KincaiMedia – Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Puasa semestinya menjadi momentum untuk membersihkan hati, melatih kesabaran, dan meningkatkan ketakwaan. Namun, apa jadinya jika puasa Ramadhan yang penuh hikmah ini justru menjadi sia-sia?
Rasulullah Saw bersabda;
“Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan haus.” (HR. Ibnu Majah)
Lantas, apa saja yang bisa membikin puasa Ramadhan kehilangan maknanya? Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
الصَّيَامُ جُنَّةً ، فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ
Artinya: “puasa adalah perisai, maka janganlah berbicara kotor dan janganlah melakukan bodoh. Jika seseorang memusuhinya alias mencacinya, hendaklah dia berkata: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa, sesungguhnya saya sedang berpuasa” (HR. Bukhari 1894)
Makna يَرْفُثْ فَلَا yang berasal dari fi’il madhi “rafatsa” (رَفَثَ), merujuk pada larangan untuk mengucapkan kata-kata kotor alias keji. Sementara itu, وَلَا يَجْهَلْ dipahami sebagai larangan untuk melakukan tindakan yang mencerminkan kebodohan, maksudnya janganlah dia melakukan perbuatan orang-orang jahil, seperti berteriak, berbicara kasar, dan hal-hal lain yang serupa. Dalam riwayat lain diartikan sebagai larangan untuk berbantah-bantahan. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari bi Syarh Al-Bukhari, Juz 4 perihal 104)
Selama menjalankan ibadah puasa, seseorang dianjurkan untuk menjaga lisannya dari perkataan kotor dan keji. Jika ada orang lain yang sengaja mencaci maki dengan tujuan memprovokasi agar dibalas dengan perihal serupa, maka orang yang berpuasa hendaknya menyatakan bahwa dirinya sedang berpuasa, baik secara definitif melalui ucapan maupun secara implisit dengan menahan kemarahan dan mengendalikan diri.
Diriwayatkan lagi dalam sebuah hadits:
” مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ”
Artinya: “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan perbuatan dusta, maka Allah butuh terhadap (puasanya yang hanya) meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari 1903)
Salah satu perbuatan yang secara spesifik dilarang selama berpuasa adalah berbicara bohong dan mengamalkannya. Dalam penjelasannya, makna dari pernyataan bahwa Allah tidak memerlukan puasanya seseorang dapat diklasifikasikan menjadi dua pendapat.
Sebagian ulama, seperti Ibnu al-Munīr, menafsirkan lafadz tersebut sebagai majaz yang menunjukkan bahwa ibadah puasanya tidak diterima. Sementara itu, ustadz lain menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa siapa pun yang melakukan perbuatan bohong tidak bakal memperoleh pahala puasanya.
Artinya, pahala puasa yang dilakukan tidak cukup untuk menutupi dosa dari perkataan bohong dan perbuatan lain yang serupa dengannya. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari bi Syarh Al-Bukhari, Juz 4 perihal 117)
Merujuk pada hadis-hadis tersebut, dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab dijelaskan bahwa makna yang terkandung hadits tersebut berangkaian dengan kesempurnaan dan keistimewaan puasa, bukan batalnya secara hukum.
Oleh lantaran itu, perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam sabda tersebut, jika dilakukan saat berpuasa, tidak menyebabkan batalnya puasa dalam ketentuan fiqh (sehingga tidak mewajibkan qadha). Namun, perihal tersebut dapat mengurangi alias apalagi menghilangkan pahala puasa. (Abu Zakariya An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 6 perihal 356)
Terlepas dari perbedaan pendapat yang ada, penyebutan secara unik mengenai perbuatan-perbuatan terlarang dalam dua sabda tersebut memberikan pelajaran bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjaga kesucian ibadah puasa dari beragam perbuatan tercela.
Hal ini dikarenakan kesempurnaan puasa terletak pada keahlian seseorang dalam menaklukkan hawa nafsu dan mengendalikan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi nilai ibadahnya. Wallahu a’lam.