Fatwa Ulama: Hukum Berenang Bagi Orang Yang Berpuasa Di Bulan Ramadan

Mar 20, 2025 06:00 AM - 1 bulan yang lalu 46648

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Apa norma berenang bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadan? Wajazakumullah khairan.

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du.

Berenang -pada dasarnya- tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Hukumnya sama seperti mandi secara umum bagi orang yang berpuasa, baik mandi di dalam bilik mandi, kolam, bak air, alias sejenisnya, meskipun tujuannya hanya untuk mendinginkan badan. Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam pembahasan babnya yang berjudul, ‘Bab Mandinya Orang yang Berpuasa’, telah menyebutkannya secara umum, yang mencakup mandi sunnah, wajib, dan mubah. [1]

Dan yang menunjukkan kebolehan mandi (secara mubah) adalah dalil asal yang membolehkannya serta atsar-atsar yang mauquf (riwayat yang berakhir pada sahabat). Di antaranya adalah atsar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang berkata, ‘Sesungguhnya saya mempunyai bak air (abzan), dan jika saya merasa kepanasan, saya bakal menceburkan diri ke dalamnya meskipun saya sedang berpuasa.’ [2]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Al-Abzan -dengan mem-fathah-kan hamzah (أ), menyukunkan ba (ب), mem-fathah-kan za (ز), dan diikuti nun (ن)- adalah batu yang dilubangi menyerupai bak air. Kata ini berasal dari bahasa Persia; lantaran itulah dia tidak di-tashrif (tidak berubah bentuk). Sepertinya al-abzan itu penuh dengan air, sehingga Anas -jika merasa kepanasan- masuk ke dalamnya untuk mendinginkan badan.’ [3]

Berenang diperbolehkan jika tempatnya kondusif dari kemungkaran-kemungkaran yang biasanya menyertainya, seperti tampaknya aurat, terbukanya bagian tubuh yang semestinya tertutup, alias memandang hal-hal yang diharamkan. Jika tidak kondusif dari hal-hal tersebut, maka berenang menjadi haram lantaran faktor-faktor ini, bukan lantaran kegiatan berenang itu sendiri.

Selanjutnya, jika dia adalah seorang penyelam yang mencari nafkah melalui pekerjaannya menyelam -baik untuk memperbaiki kapal, mengelas, alias tujuan lainnya- dan pekerjaannya tersebut bertepatan dengan bulan Ramadan, maka wajib baginya berhati-hati agar air tidak masuk ke dalam tubuhnya. Jika air masuk ke tenggorokannya melalui mulut alias hidung tanpa sengaja alias tanpa kelalaian, maka puasanya tetap sah tanpa makruh.

Adapun jika menyelam di air alias berenang di dalamnya dilakukan untuk bersenang-senang, mendinginkan badan, berolahraga, alias sekadar bermain-main dan berlebihan, tanpa adanya motivasi kebutuhan seperti pekerjaan, mencari nafkah, pengamanan (seperti pekerjaan Search and Rescue [SAR]-pent.), alias sejenisnya, maka jika dia seorang perenang yang tidak cemas air bakal masuk ke tenggorokannya sehingga dapat memastikan menjaga puasanya, perihal itu diperbolehkan baginya sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan sebelumnya.

Adapun jika dia seorang perenang yang cemas bahwa berenang bakal menyebabkan air masuk ke dalam tenggorokannya, maka berenang tidak diperbolehkan baginya. Hal ini berasas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu,

وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke hidung saat wudu), selain jika Anda sedang berpuasa.” [4]

Dalam kedua kondisi ini -baik ketika ada kekhawatiran air masuk ke tenggorokan maupun ketika kondusif dari perihal tersebut- jika air masuk ke dalam perutnya tanpa sengaja alias tanpa disengaja, maka puasanya tetap sah meskipun makruh. Ini berbeda dengan pendapat kebanyakan ustadz (jumhur) yang menyatakan bahwa puasanya batal dan wajib baginya mengqadha (mengganti) puasa tersebut.

Puasa dianggap sah lantaran kejadian ini dianggap serupa dengan masuknya debu jalanan, tepung yang terhirup saat mengayak, alias seekor lalat yang terbang masuk ke tenggorokan. Dengan ini, kasus ini berbeda dengan orang yang sengaja memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya. [5]

Hukum makruh ditetapkan baginya lantaran motivasi berenangnya di bulan Ramadan bukanlah lantaran kebutuhan alias darurat. Oleh lantaran itu, berenang dimakruhkan baginya lantaran kekhawatiran air masuk ke tenggorokannya. Al-Hasan (Al-Bashri) dan Asy-Sya’bi telah memakruhkan seseorang untuk berendam dalam air lantaran cemas air bakal masuk ke telinganya. [6] Hal ini juga agar dia tidak membiarkan dirinya terjerumus dalam perbedaan pendapat ustadz tentang hukumnya, terutama dalam perihal yang mengandung unsur bermain-main dan berlebihan tanpa kebutuhan alias kedaruratan.

Ini (perlu diperhatikan), dan seorang yang berpuasa hendaknya memanfaatkan bulan Ramadan dengan sebaik-baiknya. Dia kudu bersungguh-sungguh dalam beribadah, melakukan ketaatan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dia juga kudu menjauhi semua pelanggaran, kemungkaran, dan hal-hal yang dilarang. Dia kudu berupaya melakukan hal-hal yang berfaedah bagi kehidupan dunianya dan akhiratnya. Dia kudu berupaya memanfaatkan waktunya untuk melakukan apa yang dicintai dan diridai oleh Allah. Dia juga kudu menjaga dirinya dari hal-hal yang sia-sia, permainan, banyolan tawa yang berlebihan, perbuatan yang merusak muruah (harga diri), serta perbuatan-perbuatan lain yang sebaiknya ditinggalkan, baik di bulan Ramadan maupun di luar Ramadan, lantaran hal-hal tersebut dapat menyia-nyiakan umur yang semestinya digunakan untuk tujuan penciptaannya.

Dan pengetahuan (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup angan kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.

Baca juga: Hukum Makanan Khusus pada Hari Raya Bid‘ah

***

Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-1063

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Artikel KincaiMedia

Catatan kaki:

[1] Lihat Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 153).

[2] Disebutkan secara mu’allaq (tanpa sanad lengkap) oleh Al-Bukhari dalam kitab As-Shaum (Puasa), bab ‘Mandinya Orang yang Berpuasa’ (4: 153). Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (4: 154) berkata, ‘Qasim bin Tsabit meriwayatkannya dengan sanad komplit dalam kitabnya, Gharib al-Hadits.’

[3] Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar (4: 154).

[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “At-Thaharah”, bab tentang istintsar (mengeluarkan air dari hidung) (no. 142), dan dalam “As-Shaum”, bab tentang orang yang berpuasa menyiram air lantaran kehausan dan berlebihan dalam istinsyaq (no. 2366); At-Tirmidzi dalam “As-Shaum”, bab tentang larangan berlebihan dalam istinsyaq bagi orang yang berpuasa (no. 788); An-Nasa’i dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq (no. 87); dan Ibnu Majah dalam “At-Thaharah”, bab tentang berlebihan dalam istinsyaq dan istintsar (no. 407), dari sabda Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam “Al-Irwa'” (4: 85, no. 935)

[5] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 108-109) dan Al-Majmu’, karya An-Nawawi (6: 326).

[6] Lihat Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (3: 109).

Selengkapnya