KincaiMedia, JAKARTA -- Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran pun dengan tegas melarang kita untuk menyantap kekayaan dengan jalan yang batil. "Dan janganlah (sebagian) Anda menyantap kekayaan sebagian yang lain di antara Anda dengan jalan batil dan (janganlah) Anda membawa (urusan) kekayaan itu kepada pengadil agar Anda dapat menyantap sebagian dari kekayaan barang orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal Anda mengetahui" (QS al-Baqarah [2]: 188).
Sebaliknya, amal merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Zakat tidak bisa dikesampingkan lantaran berkarakter wajib. Di dalam Alquran, Allah menyebut perintah amal beriringan dengan perintah shalat sebanyak 82 kali. "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah berbareng orang-orang yang rukuk" (QS al-Baqarah: 43).
Shaleh Al Fauzan dalam Fiqih Sehari-hari menjelaskan, tanggungjawab amal dimaksudkan demi kebaikan manusia itu sendiri. Zakat menjadi sarana untuk menyucikan dan menjaga harta.
Tak hanya itu, amal pun berfaedah sebagai sarana penghambaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, "Ambillah amal dari sebagian kekayaan mereka, dengan amal itu Anda membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya angan Anda itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS at-Taubah:103).
Meski amal berfaedah untuk menyucikan kekayaan seseorang, perihal itu tidak berfaedah bahwa amal seseorang sah saat dikeluarkan dari kekayaan yang haram. Keharaman itu dilihat baik dari sifatnya maupun langkah mendapatkan kekayaan tersebut. Rasulullah SAW pun mengatakan, infak yang berasal dari harta haram tidak bakal menjadikan pahala.
"Barangsiapa yang mengumpulkan kekayaan dari langkah yang haram kemudian dia bersedekah darinya, maka dia tidak mendapatkan pahala apa pun, apalagi dia tetap menanggung dosa dari kekayaan haram tersebut" (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Pendapat Imam al-Qurthubi sebagaimana dikutip dari kitab Fathu al-Baari menjelaskan bahwa infak atau amal dari kekayaan haram tidak diterima. Alasannya, kekayaan haram pada hakikatnya bukan merupakan kewenangan miliknya. Dengan demikian, pemilik kekayaan haram dilarang menasarufkan kekayaan tersebut dalam corak apa pun.
Adapun bersedekah merupakan bagian dari tasaruf (penggunaan) harta. Seandainya infak dari kekayaan haram dianggap sah maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul perintah dan larangan. Itu pun menjadi perihal mustahil.
Menarik jika memandang pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab al-Bahru al-Raaiq (2/221). Dia menjelaskan, tidak wajibnya bayar amal atas kekayaan haram sekalipun sudah sampai satu nisab.
Menurut dia, seandainya ada seseorang yang mempunyai kekayaan haram seukuran nisab, maka dia tidak wajib berzakat lantaran yang menjadi tanggungjawab atas orang tersebut adalah membebaskan tanggung jawabnya atas kekayaan haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya alias para mahir waris—jika bisa diketahui—atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan kekayaan haram tersebut dan tidak boleh sebagian saja.
Mengambil amal dari kekayaan yang haram pun menjadi pembahasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa MUI Nomor 13 Tahun 2011 menjelaskan, amal wajib ditunaikan dari kekayaan yang halal, baik hartanya maupun langkah perolehannya.
Harta haram tidak menjadi objek wajib zakat. Kewajiban bagi pemilik kekayaan haram adalah bertobat dan membebaskan tanggung jawab dirinya dari kekayaan haram tersebut.