Melanjutkan tentang pembahasan fikih janji salam, telah berlalu penjelasan sebelumnya tentang arti dan norma dari janji salam. Di mana janji salam secara mudahnya adalah “membeli sesuatu dengan duit secara tunai, namun penyerahan peralatan ditunda sesuai dengan kesepakatan.”
Telah jelas bakal bolehnya janji salam berasas dalil-dalil yang telah disebutkan. Tentunya dari kebolehannya janji salam, terdapat rukun-rukun dan syarat-syarat yang kudu terpenuhi. Sehingga, janji salam tetap berada pada norma asalnya, ialah mubah.
Oleh lantaran itu, pembahasan kali ini mengerucut pada rukun-rukun dari janji salam, syarat-syarat, dan juga model dari janji salam. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat dari janji salam, transaksi muamalah akan menjadi legal dan tentunya diberkahi oleh Allah Ta’ala.
Rukun janji salam
Rukun pada janji salam setidaknya terdiri dari tiga. Yaitu, adanya dua pihak yang berakad, duit tunai dan barang, dan shigat (ijab kabul). [1]
Dua pihak yang berakad
Pada janji salam harus jelas mengenai dengan kedua belah pihak yang berakad, tentunya secara umum disyaratkan dalam perihal ini adalah orang yang sudah muslim, baligh, dan berakal. Kalaupun diwakilkan, maka wakil pun kudu memenuhi dari syarat-syarat perwakilan.
Kedua pihak dalam janji ini adalah
Al-Muslim: Yaitu, pembeli yang menyerahkan duit tunai kepada penjual sebagai perangkat tukar untuk peralatan yang mau dia peroleh pada waktu kemudian.
Al-Muslam ilaih: Yaitu, penjual yang menerima duit tunai dari pembeli dan menyerahkan peralatan kepada pembeli sebagai perangkat tukar dari duit tersebut.
Uang tunai dan peralatan
Di antara rukun janji salam adalah duit tunai dan barang, di mana kedua ini termasuk perihal krusial dalam komponen janji salam. Dalam istilah hukum adalah,
Ra’sul Mal: Yaitu, duit tunai yang dibayarkan kepada penjual.
Al-Muslam fih: Yaitu, peralatan yang dijual kepada pembeli. Pada peralatan inilah karena terjadinya janji salam, yaitu dengan menyerahkan peralatan ini kepada pembeli sebagai perangkat tukar dari duit tunai yang diberikan.
Shigat (ijab kabul)
Tentunya perihal ini telah makruf di antara setiap rukun jual beli, mesti ada yang namanya ijab kabul. Namun, mengenai dengan ijab kabul ini, tidak ada lafaz-lafaz tertentu yang diharuskan. Pada intinya, ijab kabul adalah sebagai corak dari penjual dan pembeli dalam serah terima peralatan dan uang. Seperti,
Pembeli mengatakan, “Saya memberikan duit ini sebagai corak janji salam kepadamu untuk peralatan ini dan itu dalam waktu sekian.”
Penjual mengatakan, “Saya terima duit ini sebegai corak janji salam dan saya bakal berikan peralatan ini dan itu pada tempo waktu sekian.”
Idealnya dalam jual beli memang demikian. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu dan zaman, maka corak ijab kabul dikembalikan kepada masing-masing ‘urf.
Pada intinya, ketiga rukun janji ini kudu terpenuhi dan kudu ditunaikan oleh kedua belah pihak. Agar janji salam yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat.
Syarat janji salam
Syarat-sayarat janji salam adalah sebagai berikut: [2]
Barang yang dijadikan salam harus jelas
Dalam janji salam, mengingat penyerahan peralatan sifatnya “ditunda”, maka peralatan kudu jelas di awal. Sebagaimana sabda dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Barangsiapa melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka), maka hendaklah dia melakukan salam dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, hingga waktu yang jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengingat barang-barang yang tidak bisa ditentukan sifatnya bakal memunculkan polemik dan perselisihan. Oleh lantaran itu, setidaknya ada empat sifat yang kudu jelas dalam karakterisitik peralatan tersebut,
Pertama, peralatan dapat diukur dengan takaran
Seperti: beras, biji-bijian, kurma, dan lain sebagainya.
Kedua, peralatan dapat diukur dengan timbangan
Seperti: logam (emas dan perak), daging, buah-buahan, dan lain sebagainya.
Ketiga, peralatan dapat diukur dengan hasta, meter, alias satuan panjang
Seperti: kain, tanah, karpet, dan lain sebagainya.
Keempat, peralatan dapat dihitung jumlahnya
Seperti: hewan, telur, buah, dan lain sebagainya.
Sehingga, keempat sifat alias karakterisitik peralatan kudu jelas dan tidak boleh samar-samar. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
ولا نعلم في اعتبار معرفة المقدار خلافاً
“Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam perihal pertimbangan mengetahui ukuran.” [3]
Akad salam harus dalam corak tempo yang jelas
Dalam janji salam, semua kudu jelas di awal, mengingat janji ini adalah janji tempo. Oleh lantaran itu, tempo waktu penyerahan peralatan kudu dijelaskan di awal, kapan kiranya peralatan itu dapat diselesaikan dan penyerahan tersebut kudu dengan sesuai perkiraan yang tepat.
Dan mengenai dengan janji salam, barang tidak bisa diserahkan di awal. Karena jika peralatan diserahkan di awal, bukan dinamakan dengan janji salam.
Penyerahan duit tunai kudu di awal
Penyerahan duit tunai kudu diserahkan di awal. Dalam corak penyerahan uang, tidak bisa diserahkan sebagian tunai dan sebagian utang. Jika demikian, maka dia hanya berkuasa mendapatkan peralatan sesuai dengan duit tunai yang diserahkan.
Setidaknya ketiga syarat ini kudu terpenuhi dalam janji salam.
Model janji salam
Sangat banyak model-model janji salam. Terutama pada era ini di mana bumi semakin berkembang dalam masalah jual beli. Di antara contohnya adalah Pre-Order.
Pre-Order adalah seseorang memesan makanan, barang, produk dengan spesifikasi tertentu dengan bayar duit terlebih dulu sebagai corak memesan. Kemudian peralatan bakal diberikan pada waktu yang disepakati bersama. Bisa satu hari, dua hari, sebulan, dan seterusnya.
Mengingat Pre-Order ini masuk kepada janji salam, tentunya dia kudu memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas. Hati-hati mengenai dengan Pre-Order yang mengandung gharar (tidak pasti) seperti, spesifikasi peralatan tidak jelas, tidak pasti waktu pengiriman, dan lainnya jika memang Pre-Order dalam corak online.
Wallahu’alam.
Kembali ke bagian 1
***
Depok, 24 Sya’ban 1446/ 23 Februari 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: KincaiMedia
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim.
Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy.
Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah.
Dan beberapa referensi lainnya.
Catatan kaki:
[1] Diringkas dari Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 179 dan Shahih Fiqh Sunnah, 5: 243-244.
[2] Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 180.
[3] Al-Mughni, 4: 216; dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maliyah Al-Muyassar, hal. 184.