KincaiMedia– Berikut ini langkah menghindari riya dalam ibadah menurut Imam Ghazali. Riya, alias beragama dengan niat agar dilihat dan dipuji oleh manusia, merupakan salah satu penyakit hati yang berbahaya. Penyakit ini tidak hanya merusak kebaikan ibadah, tetapi juga menjauhkan seorang hamba dari ridha Allah.
Dalam kitab Minhajul Abidin , laman 355-358, Imam Ghazali memberikan empat langkah menghindari riya, yang dapat membantu seorang hamba mengikis riya dari hatinya. Penjelasan ini relevan bagi siapa saja yang berupaya menjaga keikhlasan dan integritas spiritual dalam ibadah mereka.
Cara Menghindari Riya
1. Sadari Kekurangan dalam Ibadah
Salah satu langkah utama untuk menghilangkan riya’ adalah menyadari bahwa ibadah kita tidak pernah sempurna. Imam Ghazali menekankan pentingnya merenungkan firman Allah dalam Surat At-Thalaq ayat 12:
اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًاࣖ
Artinya: “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan (menciptakan pula) bumi seperti itu. Perintah-Nya bertindak padanya agar Anda mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan pengetahuan Allah betul-betul meliputi segala sesuatu.”
Ayat ini mengingatkan bahwa Allah telah menciptakan langit, bumi, dan segala keindahannya sebagai tanda kekuasaan-Nya. Namun, sering kali manusia lalai untuk mensyukuri nikmat ini dengan ibadah yang betul-betul tulus. Bahkan dalam ibadah, manusia kerap mencari perhatian dan pujian dari orang lain, seolah-olah melupakan bahwa Allah Maha Tahu bakal setiap amal.
Imam Ghazali menjelaskan bahwa jika kita memahami sungguh kecilnya kebaikan kita di hadapan Allah, maka bakal tumbuh kesadaran bahwa tidak ada gunanya mencari pujian dari makhluk yang lemah seperti kita. Ibadah yang penuh dengan kekurangan ini hanya layak dipersembahkan kepada Allah, bukan untuk menarik simpati manusia.
2. Ingat Kerugian Besar Akibat Riya’
Riya’ tidak hanya membatalkan pahala ibadah, tetapi juga mendatangkan kerugian besar. Imam Ghazali mengibaratkan riya’ seperti seseorang yang mempunyai permata berbobot yang dapat dijual dengan nilai miliaran rupiah, tetapi memilih menjualnya hanya dengan nilai satu rupiah. Perbuatan seperti itu tentu bakal dianggap tolol oleh siapa pun.
Allah berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 134:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللّٰهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ
Artinya: “Siapa yang menghendaki pahala dunia, maka di sisi Allah ada pahala bumi dan akhirat.”
Ibadah yang hanya ditujukan untuk dunia, seperti mencari pujian manusia, tidak bakal menghasilkan pahala akhirat. Bahkan, pujian manusia yang menjadi tujuan ibadah itu pun belum tentu tercapai. Semua pujian manusia tidak bakal pernah sebanding dengan jawaban dan ridha Allah.
Pengingat ini menekankan pentingnya memurnikan niat dalam ibadah. Ketika kita sadar bahwa riya membikin kita kehilangan pahala alambaka dan jawaban dunia, maka bujukan untuk beragama demi manusia bakal semakin melemah.
3. Sadari bahwa Orang Lain Tidak Selalu Peduli
Menurut Imam Ghazali, beragama demi perhatian orang lain adalah tindakan sia-sia. Orang yang kita harapkan pujiannya mungkin tidak menyadari kebaikan kita, alias apalagi merasa terganggu jika tahu ibadah itu dilakukan untuk mereka.
Sikap manusia sering kali tidak bisa ditebak. Apa yang dianggap sebagai kebaikan baik oleh kita, bisa jadi dipandang sebagai perihal yang tidak berarti, alias malah disalahartikan oleh orang lain. Sebaliknya, Allah selalu menerima kebaikan ibadah yang dilakukan dengan tulus. Dengan menanamkan pemahaman ini, seorang hamba bakal lebih konsentrasi untuk beragama hanya demi Allah.
Selain itu, kesadaran ini juga membantu mengembangkan hubungan spiritual yang lebih kuat dengan Allah. Ketika kita tidak lagi peduli dengan penilaian manusia, ibadah kita menjadi lebih jujur dan bermakna.
4. Fokus pada Ridha Allah
Imam Ghazali memberikan afinitas yang menarik: seseorang yang mencari ridha manusia seumpama orang yang bisa mendapatkan restu seorang raja, tetapi malah memilih mencari restu seorang gelandangan. Dengan mendapatkan restu raja, restu gembel bakal datang dengan sendirinya. Namun, jika seseorang hanya mengejar restu gelandangan, dia tidak hanya kehilangan restu raja, tetapi juga restu gembel itu sendiri.
Allah adalah pemilik hati setiap manusia. Jika seorang hamba sukses meraih ridha Allah, maka ridha manusia bakal mengikuti secara alami. Namun, jika seorang hamba hanya berupaya mendapatkan perhatian manusia, maka dia tidak hanya kehilangan ridha Allah, tetapi juga menghadapi kemungkinan tidak dihargai oleh manusia itu sendiri.
Pengingat ini mengajarkan kita untuk memprioritaskan ridha Allah dalam segala aspek kehidupan. Dengan menjadikan Allah sebagai tujuan utama, ibadah kita tidak hanya menjadi sarana mendekatkan diri kepada-Nya, tetapi juga membawa keberkahan dalam hubungan sosial.
Demikianlah penjelasan Imam Ghazali mengenai empat pengingat untuk menghilangkan riya’ dan menjaga keikhlasan dalam beribadah. Dengan menanamkan keempat pengingat ini dalam hati, kita dapat mengarahkan niat ibadah hanya untuk Allah.
Semoga Allah senantiasa melindungi hati kita dari penyakit riya dan menerima kebaikan ibadah kita dengan penuh kasih sayang. Wallahu a’lam bi al-shawab.