Sudah kita ketahui bahwa wanita yang menstruasi dan nifas haram untuk berpuasa di bulan Ramadan dan disyariatkan untuk meng-qodho-nya di hari lain di luar bulan Ramadan. Lalu, gimana dengan wanita yang keluar darah dari kemaluannya, namun bukan darah haid? Wanita ini sedang mengalami istihadah dan disebut dengan mustahadah.
Ada tiga darah yang keluar dari kemaluan wanita, ialah darah haid, darah nifas, dan darah istihadah.
Pertama, haid: darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam kondisi yang normal dan kondisi yang sehat, dan juga bukan disebabkan oleh kelahiran.
Kedua, nifas: darah yang keluar lantaran akibat kelahiran.
Ketiga, istihadah: darah yang keluar di waktu selain menstruasi dan nifas.
Apa itu istihadah?
Telah disebutkan sebelumnya bahwa istihadah adalah darah yang keluar di waktu selain menstruasi dan nifas. Istihadah keluar disebabkan oleh suatu penyakit. Secara visual, darahnya tampak lebih merah segar daripada darah haid, seperti darah luka pada normalnya dan tidak mempunyai aroma yang begitu menyengat. [1]
Kondisi wanita mustahadah
Kondisi pertama
Kondisi pertama adalah jika kebiasaan lama haidnya sudah diketahui. Jika darahnya keluar melampaui lama kebiasaan haidnya, maka itu adalah darah istihadah. Dalil bahwa lama kebiasaan menstruasi itu bisa diketahui adalah sabda Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau radhiyallahu ‘anha meminta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang mengalami pendarahan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
لتنظر قدر الليالي والأيام التي كانت تحيضهن وقدرهن من الشهر فتدع الصلاة ثم لتغتسل وَلْتَسْتَثْفِرْ بثوب ثم تصلي
“Hendaklah dia menunggu selama satu malam dan satu hari dia keadaan haid, dan menunggu kadar dia meninggalkan salat dalam satu bulan. Kemudian hendaklah dia mandi, dan menutup tubuhnya dengan kain, kemudian hendaklah dia salat.” (HR. Abu Daud, di-shahih-kan al-Albani)
Ulama berbeda pendapat apakah menentukan kebiasaan menstruasi dilakukan setelah satu kali siklus menstruasi saja, alias lebih dari satu kali siklus haid?
Syafi’iyah: Menentukan kebiasaan menstruasi cukup satu kali saja jika dia percaya tidak berubah-ubah
Hanabilah: Menentukan kebiasaan tidak bisa dilakukan selain tiga kali siklus haid. Jika dia mendapati darah yang keluar di luar kebiasaannya itu, maka darah tersebut tidak teranggap sebagai darah menstruasi dan dia kudu mengulangi untuk menentukkan kebiasaan haidnya sampai tiga kali, alias dua kali menurut riwayat lainnya dalam ajaran Hambali.
Pendapat yang lebih kuat adalah menentukan kebiasaan menstruasi cukup berasas satu kali siklus menstruasi saja. Ketika wanita memandang darah dengan ciri-ciri yang telah diketahui sebagai darah haid, maka darah tersebut dianggap darah haid. Sehingga, dia tidak salat, tidak puasa, dan tidak bisa digauli. Dan selama darah dengan ciri-ciri tersebut keluar, maka tetap dianggap sebagai darah menstruasi selama tidak melampaui waktu maksimal haid, ialah 15 hari. Lebih dari itu, maka dianggap darah istihadah. [2]
Kondisi kedua
Ketika darah terus keluar, sedangkan dia tidak mengetahui hari kebiasaan haidnya, maka haidnya dianggap berjalan sekitar 7 sampai 9 hari berasas kebiasaan umumnya wanita. Hal ini didasari oleh sabda dari Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha ketika istihadah, lampau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya itu dorongan (gangguan) dari setan. Maka Anda menstruasi dalam 6 alias 7 hari, lampau mandilah. Jika telah masuk masa suci, (meskipun darah tetap keluar, pent.), maka salatlah 24 alias 23 hari. Berpuasalah dan salatlah, lantaran yang demikian itu cukup bagimu. Demikianlah lakukan perihal tersebut setiap bulannya, sebagaimana wanita-wanita lain yang haid.” (HR. Abu Dawud no. 287. Di-shahih-kan al-Albani)
Kondisi ketiga
Jika dia tidak mempunyai kebiasaan, namun bisa membedakan darah menstruasi dengan yang lainnya. Dalam kondisi ini, maka dia memandang dan membedakan ciri-ciri darah yang keluar, apakah darah menstruasi alias istihadah. Berdasarkan sabda dari Fathimah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, ketika beliau beristihadah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya,
إذا كان دم الحيضة فإنه دم أسود يعرف، فإذا كان ذلك فأمسكي عن الصلاة، فإذا كان الآخر فتوضئي وصلي فإنما هو عِرْقٌ
“Jika itu darah haid, darahnya berwarna gelap. Jika seperti itu, maka tahanlah dirimu dari salat. Jika tidak seperti itu, maka berwudulah dan salatlah. Karena itu adalah pendarahan.” (HR. Abu Dawud no. 286. Hakim mengatakan, “Shahih berasas syarat Imam Muslim”) [3]
Baca juga: Dianjurkan Mengusap Tempat Keluar Darah Haid dengan Kapas yang Dibaluri Kasturi
Cara membedakan darah menstruasi dan istihadah
Hukum antara wanita menstruasi dan mustahadah berbeda, maka para wanita kudu mengetahui perbedaan darahnya. Di antara perbedaannya adalah:
Pertama, dari warnanya: Darah menstruasi condong kehitaman, sedangkan darah istihadah merah condong kuning. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
اعتكفتْ مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – امرأة مستحاضة من أزواجه، فكانت ترى الحمرة والصفرة، فربما وضعنا الطَّسْتَ تحتها وهي تصلي
“Salah satu dari istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang istihadah beri’tikaf berbareng beliau. Ketika itu, istri beliau memandang warna merah dan kuning. Terkadang kami meletakkan baskom di bawahnya, dan dia salat.” (HR. Bukhari no. 1932)
Kedua, darah menstruasi lebih kental dan tebal, sedangkan darah istihadah lebih cair dan tipis.
Ketiga, aroma darah menstruasi amis, sedangkan darah istihadah tidak berbau.
Keempat, darah menstruasi tidak membeku, lantaran darah menstruasi membeku di dalam rahim kemudian memancar dan mengalir. Adapun,darah istihadah berasal dari pembuluh darah dan dia membeku ketika keluar. [4]
Bagaimana puasa wanita mustahadah?
Wanita mustahadah wajib berpuasa, tidak boleh membatalkan puasanya dikarenakan istihadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan ketika menjelaskan bolehnya wanita menstruasi berbuka di bulan Ramadan, ”Berbeda dengan wanita mustahadah karena istihadah waktunya lebih lama dan tidak diketahui kapan berhentinya. Dan darah yang keluar tidak bisa diprediksikan, sebagaimana muntah, keluarnya darah lantaran luka alias bisul, mimpi basah, dan yang lainnya di mana waktunya tidak bisa ditentukan dan diprediksikan. Maka ini bukanlah penghalang bagi seorang untuk berpuasa, berbeda dengan wanita haid.” [5]
Baca juga: 5 Hal yang Dapat Dilakukan Wanita Haid untuk Memaksimalkan Ramadan
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Imta’u al-Asma, hal. 64-65.
[2] Fikih Muyassar, hal. 147-148.
[3] Fikih Muyassar, hal. 156-157.
[4] Fikih Muyassar, hal. 158.
[5] Tanbihat, hal. 64-65.
Referensi
Haitu, Muhammad Hasan. 1444 H. Imta’u al–Asma’ Fi Syarhi Matni Abi Syuja’. Cetakan Pertama. Darul Musthofa: Kuwait.
Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Abdullah bin Muhammad al-Muthlaq dan Muhammad bin Ibrahim al-Musa. 1433 H. Al-Fiqhu al-Muyassar. Cetakan Kedua. Madarul Wathan: Riyadh. Maktabah asy-Syamilah.
Fauzan, Shalih bin Fauzan. 1422 H. Tanbihat ‘Ala Ahkami Takhtashshu biha al–Mukminat. Riyadh.