Batasan Humor Dalam Dakwah Menurut Islam

Dec 10, 2024 12:33 PM - 2 bulan yang lalu 76221

KincaiMedia– Dalam Islam, lawakdalam dakwah mempunyai tempat tersendiri, asalkan tetap berada dalam batas yang sesuai dengan nilai-nilai syariat. Humor dapat menjadi perangkat yang efektif untuk menyampaikan pesan dakwah, membikin audiens lebih santai, dan menarik perhatian. Namun, penggunaannya kudu dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak menyalahi etika dan tujuan utama dakwah. Berikut adalah beberapa batas lawakdalam dakwah menurut Islam.

Islam adalah kepercayaan yang ramah terhadap semua umat manusia. Islam sebagai revelaed religion selalu menekankan batasan-batasan nilai moral dalam segala aspek kehidupan, khususnya dalam relasi sosial masyarakat alias yang dikenal dengan habl min al-nas. Islam mengajarkan kepada sesama manusia untuk saling mengingatkan dan membujuk pada jalan kebaikan. 

Salah satu corak representasinya yang dikenal luas adalah dakwah. Secara terminologis, “dakwah” diartikan oleh Ali Mahfudz sebagai upaya mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan kebenaran. Serta menginstruksikan agar senantiasa melakukan makruf dan melarang perbuatan munkar, agar mendapatkan kebahagiaan di bumi dan akhirat. (Ali Mahfudz, Hidayah al-Mustarsyidin, 17).

Dalam berdakwah, terdapat prinsip-prinsip integritas yang kudu dipatuhi oleh da’i (pendakwah), ialah menetapi batasan-batasan sesuai aliran agama, antara lain seperti mempunyai standar kompetensi, bersikap sabar, ramah sosial, mengetahui situasi dan kondisi audiens, bersikap sopan dan santun, dll. (Ala’ bint Abd al-Rahman, Asalib al-Da’wah wa Wasa’iliha, 14-17).

Pada dasarnya, setiap da’i pasti mempunyai style dakwah masing-masing. Karakter da’i satu dengan lainnya bisa jadi berbeda. Hal ini lantaran setiap da’i mempunyai teknik berceramah yang elastis guna menyesuaikan antara substansi dakwah dengan entitas masyarakat yang hadir, agar pesan dalam dakwah dapat tersampaikan secara optimal. 

Salah satu model dakwah yang kerap dijumpai di masyarakat adalah dakwah yang berbumbu humor. Pada umumnya, lawakini diperlukan agar suasana dalam forum tidak tegang, sehingga dapat cair dengan candaan alias tawa. Dalam Islam, membumbui dakwah dengan kejenakaan adalah boleh. Bahkan dianjurkan bilamana dapat memantik atensi masyarakat untuk meresapi dan mengejawantahkan materi dakwah. Hal ini dengan syarat selama tidak keluar dari batas yang dilarang, seperti lawakyang berlebihan alias secara terus-menerus. Sebab demikian justru bakal dapat mengeraskan hati. (Ibn ‘Allan, Futuhat al-Rabbaniyah, 6/301) 

Dalam dakwah yang berbumbu humor, perihal krusial lain yang kudu jauhi adalah jika orientasi lawakitu bakal menyinggung emosi orang lain. Sebab, Nabi Saw. selalu mengajarkan kepada setiap muslim agar selalu menjaga lisan dan tangan secara maksimal guna menjaga emosi orang lain. Hal ini seperti dalam sabda beliau:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Amr dari Nabi SAW. bersabda: “Seorang muslim yang sempurna adalah mereka yang selamat dari lisan dan tangannya”. (HR. Bukhari)

Hadis tersebut menyematkan pesan primer bagi setiap muslim, ialah agar selalu menjaga ucapan dan kedua tangannya dari menyakiti orang lain. Karena setiap kegiatan yang menyakiti orang lain adalah melawan asas-asas Islam. Padahal, Islam sebagai kepercayaan yang ramah mengartikan, bahwa setiap muslim kudu menjadi promotor agar terbentuk kerukunan, keharmonisan, dan kebersamaan antar umat manusia.

Dalam sabda di atas, pesan esoteris yang dapat dipetik dalam sabda tersebut adalah kenapa Nabi Saw. dalam sabdanya mendahulukan lisan dari pada kedua tangan? Hal ini dikarenakan menyakiti emosi orang lain itu lebih mudah dan sangat banyak terjadi dengan lisan. Selain itu, lisan juga dianggap sebagai media kebencian yang paling dahsyat. (Badruddin Mahmud al-‘Aini, Umdah al-Qari’ Syarh Sahih al-Bukhari, 1/132) 

Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang vital bagi setiap dai untuk selalu waskita dan teliti atas lawakyang disampaikan dalam dakwah. Sebab, apapun corak humornya, bilamana ujungnya membikin sakit hati orang lain maka perihal itu adalah dilarang oleh agama. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. al-Hujurat: 11;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أن يكن خيراً منهن


Artinya; “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu golongan mengolok-olok golongan lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Jangan pula sekelompok wanita (mengolok-olok) golongan wanita lainnya (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olok) lebih baik dari golongan (yang mengolok-olok).”

Imam al-Ghazali menginterpretasikan makna al-sukhriyyah dalam ayat di atas adalah sebagai tindakan menghina, merendahkan, dan mengingatkan atas kekurangan orang lain dengan langkah menertawakannya, baik tindakan secara perbuatan maupun verbal. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, 3/131).

Lebih jelas lagi, Salih Munjid juga mengafirmasi pernyataan al-Ghazali sebagai berikut:

أن يراعي شعور الآخرين لأنه قد يأتي بمزحة لكن تجرح شعور الذي أمامه, ويجب على الإنسان أن يكون أدبياً يراعي مشاعر الخلق, وإذا أراد أن يمازح لا يزعجه ولا يجعله يغضب منه ..وكثير من المزحات يكون فيها ضحايا.. وهذا يقع كثيراً, وهذا لا شك أنه إيذاء للمؤمنين, وإيذاء المؤمنين حرام


Artinya; “Sesorang kudu memperhatikan emosi orang lain. Karena boleh saja dia melontarkan sebuah lelucon, namun bakal melukai emosi orang yang ada di hadapannya. Jika dia memang bermaksud untuk candaan, maka dia tidak boleh mengganggunya alias membuatnya marah padanya. Dan pada realitanya banyak lelucon yang membikin korban (artinya, tawa orang-orang yang datang membuatnya tambah sakit hati). Hal ini sering terjadi. Dus, tindakan ini jelas bakal menyakiti orang lain dan hukumnya adalah haram.” (Salih Munjid, Silsilah al-Adab al-Islamiyah, 7/17)


Dengan demikian, tugas bagi para da’i bukan hanya sekedar memahami materi dakwah lampau menyampaikannya kepada audiens. Tapi lebih dari itu. Seorang da’i juga kudu mematuhi markah secara normatif dan etis, artinya setiap apa yang disampaikan tidak boleh sedikitpun menyinggung emosi orang lain. Segala corak penghinaan, pelecehan verbal, ujaran kebencian, dan perendahan martabat orang lain dalam dakwah jelas mencederai nilai-nilai Islam. 

Para dai kudu mengerti, bahwa norma utama dalam dakwah adalah dengan langkah yang baik dan penuh kearifan. Etika dalam dakwah merupakan komponen yang fundamental, sekaligus sebagai barometer atas keberhasilan suatu dakwah. Tanpa etika, maka bakal menimbulkan sikap antipati dari audiens alias apalagi masyarakat luas. Jika dakwah seperti itu terus berlanjut, maka bakal mendesakralisasi prinsip dakwah itu sendiri.

Selengkapnya