Darah yang Terputus, Qishatul Baydha, Membaca Al-Quran, dan Obat Pencegah Haid
Pertanyaan ke-6:
Jika seorang wanita memandang satu hari pada masa kebiasaan haidnya ada darah, kemudian dia tidak memandang ada darah pada siang hari berikutnya, apa yang kudu dia lakukan?
Jawaban:
Yang nampak ialah, bahwa suci alias keringnya dia (dari darah), selama perihal itu terjadi pada masa-masa haidnya, maka tetap terhitung haid. Adapun jika sampai 15 hari, maka darah tersebut terhitung darah istihadah. Hal inilah yang paling masyhur (terkenal) di kalangan ajaran Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaahu.
Pertanyaan ke-7:
Pada hari-hari terakhir menstruasi dan sebelum masa suci, seorang wanita tidak memandang ada jejak alias sisa darah. Apakah dia berpuasa di hari tersebut meskipun dia tidak memandang qishatul baydha, alias apa yang harusnya dia lakukan?
Jawaban:
Jika biasanya dia tidak memandang qishatul baydha sebagaimana perihal ini terjadi pada beberapa wanita, maka dia tetap berpuasa. Tetapi jika biasanya dia memandang qishatul baydha, maka dia tidak berpuasa sampai memandang qishatul baydha.
Pertanyaan ke-8:
Apa norma membaca Al-Quran bagi wanita menstruasi dan nifas, baik itu membaca (dengan mushaf) alias menghafalnya pada waktu yang genting lantaran dia adalah seorang siswa ataupun guru?
Jawaban:
Tidak kenapa bagi wanita menstruasi ataupun nifas membaca Al-Quran jika ada rencana (keperluan). Seperti misalnya dia adalah seorang pembimbing yang membaca dan mengulanginya pada malam alias siang hari. Tetapi membaca yang saya maksudkan di sini, jika dia (wanita) beriktikad membaca Al-Quran untuk mendapatkan pahala tilawah, maka lebih baik tidak dia lakukan. Karena kebanyakan ahlul ‘ilmi berpendapat bahwasanya bagi wanita menstruasi tidak diperkenankan membaca Al-Quran.
Pertanyaan ke-9:
Apa pendapat Anda jika mengonsumsi pil (obat) penghalang menstruasi demi berpuasa?
Jawaban:
Saya takut bakal perihal tersebut. Karena pil-pil ini mempunyai pengaruh yang sangat rawan yang saya ketahui dari para dokter. Dan dikatakan untuk para wanita, bahwasanya perihal ini (haid) adalah sesuatu yang sudah Allah tetapkan atas anak-anak wanita Adam. Maka terimalah apapun ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan berpuasalah (bagi para wanita), jika tidak ada penghalang (haid). Adapun jika ada penghalang (haid), maka berbukalah (baca: tidak berpuasa) lantaran rida dengan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pertanyaan ke-10:
Beberapa wanita mengalami darah yang terus keluar kemudian berakhir satu hari alias dua hari, lampau keluar lagi darahnya. Maka, apa hukumnya dan kaitannya dengan norma puasa, salat, dan ibadah-ibadah lainnya?
Jawaban:
Pendapat yang ma’ruf atau lebih banyak dikenal oleh para ahlul ‘ilmi ialah bahwasanya bagi perempuan, jika dia mempunyai kebiasaan (haid), kemudian telah selesai dari kebiasaan tersebut, maka dia mandi (junub), salat, dan puasa. Adapun apa yang dia lihat setelah dua hari, alias tiga hari (setelah haid), bukan termasuk darah haid, lantaran minimal masa suci menurut para ustadz adalah 13 hari. Dan sebagian ahlul ‘ilmi berkata: sesungguhnya, kapanpun seorang wanita memandang darah, maka itu adalah haid, dan kapanpun dia suci darinya, maka dia sudah suci dari masa haidnya, dan jarak antara dua masa menstruasi adalah 13 hari.
Kembali ke bagian 1
***
Penerjemah: Evi Noor Azizah
Artikel KincaiMedia
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari kitab Risalatun fii Ad-Dimaai Ath-Thabi’iyyati lin-Nisaa, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 38-39.