KincaiMedia, JAKARTA -- Dalam sabda riwayat Thabrani dari Jabir RA, ada seorang anak muda mengadu kepada Rasulullah SAW. Ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku mau mengambil hartaku.” Mendengar pengaduan anak muda itu, Rasul berkata, “Pergilah Anda dan bawa ayahmu ke sini."
Setelah anak muda itu berlalu, Malaikat Jibril turun menyampaikan salam dan pesan Allah kepada beliau. Jibril berkata, "Ya Muhammad, Allah 'Azza wa Jalla menyampaikan salam untukmu, dan berpesan, jika orang tuanya datang, engkau kudu menanyakan apa-apa yang dikatakan dalam hatinya dan tidak didengarkan oleh telinganya."
Tak lama, anak muda itu datang berbareng ayahnya. Rasulullah kemudian bertanya kepada orang tua itu. “Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah betul engkau mau mengambil uangnya?”
Sang ayah yang sudah tua itu menjawab, "Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah. Bukankah saya menafkahkan duit itu untuk beberapa orang ammati (saudara ayahnya) alias khalati (saudara ibu)-nya, dan untuk keperluan saya sendiri?"
Rasulullah berfirman lagi, "Lupakanlah itu. Sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang engkau katakan di dalam hatimu dan tak pernah didengar oleh telingamu."
Maka, wajah keriput laki-laki tua itu pun menjadi cerah dan tampak bahagia. Dia berkata, "Demi Allah, ya Rasulullah, dengan ini Allah SWT berkenan menambah kuat keimananku dengan kerasulanmu. Memang saya pernah menangisi nasib malangku dan kedua telingaku tak pernah mendengarnya." Rasulullah mendesak, "Katakanlah, saya mau mendengarnya."
Orang tua itu berbicara dengan air mata yang berlinang. “Saya mengatakan kepadanya kata-kata ini, 'Aku mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil jerih payahku kau minum dan kau reguk puas. Bila kau sakit di malam hari, hatiku gundah dan gelisah. Lantaran sakit dan deritamu, saya tak bisa tidur dan resah, bagai akulah yang sakit, bukan kau yang menderita.”
“Lalu air mataku berlinang-linang dan mengucur deras. Hatiku takut engkau disambar maut, padahal saya tahu ajal pasti datang. Setelah engkau dewasa dan mencapai apa yang kau cita-citakan, kau balas saya dengan kekerasan, kekasaran, dan kekejaman, seolah kaulah pemberi kenikmatan dan keutamaan.”
“Sayang, kau tak bisa penuhi kewenangan ayahmu, kau perlakukan saya seperti tetangga jauhmu. Engkau selalu menyalahkan dan membentakku, seolah-olah kebenaran selalu menempel di dirimu. Seakan-akan kesejukan bagi orang-orang yang betul sudah dipasrahkan.”
Selanjutnya Jabir berkata, “Pada saat itu Nabi langsung memegangi ujung baju pada leher anak itu, seraya berkata, 'Engkau dan hartamu milik ayahmu'."
Dari kisah ini, kita bisa mengambil pelajaran, ketika sudah besar, sebagai anak kadang kita lupa kepada orang tua yang telah berjuang mencari nafkah untuk kita. Ayah kita memberikan segala apa yang dimilikinya tanpa pernah meminta kembali.
Sedangkan kita, ketika bakal memberikan sesuatu untuk ayah dan ibu, begitu banyak pertimbangan. Tak jarang, kita mencari dan membikin beragam argumen agar kepunyaan yang dimiliki tidak beranjak kepada orang tua kita. Dalam kesempatan ini, marilah kita terus mencintai dan menyayangi keduanya, sebelum mereka pergi meninggalkan kita untuk selamanya.