Tawa tak selalu bahagia, tangis tak selalu sengsara
Asalnya, tawa kerap kali dikaitkan dengan kebahagian, sedangkan tangis dikaitkan dengan kemalangan. Atha’ bin Abi Muslim menafsirkan surah An-Najm ayat 43 dengan mengatakan,
أفرح و أحزن؛ لأن الفرح يجلب الضحك والحزن يجلب البكاء
“Allah membikin ceria dan membikin sedih, lantaran kebahagiaan bisa membikin tawa dan kesedihan bisa membikin tangis.” [1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
عُرِضَتْ عَلَيَّ الجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلَمْ أَرَ كَاليَوْمِ فِيْ الخَيرِ وَالشَّرِّ وَلَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
“Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka saya tidak memandang tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya Anda mengetahui apa yang saya ketahui, Anda betul-betul bakal sedikit tertawa dan banyak menangis.” [2]
Hanya saja, tangis tidak kudu selalu dipandang negatif, dan tawa tak bisa selalu dipandang positif. Tangis hanya salah satu tanda bersedih, dan tawa hanyalah salah satu alamat bahagia. Ketika dikatakan bahwa demam merupakan salah satu indikasi COVID-19 misalnya, bukan berfaedah setiap orang yang mengalami demam pasti terpapar COVID-19.
Demikian pula, tawa dan tangis. Orang yang banyak tawanya rupanya tak selalu berbahagia. Sebagai contoh, ada kawan kita yang kesehariannya penuh banyolan tawa, apalagi mungkin pekerjaannya adalah membikin orang-orang tertawa. Setelah obrolan mendalam, rupanya mereka sendiri yang mengaku bahwa hidupnya tidak sebahagia yang terlihat. Bahkan, mereka mengaku merasa sedih lantaran orang-orang selalu menuntut mereka untuk terlihat menyenangkan, seakan mereka tidak punya masalah dan tidak layak untuk bersedih.
Contoh lain, ada kerabat kita yang sedang berjuang melawan depresi. Berdasarkan literatur ilmu jiwa klinis, orang yang mengalami depresi pun boleh jadi dapat menunjukkan tawa, terlihat baik-baik saja, alias apalagi tidak menyadari bahwa mereka mengalami depresi. Hal ini diistilahkan dengan smiling depression dan masked depression. Dari sedikit contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hari-hari yang dipenuhi gelak tawa belum tentu dapat membawa kebahagiaan, dan dia yang sering tertawa belum tentu baik-baik saja.
Begitu juga sebaliknya, tangis juga tak selalu beriring dengan kemalangan. Ada juga kerabat kita yang hidupnya diwarnai banyak tangisan. Ia menangis mencurahkan beban dan keluh kesahnya kepada Allah Ta’ala, menangisi dosa-dosanya, menangisi ketaatan yang tak kunjung bertambah. Setelahnya, dia merasa lega lantaran mendapati bahwa rupanya hatinya tetap hidup. Lantas, dia pun berterima kasih lantaran tetap bisa untuk bermawas diri dan berempati. Inilah tangisan yang bakal membuahkan kebahagiaan.
Lagipula, Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan hidup tanpa tangisan dan kesedihan sebagai syarat untuk bisa hidup berbahagia, melainkan senang itu bisa didapat tergantung dari langkah kita dalam menyikapi setiap suka dan duka yang datang menghampiri. Ikrimah rahimahullah berkata,
ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبرا
“Setiap orang pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh lantaran itu, buatlah sukamu menjadi syukur dan dukamu menjadi sabar.” [3]
Perkataan beliau sejalan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له
“Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sungguh seluruh urusannya itu baik, dan perihal itu tidaklah didapat, selain pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, dia bersyukur. Maka, yang demikian itu baik baginya. Dan jika mendapatkan kesusahan, dia bersabar. Yang demikian itu pun juga baik baginya.” [4]
Jangan berjuntai pada diri sendiri
Karena tawa dan tangis adalah ketetapan dari Allah, maka jangan terlalu berjuntai pada diri sendiri dalam mencari tawa dan kesenangan, maupun dalam menghindari tangis dan kesedihan. Boleh saja kita pergi liburan alias menekuni kegemaran untuk bersenang-senang alias beristirahat sejenak dari peliknya ujian kehidupan. Namun, layaknya orang sakit yang pergi berobat, bukanlah sang master alias obatnya yang memberi kesembuhan. Berobat hanyalah karena dan hanya Allah Ta’ala Yang Maha Menyembuhkan. Demikian pula, usaha-usaha di atas hanyalah sebab, dan Allah yang mengaruniakan kebahagiaan maupun mengusir kesedihan dari siapa yang Ia kehendaki.
Lebih krusial lagi, jangan pernah berfikir bahwa maksiat adalah karena senang maupun karena menjauhnya kesedihan. Jangan jadikan maksiat sebagai jalan pelarian dari beragam masalah hidup.
Sebagian orang bergulat beragam kemaksiatan dengan dalih untuk mencari kesenangan dan menghilangkan kesedihan. Tatkala dinasihati semata lantaran mengharapkan kebaikan untuknya, dia kurang lebih menjawab, “Kamu tidak tau apa-apa tentangku. Kamu tidak tau masalah hidupku. Aku yang paling tau tentang diriku. Aku yang paling mengerti apa saja yang bisa membuatku senang dan bisa meredakan kesedihanku.”
Padahal, sudah terlalu banyak kita saksikan pecandu maksiat yang hidupnya tak juga kunjung senang hingga akhir hayat. Padahal, senang yang asasi itu datangnya dari Allah, sehingga tidak mungkin didapat dengan langkah dan perihal yang Allah larang. Kalau pun mereka mengaku merasa senang, bisa jadi itulah istidraj sebagaimana firman-Nya,
فَلَمَّا نَسُوا۟ مَا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَٰبَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُوا۟ بِمَآ أُوتُوٓا۟ أَخَذْنَٰهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ
“Maka, tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, andaikan mereka berbahagia dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka, ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44)
Mungkin, kita lebih tau dari orang lain perihal apa saja yang bisa membikin kita senang dan dapat meredakan kesedihan kita. Tetapi, kita ini hanyalah yang lebih tahu, bukan yang paling tahu, apalagi tentang diri kita sendiri. Allahlah yang Maha Mengetahui diri kita luar dan dalam sebagaimana firman-Nya,
اِنِّىۡٓ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ
“… Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak Anda ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30)
يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
“Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang Anda rahasiakan dan apa yang Anda nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Tagabun: 4)
Maka, jangan berjuntai pada diri sendiri. Perbanyak angan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu saya memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan serahkan kepadaku sekali pun sekejap mata.” [5]
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kita kebahagiaan yang hakiki, menguatkan kita dalam menghadapi beragam masalah dan kesedihan, serta mengaruniakan tangisan ketakwaan yang dapat membawa kita menuju kebahagiaan di negeri keabadian.
[Selesai]
***
Penulis: Reza Mahendra
Artikel: KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Tafsir Al-Baghawi, 4: 255.
[2] HR. Muslim no. 2359.
[3] Umdatut Tafsir, 3: 460.
[4] HR. Muslim no. 2999.
[5] HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain no. 2026. Imam Al-Hakim menilainya sahih berasas persyaratan Imam Bukhari dan Muslim.