ILUSTRASI Mudik.
KincaiMedia, JAKARTA -- Mendekati hari raya Idul Fitri, kebanyakan masyarakat yang bekerja di perkotaan memilih pulang ke kampung halaman. Fenomena yang kerap disebut sebagai mudik ini sudah menjadi tradisi dalam akhir Ramadhan.
Sejatinya, mudik bermaksud kebaikan, ialah menyambung tali silaturahim. Bila pada hari-hari biasa, antar-anggota family besar sering terpisahkan oleh jarak. Dengan berkumpul di kampung halaman, mereka dapat kembali merekatkan hubungan dan keakraban.
Di samping meluruskan niat kebaikan, ada berbagai etika mudik lainnya yang perlu diperhatikan. Berikut ini penjelasannya, seperti disarikan dari rubrik "Konsultasi Syariah Republika" yang diasuh Ustaz Dr Oni Sahroni.
Pertama-tama, sebelum berangkat mudik, seseorang memastikan terlebih dulu aset dan peralatan yang ditinggal di rumah. Itu agar keamanannya terjaga. Sebab, salah satu bagian dari tanggungjawab Muslimin adalah menjaga kekayaan miliknya (shiyanah al-milkiyah).
Saat peralatan lenyap alias raib lantaran abai bakal penjagaan tersebut, maka dia berdosa dan lalai.
Ini berasas firman Allah SWT, ialah artinya, "... Janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan ...” (QS al-Baqarah: 195).
Dalil lainnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW. "Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai untanya, 'Apakah saya (boleh) membiarkan (tidak mengikat) unta saya kemudian bertawakkal (kepada Allah)?' Rasulullah SAW bersabda, 'Ikatlah untamu dan bertawakallah (kepada Allah)'" (HR al-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Saat menempuh perjalanan, seyogianya pemudik selalu menjaga sikap dan sopan santun. Terhadap sesama pengguna jalan, misalnya, dia tidak boleh egoistis. Jauhi caci-maki dan mengumbar amarah. Ingat, mudik tetap dilaksanakan dalam Ramadhan, salah satu bulan mulia menurut Islam.
Selanjutnya, sempatkan itikaf berbareng keluarga. Saat pulang kampung sebelum Idul Fitri, biasanya tetap menyisakan waktu Ramadhan. Maka tunaikanlah itikaf berbareng family di kampung halaman.
sumber : Konsultasi syariah oleh Ustaz Dr Oni Sahroni