KincaiMedia, JAKARTA --Seorang laki-laki yang mengubah perangkat kelaminnya menjadi wanita (transgender), lampau apakah bertindak fiqih wanita padanya? Misalnya wajib menutup rambut, alias saat meninggal diperlakukan sebagai jenazah perempuan.
Pakar fiqih Muamalah yang juga founder Institut Muamalah Indonesia, KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi menjelaskan mengubah kelamin alias transgender sudah jelas hukumnya dalam Islam adalah haram. Sedang jika terdapat laki-laki dengan perangkat kelamin laki-laki sempurna (bukan kelamin dobel alias hermaprodit alias khuntsa) melakukan operasi kelamin menjadi perempuan, maka dia tetap dihukumi laki-laki menurut norma Islam.
Menurut ustad Shiddiq perihal tersebut berasas norma fiqih Idza Saqatha al Ashlun Saqatha al Far'u (jika perkara pokok gugur, maka gugur pula perkara cabangnya). Ia menjelaskan yang menjadi perkara pokok adalah norma operasi tukar kelamin itu sendiri. Sedang perkara cabangnya adalah segala kewenangan dan tanggungjawab yang menjadi akibat dari operasi kelamin itu. Misalnya bagian kewenangan waris, posisi dalam sholat jamaah, tanggungjawab menutup aurat, tata langkah pengurusan jenazah, dan sebagainya.
"Jadi kejelasan jenis kelamin itu adalah pokok, maka ketika seseorang itu sejak kecilnya laki-laki, itulah yang menjadi perkara pokok. Maka dihukumi sebagai laki-laki untuk beragam masalah cabang," kata ustad Shiddiq Al Jawi dalam kajian virtual yang diselenggarakan Ngaji Shubuh beberapa waktu lalu.
Maka menurut ustad Shiddiq kendati pun seorang laki-laki mengubah perangkat kelaminnya menjadi perempuan, maka ketentuan fiqih yang bertindak padanya dalam beragam perkara adalah laki-laki.
Lebih lanjut Shiddiq Al Jawi menjelaskan operasi tukar kelamin seperti laki-laki yang mempunyai perangkat kelamin laki-laki sempurna (bukan kelamin dobel alias hermaprodit alias khuntsa) mengubah kelaminnya menjadi kelamin wanita hukumnya haram dan dosa besar. Menurutnya argumen keharaman lantaran dalam operasi tukar kelamin untuk seorang laki-laki yang sudah sempurna perangkat kelaminnya, terjadi perubahan buatan Allah (taghyir khalqillah) yang telah diharamkan syarah sebagaimana dalilnya pada surat An Nisa 119.
Kiai Shiddiq mengatakan jika laki-laki diharamkan melakukan pengebirian maka haram melakukan pengubahan kelamin menjadi perempuan. Selain itu argumen keharaman lainnya adalah lantaran operasi tukar kelamin bakal menjadi perantara kepada perbuatan yang telah diharamkan oleh syara. Karena Rasulullah SAW telah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan mengutuk wanita yang menyerupai laki-laki.
Kiai Shiddiq menegaskan diperlakukan laki-laki alias wanita itu merupakan cabang. Sebab persoalan pokoknya adalah boleh tidaknya operasi tukar kelaminnya. Maka perkara pokoknya ialah operasi tukar kelamin adalah haram. Maka dari itu segala bagian hukum dari perkara pokok itu ialah kewenangan dan tanggungjawab yang menjadi akibat dari operasi tukar kelamin itu juga haram.
"Maka dari itu laki-laki yang melakukan operasi tukar kelamin menjadi wanita itu tidak dihukumi sebagai wanita menurut norma Islam. Namun tetap dihukumi sebagai laki-laki, meski penampilan fisiknya sudah mirip perempuan," katanya.
Maka dari itu sebagai akibat hukumnya, ustad Shiddiq menjelaskan ketika laki-laki yang mengganti kelaminnya menjadi wanita mengenakan busana maka tetap wajib busana yang dikenakan adalah busana laki-laki, ketika shalat berjamaah maka wajib berada di shaf laki-laki, jika mendapat waris maka memperoleh bagian waris laki-laki, dan jika meninggal bumi maka jenazahnya wajib diurus sebagaimana jenazah laki-laki, tidak boleh diurus sebagai jenazah wanita dan sebagainya.
Adapun jika seseorang berkelamin dobel (hermaprodit alias khuntsa) maka boleh hukumnya melakukan operasi penyempurnaan kelamin sekedar untuk menegaskan jenis kelaminnya. Ini berasas keumuman dalil yang menganjurkan berobat. Ketika operasi penyempurnaan kelamin telah dilakukan, dan orang tersebut jelas alias pasti jenis kelaminnya, maka orang tersebut mendapat kewenangan dan tanggungjawab syari sesuai jenis kelamin barunya itu.
sumber : Dok Republika