Cara Masuk Islam

Nov 29, 2024 06:00 AM - 1 minggu yang lalu 11100

Salah satu keistimewaan kepercayaan Islam adalah bahwa Islam merupakan kepercayaan yang mudah dan sederhana untuk diikuti oleh siapa saja. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya dalam Islam berkarakter langsung tanpa memerlukan perantara. Di mana pun seseorang berada, dia dapat berasosiasi dengan Tuhannya, Sang Pencipta, dan menyatakan keinginannya untuk masuk Islam, baik di rumah, tempat kerja, alias kebun, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan andaikan hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang bermohon andaikan dia bermohon kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (seruan)-Ku dan beragama kepada-Ku agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Mengucapkan dua kalimat syahadat

Masuk Islam tidak memerlukan kombinasi tangan alias persetujuan siapa pun. Cukup dengan menggerakkan lisan dan bibir untuk mengucapkan dua kalimat yang agung,

أشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمداً رسول الله

“ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA  ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH”

(Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang betul selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)

Pengucapan ini adalah corak pengakuan dan pembenaran atas kandungan dari dua kalimat tersebut, yaitu:

Pertama: Mengakui keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa hanya Dia yang berkuasa disembah, tanpa sekutu, tandingan, alias yang menyerupai-Nya, serta bertawakal diri dan alim pada perintah dan larangan-Nya.

Kedua: Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan Allah, penutup para nabi dan rasul, yang diutus untuk seluruh manusia. Seorang muslim wajib mengikuti apa yang diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, dan membenarkan semua berita yang disampaikan oleh beliau.

Apabila makna-makna ini telah tertanam dalam hati dan seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan penuh keyakinan, dia menjadi seorang muslim yang benar. Ia mempunyai kewenangan dan tanggungjawab yang sama dengan kaum muslim lainnya. [1]

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah mengatakan,

ومن المعلوم بالضرورة أن النبيِّ صلى الله عليه وسلم كان يقبل مِنْ كُلِّ من جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك، ويجعله مسلمًا

“Telah menjadi perihal yang diketahui secara pasti, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima setiap orang yang datang kepadanya untuk masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan itu, darahnya dilindungi dan dia menjadi seorang muslim.” [2]

Hukum mengucapkan dua kalimat syahadat dengan selain bahasa Arab

Jika seorang nonmuslim mau masuk Islam dan dia tidak bisa berkata Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri. Adapun jika dia bisa berkata Arab, maka dianjurkan baginya mengucapkannya dengan bahasa Arab, dalam rangka keluar dari silang pendapat para ulama.

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan bahwa,

يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْكَافِرَ إِذَا أَرَادَ الإِْسْلَامَ، فَإِنْ لَمْ يُحْسِنِ الْعَرَبِيَّةَ جَازَ أَنْ يَأْتِيَ بِالشَّهَادَتَيْنِ بِلِسَانِهِ

“Mayoritas ustadz berpendapat, jika seorang nonmuslim mau masuk Islam dan dia tidak bisa berkata Arab, maka diperbolehkan baginya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan bahasanya sendiri.” [3]

Namun, perlu diperhatikan pelafalan kata Allah (الله) dan Muhammad (مُحَمَّد). Misalkan, jika seseorang tidak terbiasa mengucapkan huruf (ح) dengan betul sehingga dia menggantinya dengan huruf lain seperti ha’ (ه) alias lainnya, maka masalah ini telah dibahas oleh para ulama. Hendaknya merujuk pada kitab-kitab panjang yang membahas perihal ini alias bertanya kepada seorang berilmu untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Apakah kudu menghadirkan saksi?

Sebagimana dalam pembahasan yang telah berlalu, masuk Islam tidak memerlukan kombinasi tangan alias persetujuan siapa pun. Seseorang cukup menggerakkan lisan dan bibirnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat,

أشهدُ أنْ لا إله إلا الله وأشهد أنّ محمد رسول الله

“ASYHADU AN LA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASULULLAH”
(Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang betul selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). [4]

Jadi, tidak disyaratkan kehadiran pemimpin alias saksi untuk keabsahan masuk Islam. Bahkan, tidak diwajibkan pula menyebut kata “Asyhadu” (Aku bersaksi). Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,

ولا تفتقر صحة الإسلام إلى أن يقول الداخل فيه: “أشهد أن لا إله إلَّا الله (وأشهد أن محمدًا رسول الله،)” بل لو قال: “لا إله إلَّا الله محمد رسول الله” كان مسلمًا بالاتفاق.

“Keabsahan Islam tidak berjuntai pada ucapan ‘Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.’ Bahkan, jika seseorang hanya mengatakan ‘Laa ilaha illallah Muhammadan Rasulullah,’ dia sudah dianggap sebagai seorang muslim dengan kesepakatan ulama.” [5]

Baca juga: Menyikapi Orang yang Baru Masuk Islam, Namun Masih Memiliki Sebagian Sifat Jahiliah

Apakah kudu mandi?

Mandi besar (ghusl) dianjurkan bagi seseorang yang masuk Islam, namun tidak diwajibkan. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama.

Hal ini berasas sabda Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa ketika Tsumamah bin Uthal masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اذْهَبُوا بِهِ إِلَى حَائِطِ بَنِي فُلَانٍ فَمُرُوهُ أَنْ يَغْتَسِلَ

“Bawalah dia ke kebun milik Bani Fulan, lampau perintahkanlah dia untuk mandi.” (HR. Ahmad, no. 8024; sabda ini dinilai sahih oleh Al-Albani). [6]

Kecuali jika seseorang masuk Islam dalam keadaan junub, alias seorang wanita masuk Islam dalam keadaan menstruasi alias nifas; dan belum mandi sebelum masuk Islam. Maka, dalam kondisi seperti ini mandi menjadi wajib, bukan lantaran masuk Islam, tetapi lantaran mereka sedang dalam keadaan hadas besar. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan Syafi’i. [7]

Bagaimana status norma pernikahan?

Islam membujuk seluruh manusia untuk memeluknya dan mengikuti petunjuknya yang lurus. Agama ini juga mempertimbangkan adanya ikatan pernikahan dan hubungan family yang erat di antara orang-orang yang baru masuk Islam, yang tidak mudah untuk diakhiri alias diputuskan begitu saja. Oleh lantaran itu, Islam mengatur norma mengenai pernikahan dan memberikan penjelasan mengenai batas serta implikasinya.

Pasangan nonmuslim yang menikah sebelum masuk Islam dapat menghadapi dua kondisi: mereka masuk Islam berbareng alias salah satu di antara mereka masuk Islam lebih dahulu. Bagaimana status norma pernikahan dalam situasi-situasi ini?

Jika keduanya masuk Islam bersama

Para ustadz sepakat bahwa jika suami dan istri masuk Islam secara berbarengan di waktu dan tempat yang sama, maka pernikahan mereka tetap sah berasas janji sebelumnya, selama tidak ada halangan syar’i yang menyebabkan pernikahan tersebut batal. Hal ini bertindak baik mereka masuk Islam sebelum alias setelah berasosiasi badan. Banyak kasus di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana pasangan nonmuslim masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan pernikahan mereka tanpa menanyakan perincian alias syarat-syaratnya.

Jika salah satu pasangan masuk Islam lebih dahulu

Dalam situasi ini, dan terjadi setelah berasosiasi badan [8]; maka tidak lepas dari beberapa kemungkinan berikut:

Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri adalah mahir kitab

Jika suami masuk Islam terlebih dahulu, sementara istrinya adalah mahir kitab (Nasrani alias Yahudi), dan pernikahan mereka sudah terjalin sebelumnya, maka pernikahan tersebut tetap sah. Hal ini lantaran Islam membolehkan seorang muslim menikahi wanita mahir kitab, sebagaimana firman Allah,

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ

“Dan (dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang beragama dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Ma’idah: 5)

Jika suami masuk Islam lebih dahulu, dan istri bukan mahir kitab

Jika suami masuk Islam lebih dahulu, sementara istrinya bukan mahir kitab, maka pernikahan kudu diputuskan (diakhiri), selain istri masuk Islam sebelum masa iddah berakhir. Masa iddah adalah tiga kali menstruasi bagi wanita yang tetap mengalami haid, tiga bulan bagi wanita yang tidak mengalami haid, alias sampai melahirkan bagi wanita hamil. Jika istri masuk Islam sebelum iddah selesai, pernikahan tetap sah. Namun, jika tidak, pernikahan dianggap batal.

Dalil dari norma ini adalah kisah Abu Sufyan bin Harb yang masuk Islam lebih dulu dari istrinya, Hindun binti Utbah. Beberapa hari kemudian Hindun masuk Islam, dan Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan mereka.

Jika istri masuk Islam lebih dahulu, sementara suami tetap nonmuslim

Jika istri masuk Islam sementara suaminya tetap nonmuslim (baik mahir kitab maupun bukan), maka istri wajib memutuskan (mengakhiri) hubungan pernikahan tersebut. Namun, status pernikahan tetap dapat dipertahankan selama masa iddah. Jika suami masuk Islam sebelum masa iddah selesai, pernikahan tetap sah. Jika tidak, pernikahan dianggap batal setelah masa iddah berakhir.

Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

إِذَا أَسْلَمَتِ النَّصْرَانِيَّةُ قَبْلَ زَوْجِهَا بِسَاعَةٍ حَرُمَتْ عَلَيْهِ

“Jika seorang wanita Nasrani masuk Islam sebelum suaminya, maka dia menjadi haram bagi suaminya.” (HR. Bukhari no. 4983)

Demikian juga, Rasulullah mengesahkan kembali pernikahan Safwan bin Umayyah dan Ikrimah bin Abu Jahal tanpa memerlukan janji baru.

Jika seorang wanita masuk Islam sebelum suaminya, dia wajib memberitahukan perihal ini kepada suaminya dan dianjurkan untuk mengajaknya masuk Islam dengan langkah yang baik. Ia juga kudu menjelaskan bahwa jika suami tidak masuk Islam dalam masa iddah, maka dia kudu berpisah dengannya. [9]

Apa yang kudu dilakukan setelah masuk Islam?

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mempelajari aliran Islam (khususnya salat) dan membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh jahiliyah.

Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari ayahnya, dia berkata,

كان الرجل إذا أسلم علمه النبي الصلاة. ثم أمره أن يدعو بهؤلاء الكلمات: «اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي.»

“Apabila seseorang masuk Islam, Nabi mengajarinya salat, lampau memerintahkannya untuk membaca angan berikut, ‘Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah saya petunjuk, kesehatan, dan rezeki.’” (HR. Muslim no. 2697)

Diriwayatkan pula dari ‘Utsaim bin Kulaib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Saya telah masuk Islam.” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ

“Buanglah rambut kekufuran darimu dan lakukan khitan.” (HR. Abu Dawud no. 302; dinilai sahih oleh Al-Albani).

Mengenai “Buanglah rambut kekufuran,” bukan berfaedah setiap muslim baru kudu mencukur rambutnya sebagaimana diwajibkannya mandi. Namun, ungkapan tersebut menunjukkan bahwa rambut yang mencirikan kekufuran -yang biasanya menjadi tanda unik orang kafir- kudu dihilangkan. Hal ini berbeda-beda sesuai tradisi di beragam tempat. Nabi memerintahkan kepada kakek ‘Utsaim dan orang-orang yang bersamanya untuk mencukur rambut jenis tersebut sebagai tanda perbedaan antara Islam dan kekufuran. Wallahu a’lam.

Adapun “khitan” merupakan bukti bahwa khitan adalah tanggungjawab bagi orang yang masuk Islam dan menjadi salah satu tanda keislaman. [10]

Kita memohon kepada Allah agar memberkahi kita dalam keislaman dan keimanan, meneguhkan hati kita di atas petunjuk, serta memberikan taufik dan kemudahan dalam pekerjaan dan ibadah kita semua. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Mahadekat, dan Maha Mengabulkan doa.

Baca juga: Penjelasan Lengkap Hadis Rukun Islam

***

Rumdin PPIA Sragen, 14 Jumada Al-Awwal 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel: KincaiMedia

Referensi utama:

Unit Penelitian Ilmiah, Idaratul Iftaa. (2011). Al-Mulakhkhash Al-Mufid fi Ahkam Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). 1432/ 2011.

Al-Munajjid, Muhammad Shalih. (2009). Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid (Edisi Pertama). Al-Khubar: Majmu’ah Zad. 1430/ 2009.

Catatan kaki:

[1] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix – x)

[2] Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, (1: 228).

[3] Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 11: 173.

[4] Al-Mulakhkhash Al-Mufid (ix).

[5] Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, 2: 540.

[6] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 14.

[7] Lihat http://iswy.co/e14sai

[8] Jika terjadi sebelum berhubungan, terdapat rincian yang cukup panjang. Silakan merujuk ke kitab referensi.

[9] Diringkas dari Al-Mulakhkhash Al-Mufid, hal. 263-267.

[10] Al-Mufid fi At-Ta’amul ma’a Al-Muslim Al-Jadid, hal. 16-17.

Selengkapnya