Akhir Hayat Sang Mualaf

Feb 12, 2025 02:28 PM - 1 bulan yang lalu 23164

KincaiMedia, JAKARTA -- Abdul Wahid bin Zaid berbareng dengan kawan-kawannya mengadakan perjalanan. Sampailah ketika mereka mesti menumpangi sebuah kapal untuk mengarungi lautan.

Tiba-tiba, angin besar menerjang sehingga kapal tersebut porak-poranda. Ulama tabiin ini dan sejumlah temannya pun terlempar ke laut dan terapung-apung selama beberapa hari.

Hingga kemudian, mereka terdampar di sebuah pulau. Setelah melangkah cukup lama, Abdul Wahid dan kawan-kawan menemukan sebuah perdesaan. Di sana, mereka mendapati seorang laki-laki sedang bersujud pada sebuah patung.

Abdul Wahid lampau mendekatinya dan meminta bantuan. Setelah dijamu dengan beberapa buah kelapa, dia dan kawan-kawan pun diajak mengobrol.

"Engkau dari mana?" tanya sang tuan rumah.

"Kami dari negeri Arab hendak menempuh perjalanan, tetapi kemudian angin besar menyambar kapal yang kami tumpangi. Segala puji bagi Allah! Kami selamat dan terdampar di pulau ini," jelas Abdul Wahid.

Si laki-laki terheran-heran mendengarnya ketika tamunya itu mengucapkan hamdalah--segala puji bagi Allah. "Siapa Allah itu?" tanyanya.

“Kami menyembah Allah. Tidak ada tuhan selain Dia. Dialah Zat yang mempunyai dan menguasai langit dan bumi,” jawab Abdul Wahid.

“Bagaimana engkau percaya bakal perihal itu?”

Ulama ini menjelaskan, “Allah mengutus seorang rasul kepada kami dengan membawa mukjizat yang jelas. Rasul itulah yang menerangkan kepada kami mengenai perihal itu.”

“Lalu, apa yang dilakukan rasul kalian itu?”

Abdul Wahid berkata, “Rasul kami menyampaikan risalah Allah hingga tuntas. Kemudian, dia meninggal dunia. Kini, sang rasul tidak lagi berbareng dengan kami.”

“Apakah dia tidak meninggalkan sesuatu kepada kalian?”

“Ada, ialah kitab petunjuk.”

“Perlihatkan kepadaku kitab itu,” pinta laki-laki dari pulau asing ini.

Kemudian, Abdul Wahid memberikan sebuah mushaf Alquran kepadanya. Ia pun membacakan beberapa ayat di hadapannya.

“Luar biasa,” kata laki-laki masyarakat desa pulau ini, sembari menahan tangisan haru, “sungguh tidak layak Zat yang mempunyai firman ini didurhakai.”

Di tempat itu pula, laki-laki tersebut menyatakan keislamannya. Syahadat dibimbing oleh Abdul Wahid.

Berapa hari berlalu. Abdul Wahid dan kawan-kawan akhirnya mempunyai perahu sendiri untuk kembali pulang ke negerinya. Sebelum pergi, mereka berpamitan. Namun, rupanya sang tuan rumah yang sekarang adalah mualaf ingin ikut dengan mereka.

Abdul Wahid dan rekan-rekannya setuju. Maka berangkatlah rombongan ini. Selama pelayaran, ustadz tabiin ini mengajarkan ayat-ayat Alquran kepada sang mualaf.

Ketika malam tiba, orang-orang beranjak tidur. Mualaf ini tiba-tiba bertanya kepada Abdul Wahid, “Katakan kepadaku, apakah Zat yang kalian beri tahukan kepadaku itu juga tidur?”

“Allah tidak pernah mengantuk. Tidak pula tidur.”

“Kalau begitu,” sahut si mualaf, “tidak layak rasanya jika seorang hamba tidur nyenyak di hadapan tuannya.”

Segera dia melompat dan mengambil air wudhu. Kemudian, mualaf ini mendirikan shalat malam. Hingga datang waktu subuh, dirinya terus bermohon kepada Allah dengan hati tulus dan air mata haru.

Beberapa waktu berlalu. Sampailah kapal ini ke tujuan. Di Arab, Abdul Wahid meminta kawan-kawannya untuk membantu mualaf tersebut.

“Laki-laki ini adalah orang asing dan baru saja memeluk Islam. Maka sangat layak jika kita membantunya,” katanya.

Orang-orang pun bersedia mengumpulkan beberapa kekayaan untuk diberikan kepadanya. Sesudah itu, Abdul Wahid menyerahkan support itu kepada mualaf tersebut.

“Apakah ini?”

“Sekadar infak dari kami untukmu,” ucap Abdul Wahid.

“Subhanallah! Selama ini saya hidup di pulau yang dikelilingi lautan, menyembah bukan kepada Allah. Sekalipun demikian, Allah tidak pernah menyia-nyiakanku,” ujar dia.

Selengkapnya