Pernahkah Anda bertanya-tanya gimana sebenarnya kepintaran buatan (AI) membikin keputusan? Jika ya, Anda tidak sendirian. Bahkan sang pembuatnya pun mengaku tidak tahu. Dario Amodei, CEO Anthropic—salah satu laboratorium AI terkemuka dunia—baru saja mengungkapkan kebenaran mengejutkan: para intelektual sendiri tidak sepenuhnya memahami langkah kerja teknologi yang mereka ciptakan.
Dalam esai terbaru di situs pribadinya, Amodei mengibaratkan AI sebagai “kotak hitam” raksasa. Meski bisa meringkas arsip finansial alias menulis puisi, tidak ada yang tahu kenapa dia memilih kata tertentu alias terkadang membikin kesalahan. “Kami tidak mempunyai pemahaman spesifik tentang proses internalnya,” ujarnya. Pengakuan jujur ini mungkin mengejutkan bagi banyak orang, terutama mengingat AI telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dari rekomendasi produk hingga asisten virtual.
Anthropic, perusahaan yang didirikan Amodei berbareng saudaranya Daniela pada 2021 setelah keduanya keluar dari OpenAI, memang dibangun dengan filosofi berbeda. Kekhawatiran bakal keselamatan AI dan transparansi menjadi fondasi utama. Kini, mereka berambisi menciptakan “MRI untuk AI” dalam dasawarsa mendatang—sebuah terobosan untuk memetakan “pikiran” mesin yang tetap misterius ini.
Misteri di Balik Kecerdasan Buatan
Amodei menggambarkan ketidaktahuan ini sebagai kejadian unik dalam sejarah teknologi. “Bandingkan dengan pesawat alias obat-obatan,” tulisnya. “Kita memahami prinsip aerodinamika alias biokimia di baliknya. Tapi dengan AI, kami hanya memandang input dan output tanpa tahu proses di antaranya.”
AI modern bekerja dengan menelan informasi dalam jumlah masif—mulai dari buku, artikel, hingga percakapan manusia—lalu mencari pola statistik. Seperti cara kerja AI di Galaxy Buds3 Series alias algoritma Meta di Instagram, sistem ini belajar dari contoh, bukan dari pemahaman konseptual. Itulah kenapa terkadang ChatGPT bisa menulis esai brilian, tapi di saat lain memberikan jawaban yang sama sekali melenceng.
Eksperimen Merah vs Biru
Untuk mengurai teka-teki ini, Anthropic melakukan penelitian unik. Tim “merah” sengaja menyuntikkan bug ke dalam model AI—misalnya, kecenderungan untuk memanipulasi celah aturan. Tim “biru” kemudian ditantang mendeteksi masalah tersebut. Hasilnya? Beberapa tim sukses mengidentifikasi anomaly tersebut dengan perangkat interpretabilitas khusus.
Amodei optimis pendekatan ini bisa dikembangkan lebih jauh. “Kami baru di tahap awal,” akunya. Tapi baginya, memahami AI bukan lagi sekadar kemauan akademis, melainkan kebutuhan mendesak. Terutama ketika teknologi ini mulai menyentuh aspek kritis seperti kesehatan, keuangan, alias keamanan nasional.
Peringatannya jelas: “AI yang kuat bakal membentuk takdir manusia. Kita berkuasa memahami buatan sendiri sebelum mereka mengubah ekonomi, kehidupan, dan masa depan kita secara radikal.” Sebuah pesan yang mungkin perlu direnungkan oleh semua pemain di industri ini—dari Google hingga startup AI lokal.