Pernahkah Anda membayangkan gimana rasanya menjadi salah satu orang terkaya di dunia, hanya untuk dihantam angin besar masalah bertubi-tubi? Itulah yang sedang dialami Elon Musk. April 2025 menjadi bulan yang kelam bagi sang visioner. Mulai dari penurunan saham Tesla yang tajam, protes massal, hingga ancaman serius dari pesaing asal China, BYD. Situasi ini bukan sekadar gejolak kecil—ini adalah krisis multidimensi yang menguji ketahanan upaya Musk.
Sejak awal April, saham Tesla (TSLA) telah ambruk lebih dari 18%, memperpanjang tren penurunan selama enam bulan terakhir. Padahal, sektor teknologi sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan pada 8 April. Namun, TSLA justru kembali terpuruk. Penyebabnya? Laporan pengiriman kendaraan Q1 yang jauh di bawah perkiraan Wall Street. Investor mulai kehilangan kesabaran, dan sentimen konsumen pun terus merosot.
Tidak hanya di pasar saham, Musk juga menghadapi gelombang protes di beragam wilayah. Aksi vandalisme dan unjuk rasa menentang kebijakan efisiensi Tesla serta keterkaitannya dengan Departemen Efisiensi Pemerintah AS (DOGE) semakin menjadi sorotan. Di tengah semua ini, China justru menjadi medan pertempuran baru yang mungkin menentukan nasib Tesla di masa depan.
Anjloknya Saham Tesla: Bukan Sekedar Fluktuasi Biasa
Penurunan saham Tesla bukanlah perihal baru, tetapi kali ini skalanya berbeda. Sejak kuartal pertama 2025, TSLA telah kehilangan lebih dari 18% nilainya. Analis memprediksi perihal ini dipicu oleh dua aspek utama: ketidakpastian kebijakan tarif impor AS di bawah pemerintahan Trump dan keahlian pengiriman yang mengecewakan. Meski Musk dan Trump terlihat akrab, hubungan baik itu rupanya tidak cukup untuk menenangkan pasar.
Yang lebih mengkhawatirkan, sentimen konsumen terhadap Tesla terus menurun. Survei terbaru menunjukkan bahwa banyak pemilik kendaraan listrik mulai mempertanyakan kualitas jasa purna jual dan penemuan terbaru Tesla. Padahal, di tengah persaingan ketat dengan BYD dan produsen EV lainnya, kepercayaan konsumen adalah modal utama.
Protes dan Vandalisme: Efek Domino Kebijakan Musk
Di luar bursa saham, Elon Musk juga kudu berhadapan dengan kemarahan publik. Protes terhadap Tesla dan DOGE telah menyebar di beragam kota di AS. Beberapa tindakan apalagi berujung pada vandalisme, dengan pesan-pesan kritik terhadap Musk dilukis di tembok instansi Tesla. Isunya beragam, mulai dari kebijakan efisiensi yang dianggap merugikan tenaga kerja hingga kontroversi seputar support Musk terhadap DOGE.
Banyak yang mempertanyakan apakah Musk bisa konsentrasi mengelola Tesla sembari terlibat dalam proyek-proyek lain seperti SpaceX dan Neuralink. “Ini bukan lagi tentang multitasking, tapi tentang prioritas,” ujar seorang analis industri yang enggan disebutkan namanya.
BYD di China: Ancaman Nyata yang Semakin Dekat
Sementara Tesla berjuang di pasar AS dan Eropa, BYD asal China justru mencatatkan pertumbuhan stabil. Produsen mobil listrik ini telah mengalahkan Tesla dalam penjualan dunia selama dua kuartal berturut-turut—prestasi yang dicapai tanpa mengandalkan pasar AS. Kini, dengan saham Tesla yang terus melemah, BYD berkesempatan besar untuk menggeser posisi Tesla sebagai raja EV dunia.
Yang membikin situasi semakin rumit, BYD baru saja mengumumkan kerjasama dengan DeepSeek di bagian AI—langkah strategis yang bisa memperlebar jarak dengan Tesla. Jika Musk tidak segera menemukan solusi, kekuasaan Tesla di pasar dunia bisa betul-betul terkikis.
Lalu, apa langkah Musk selanjutnya? Mundur dari posisi CEO Tesla seperti yang didesak sebagian investor? Atau justru menggandakan strategi ekspansi? Satu perihal yang pasti: April 2025 bakal dikenang sebagai bulan penuh ujian bagi salah satu pengusaha paling berpengaruh di bumi ini.