasar Keppo mulai naik. Jika sebelumnya nilai jual sapi hanya tujuh juta rupiah, sekarang naik menjadi delapan juta rupiah.
Menjelang lebaran Idul Adha memang menjadi hari baik bagi para penjual sapi kurban, khususnya bagi pedagang sapi. Para pedagang sapi dari beragam kota berkumpul di Pasar Keppo. Pasar yang merupakan tempat menjual sapi yang sudah sangat terkenal di Kabupaten Pamekasan.
Tepat pada hari Selasa, banyak pedagang menawarkan sapi-sapinya. Tidak ketinggalan juga Matra'ie, pedagang sapi dari Desa Camplong, Sampang yang banyak dikenal orang. Sebagian besar penduduk Desa Camplong meminta support Matra'ie untuk membelikan sapi.
Di saat berbarengan Matra'ie juga memasarkan dua pasang sapi dagangannya. Dua pasang sapi tersebut sudah ditawar oleh Haji Sulaiman seharga enam juta lima ratus ribu rupiah per ekor sapinya.
“Kak Mat. sapi yang diikat di samping pohon mangga ini sudah ditawar berapa?” tanya pamanku kepada Matra'ie.
“Sapi itu sudah ditawar enam juta lima ratus ribu rupiah oleh Haji Sulaiman. Ada apa? Apa Anda mau membeli sapi?”
“lya,” ucap om sembari menghitung duit yang ada di dompetnya.
“Oh. jika Anda memang mau membeli sapi, sebaiknya jangan sekarang Dik. Soalnya saat ini nilai sapi sedang melambung tinggi. Kalau untuk dipelihara, sebaiknya membeli ketika nilai sapi mulai normal. Tenang saja, kelak pasti saya temani.”
“Tidak, Kak. Saya mau membeli sapi untuk disumbangkan ke Masjid Siratal Mustaqim di Selatan Nagger sebagai hewan kurban.”
“Oh ya, sebaiknya saya membeli sapi sekarang. Sementara sapi ini biar dipelihara terlebih dahulu."
“Iya. lagi pula saya mau meminta tolong kepada Paman untuk mencarikan sapi dengan ukuran sedang sesuai dengan biaya yang saya miliki untuk dikurbankan. Jangan terlalu mahal," ucap Paman Sofyan kepada Matra'ie yang tetap menunggu kehadiran Haji Sulaiman.
Tidak lama kemudian, Haji Sulaiman mendatangi Matra'ie. Haji Sulaiman sekaligus membawa duit yang diletakkan dalam sebuah toples berwarna kuning kunyit. Setelah itu, dia menyerahkan duit sebesar tujuh belas juta rupiah kepada Matra'ie.
"Ini Mat uangnya," ucap Haji Sulaiman sembari menyuruh anak buahnya untuk membawa dua pasang sapi yang dibawa Matra'ie.
Matra'ie yang memang lihai memilih sapi dengan kualitas bagus dan dengan nilai murah, saat ini menawarkan sapi Paman Sofyan kepada pedagang sapi lainnya.
Hari telah panas bagai bara yang baru padam dari api. Perutku mulai keroncongan, tetapi Paman Sofyan tetap belum menemukan sapi yang cocok.
“Duh…ayo kita pulang Paman Yan. Dari sekian sapi yang sudah dicarikan oleh Paman Matra'ie, apakah tidak ada satu pun yang cocok untuk paman?" tanyaku kepada Paman Sofyan.
“Bukan tidak cocok, Nak. Tapi harganya terlalu mahal. Uang yang om bawa tidak cukup untuk membelinya. Paman hanya membawa duit enam juta rupiah. Sementara nilai sapi yang ditawarkan Kakak Mat sejak tadi di atas enam juta rupiah. Bukankah begitu, Kak Mat?" kata Paman Sofyan kepada saya dan Paman Matra'ie sembari berbincang-bincang yang baru saja melepas lelah.
Setelah beristirahat sebentar, saya, Paman Sofyan, dan Matra'ie melanjutkan mencari sapi dengan nilai sekitar enam jutaan. Waktu nyaris menunjukkan pukul dua belas, tetapi Paman Sofyan belum juga menemukan sapi yang pas dengan isi kantong.
"Mat, Mat, Anda mau membeli sapi ya? Ini ada sapi mau dijual dengan nilai lima juta lima ratus ribu rupiah. Bagaimana, apakah Anda mau? Kalau tidak mau, ya tidak apa-apa, biar saya saja yang membeli" ucap kawan sesama pedagang Matra'ie.
Ada di mana sapinya sekarang?" jawab Matra'ie kepada Buyan, kawan pedagang yang tadi menawarkan sapi kepadanya.
“Ada di sana. Ayo kita lihat! Siapa tahu cocok buatmu, tetapi jika menurutku sih lumayan."
Saya, Matra'ie, dan Paman Sofyan menuju ke tempat sapi itu berada. Sapi yang ditawarkan dengan nilai lima juta lima ratus ribu rupiah menghadap ke selatan. Kepalanya mengangguk-angguk seperti sapi sonok yang sedang dipajang.
“Paman sapi ini cocok jika mau dijadikan hewan kurban. Sapi ini gemuk. Jika sapi ini disembelih pasti banyak dagingnya," ucapku kepada Paman Sofyan yang tetap ragu.
Tanpa pikir panjang, Paman Sofyan mengeluarkan duit dari saku celana yang beristleting.
“Baiklah, Kak Mat, saya beli sapi ini. Coba Kak Mat tanyakan lagi, siapa tahu tetap bisa ditawar lima juta rupiah,” ucap Paman Sofyan kepada Matra'ie.
“Sudah tidak bisa ditawar lagi.Harga sapi tetap minta segitu, Dik. Saya tidak pernah bermain harga, apalagi sekarang hari sudah siang,” pedagang sapi yang tanpa sengaja mendengar percakapan Paman Sofyan dengan Matra'ie langsung menjawab jika nilai sapi tidak bisa ditawar lagi.
Setelah keduanya sepakat dan duit sudah dibayarkan, Paman Sofyan menaikkan sapinya ke atas pikap berwarna putih milik Matra'ie. Sapi yang sudah dinaikkan ke pikap dibawa oleh Matra'ie ke rumah Paman Sofyan yang hanya berjarak satu meter dari rumah Matra'ie.
Lebih dari separuh hari, Paman Sofyan baru mendapatkan sapi bagus yang sesuai dengan nilai yang dinginkan untuk dikurbankan. Saya yang juga ikut mencari sapi ke pasar merasa lapar. Perut sudah keroncongan seperti bunyi seronen yang sedang ditiup.
"Mang, sebelum Anda pulang mari kita makan. Saya juga sangat lapar”
Saya yang sedari tadi sudah menunggu tawaran makan dari Paman Sofyan merasa sangat senang. Mulai berangkat ke Pasar Keppo, saya belum sempat sarapan.
“Mau beli makan di mana, Paman?”
"Ayo beli di warung Buk Cepot. Rasanya lebih enak. Porsi nasi lebih banyak dan harganya murah."
"Memang harganya berapa, Paman?"
"Kalau tidak salah lima ribu rupiah"
“Ayo! Saya sudah lapar.”
Setelah makan di warung Buk Cepot, saya dan paman pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Paman Sofyan ditanya oleh para tetangga lantaran mendapatkan sapi bagus dengan nilai murah.
“Yan, beli di mana sapi ini? Bukankah sekarang harga sapi mahal?" kata Nenek Nyai kepada Paman Sofyan.
“Benar Nyai, nilai sapi sekarang memang mahal. Kebetulan ada yang menawarkan sapi dengan harga murah karena butuh uang, Pedagang sapi itu juga kenal dengan Matra'ie," jawab Paman Sofyan.
Sapi yang dibeli di pasar masih dipajang di depan rumah. Dua belas hari lagi, sapi ini siap dijadikan kurban di Masjid Siratal Mustaqim. Masjid yang berada di sebelah selatan rumah.
5. Teman Pondok
Karya: Andi Fathorazi
Saya baru pulang dari masjid. Di laman yang luas, saya memandang seorang laki-laki sedang melangkah menuju pondok.
Wajahnya menunduk seperti seseorang yang sedang menghitung seberapa banyak kebaikan ibadahnya.
Yang saya tahu, Anda berjulukan Ahmad. Cara melangkah sangat mirip. Menunduk sembari memandang debu yang beterbangan. Kamu melangkah nyaris tanpa suara. Saya hanya bisa melakukan kebiasaan lama, tempat di mana saya pernah dibesarkan. Suatu ketika Anda berkata, hidup ini kudu mengikuti langkah nabi.
"Seperti inilah langkah melangkah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh nabi, bukannya tolah-toleh. ”Sungguh sangat sempurna, jika kita hidup sesuai dengan apa yang nabi ajarkan,hati terasa bersih. Manusia bisa suci dari dosa. Setiap apa yang kita lakukan mendapatkan pahala.
“Saya mempunyai golongan pengajian yang mengajarkan tentang semua itu. Apakah Anda mau ikut, Man?"tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan. Saya mau membersihkan hati dari karah dunia. Saya mau mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Saya tidak mau menyia-nyiakan hidup tanpa arti. Saya juga tidak mau hati saya terjebak hanya dengan urusan duniawi yang tiada makna. Caramu menjaga diri seperti air di tengah panas kehidupan.
“lya, saya ikut. Tapi, kapan acaranya, Mad?” Anda menjelaskan panjang lebar. Kamu yang menceritakan bahwa Masjid An-Nur berada di sebelah selatan pondok. Umumnya yang mengikuti pengajian ini para santri." Ceramah yang diberikan tidak pernah melenceng dari Alquran dan hadis, seru. Nanti kita bakal semakin memahami lslam melalui pengajian itu.”
Kamu memang orang yang taat beribadah. Dari sikap dan perilakumu, saya memandang Anda memang sosok yang berbeda dengan teman yang lain. Kamu tidak banyak tingkah. Hidup sederhana. Kekuranganmu hanya satu, tidak bisa diajak bicara selain tentang ibadah. Masalah politik, misalnya, mendadak otakmu langsung tidak nyambung. Namun, jika ditanya soal ibadah seketika Anda mendadak pandai dan mengerti semuanya.
“Seperti inilah Islam. Apa yang diucapkan berfaedah dan Insyaallah hati tetap suci dan jauh dari kekotoran.”
Sungguh aku kagum kepadamu karena itulah pagi-pagi saya sudah bisa berada di depan Masjid An-Nur. Saya memandang teras masjid sudah penuh, tetapi belum begitu padat. Benar apa yang Anda katakan, pengikut pengajian ini umumnya para santri. Masih sangat muda layaknya Anda dan aku. Dari wajah-wajahnya tampak menyejukkan dan mereka tidak pernah saya temukan ditempat lain, alias mungkin lantaran memang saya yang tetap baru ditempat itu.
Para jemaah putri duduk di deretan belakang jemaah putra. Dibatasi dengan kain berwarna biru. Katamu, zina mata itu tidak diperbolehkan. Pengajian belum dimulai. Saya merasa ada di tempat yang anti dosa.
Teriknya matahari tak membuatku merasakan panas sedikit pun. Berbeda dengan dulu, ketika panas menyengat, saya kebingungan mencari tempat berteduh. Kali ini sangat berbeda, saya tetap saja duduk dan menikmati suasana.
Tidak lama kemudian,saya mendengar salam dari pengeras suara, begitu santun. Pengajian sudah dimulai. Satu jam separuh saya mendengarkan pidato di pengajian itu. Satu wawasan yang menurut saya baru kuterima. Saya tidak bisa membayangkan jika saya tidak berjumpa denganmu. Beribadah itu tidak perlu buru-buru, jangan langsung kau kerjakan semua, ambillah pelan-pelan.
Caramu beragama sudah saya tiru. Saya merasa nyaman berkawan denganmu. Suatu hari, sesampainya di bilik selepas pengajian, saya hanya memandang satu orang berebahan sembari membaca buku. Saya bertanya, ke mana teman-teman yang lain?" dia hanya mengangkat bahu. Saya membuka peci dan membuka lemarimu. Saya terkejut. Lemari itu kosong.
“Hei…ke mana Ahmad, kenapa bajunya tidak ada?”
“Tidak tahu, mungkin sudah pindah.”
“Mad, kenapa Anda tidak menunjukkan saya terlebih dulu jika mau berhenti?"
Bingung saya membuka lemarimu untuk kedua kalinya. Namun hasilnya tetap sama saja. Lemari itu kosong saya tidak tahu apa yang kudu saya perbuat. Saya duduk di atas kasur yang tipis dan hanya memandang selembar kertas putih yang ditujukan kepada saya. Suratmu padaku.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu
Untuk kawan yang sudah saya anggap seperti kerabat sendiri, Rahman. Semoga Anda selalu dalam lindungan Allah SWT. Saya minta maaf lantaran belum sempat berpamitan terlebih dahulu. Saya sudah lama menunggumu. Tetapi kamu tak kunjung datang. Saya mau kamu tetap tenang dan jangan terkejut.Tadi,saya menerima telepon dari ibu. la meminta saya segera pulang. Ibu seorang diri di rumah dan meminta saya menemaninya. Saya diminta berakhir dari pondok. Maafkan saya jika selama ini melakukan salah. Semoga kita tetap bisa dipertemukan kembali.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu
Tiga tahun saya tidak lagi bersamamu. Setahun kemudian, saya memutuskan keluar dari pondok. Saya sudah tidak tahan menghadapi teman-teman sekamar yang semakin tidak karuan. Saya kangen padamu. Hari-hariku terasa sepi. Sampai suatu ketika, di sebuah toko kitab yang berada di kota, Anda tampak tersenyum padaku sembari membuka kitab filsafat.
Saya kaget bukan kepalang. Mungkin Anda juga terkenang lantaran apa yang saya pakai saat ini tidak pernah berubah mulai kita berpisah. Tetapi kamu? Ke manakah sarung yang Anda pakai dulu? Lalu, di mana surban yang selalu menempel di bahumu? Lalu wajahmu, saya hanya mengingat senyummu, tetapi kenapa wajahmu tidak secerah dulu?
Saya sudah tidak berani menanyakan siapa namamu. Terpaksa hanya mengingat nama yang sudah diberikan orang tuamu. Tidak berubah, Anda tetap saja tidak suka mengulur-ngulur pembicaraan. Setelah saya menyebut namaku, Anda lampau menarikku keluar. "Saya Ahmad. Saya sudah tidak percaya lagi dengan agama.”
Pernyataanmu sungguh mengagetkan. Awalnya, sауа mengira Anda hanya bercanda. Namun, caramu menyampaikan dengan begitu pelan dan terlihat sungguh-sungguh membikin saya tercengang sampai Anda selesai berbicara. Kurang lebih tiga jam lamanya dalam sehari. Setiap asar sampai magrib, di indekosmu, saya mendengarkan gimana Anda berakhir dari pondok.
Satu cerita yang membikin saya tidak terima. Apa yang Anda ucapkan sekarang tidak sama dengan dulu. Sekarang Anda tidak percaya lagi dengan agama, ibadah, dan iman. Sebab, Anda pernah kecewa. Hal itu yang membuatmu tidak lagi mau bersujud kepada Sang Pencipta. Sekarang Anda menertawai kebiasaan orang lain yang dulu pernah Anda lakukan di pondok.
Tidak ada gunanуa saya salat, berzikir, dan berdоа kepada Tuhan. la tidak pernah mengabulkan permintaan saya." Saya mengerti bahwa Tuhan tidak pernah memberi apa yang Anda minta. lbadahmu juga tidak bisa memberikanmu sesuatu.
Menurut saya, Anda berubah lantaran terpengaruh dengan sikap teman-teman waktu di pondok. Sampai Anda berani mengutuk Tuhanmu.
Menurut pengakuanmu, Anda tidak lagi beragama lantaran dalam ketaatan tetap banyak kekurangan. Iman ini artinya percaya. Padahal dulu, Anda pernah mengatakan bahwa percaya ini merupakan tingkatan paling tinggi dibandingkan dengan memberi bukti.
Kamu kudu mengetahui bahwa apa yang Anda katakan itu mengganggu orang banyak. Itu adalah hakmu. Saya merasa Anda sudah masuk ke dalam lembah yang begitu dalam dan gelap. Saya juga mengerti bahwa apa yang Anda ucapkan salah.
Saya hanya bisa mengingatkanmu, kembalilah ke jalan yang benar.
Jika Anda tetap bisa berubah seperti dulu, saya mau berkawan denganmu. Namun, jika tidak, saya minta maaf. Kamu dan saya sudah tidak sejalan. Sekali lagi, saya minta maaf.
Itulah cerpen bahasa Madura beragam tema penuh makna. Semoga berfaedah untuk pengetahuan Si Kecil, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join organisasi KincaiMedia Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(fir/fir)