Belajar Dari Runtuhnya Andalusia (bagian I)

Jan 02, 2025 04:59 PM - 1 bulan yang lalu 49208

KincaiMedia, JAKARTA -- Awal tahun baru tidak hanya merupakan momen yang penuh harapan, tetapi juga introspeksi dan refleksi. Berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun lampau hendaknya menjadi bahan perenungan untuk melangkah ke depan. Sekurang-kurangnya, janganlah mengulangi kesalahan yang sama seperti dahulu.

Dalam konteks sejarah dunia, awal Januari juga menjadi pengingat salah satu peristiwa tragis bagi kaum Muslimin, ialah runtuhnya peradaban Islam di Semenanjung Iberia. Saat berada di bawah pemerintahan (daulah) Muslim, daerah ujung barat daratan Eropa tersebut terkenal dengan nama al-Andalus alias Andalusia. Itu terdiri atas Spanyol, Portugal, dan Prancis selatan kini.

Tepat pada tanggal 2 Januari 1492 M, kerajaan Islam (taifa) Granada dapat dikuasai pasukan Katolik yang dipimpin raja Ferdinand II dari Aragon dan ratu Isabella I dari Kastila. Kekalahan itu tidak hanya berfaedah tamatnya riwayat taifa tersebut, melainkan juga senja kala peradaban Islam secara keseluruhan yang telah berkibar selama lebih dari 700 tahun di Benua Biru. Sejarah mencatat, kaum Muslimin mulai menguasai Iberia pada awal abad kedelapan.

Titik mula Andalusia terjadi persisnya pada 711 M. Kala itu, Thariq bin Ziyad sukses membebaskan Sidonia, Karmona, Kota Kordoba, dan Kota Granada dari kendali Roderick, sang penguasa Visigoth. Semua daerah dan kota di Iberia tersebut kemudian menjadi bagian dari daerah kekuasaan Bani Umayyah.

Pada 750 M, aktivitas revolusioner Abbasiyah menggulingkan pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus. Sejak saat itu, lahirlah kekhalifahan baru yang berpusat di Baghdad, Irak. Walaupun rezim Bani Abbas dengan gencar melakukan penyisiran terhadap sisa-sisa kekuatan musuhnya, tetap ada segelintir tokoh sentral Umayyah yang sukses lolos.

Di antara para bangsawan Umayyah yang sukses menyelamatkan diri adalah Abdurrahman ad-Dakhil. Begitu keluar dari Syam dan Mesir, dia berupaya sampai ke Maghribiyah untuk mengumpulkan pengikut. Selanjutnya, disusunnya rencana untuk merebut Andalusia. Waktu itu, usianya tetap 22 tahun.

Ad-Dakhil rupanya dapat mengeksekusi strategi politik dan militernya dengan banget baik. Dengan kekuasaan di tangan, dia merintis tegaknya pemerintahan Umayyah di Andalusia. Sekitar 150 tahun sesudah kematiannya, anak keturunannya mendeklarasikan kekhalifahan baru di Kordoba dengan tujuan menyaingi Baghdad (Abbasiyah) dan Kairo (Fathimiyah).

Seorang sarjana Prancis, Gustve Le Bon (1841-1931), mengomentari kekhalifahan Islam di Hispania pada masa itu. Seperti dinukil Prof Raghib as-Sirjani dalam Bangkit dan Runtuhnya Andalusia (2013), dia mengatakan, “Begitu orang-orang Arab sukses menaklukkan Spanyol, mereka mulai menegakkan risalah peradaban di sana. Dalam waktu kurang dari satu abad, mereka bisa menghidupkan tanah yang mati, membangun kota-kota yang runtuh, mendirikan bangunan-bangunan megah, dan menjalin hubungan perdagangan yang kuat dengan negara-negara lain.”

Selengkapnya