Fikih Transaksi Gadai (bag. 2): Rukun Dan Syarat Sah Transaksi Gadai

Sedang Trending 3 bulan yang lalu

Beranjak dari pembahasan sebelumnya, setelah membahas tentang definisi, hukum, dan dalil pensyariatan transaksi gadai, termasuk perihal nan krusial untuk diketahui adalah tentang rukun dan syarat sahnya transaksi gadai. Agar transaksi gadai nan dilaksanakan sah dan sesuai dengan syariat.

Rukun transaksi gadai[1]

Pada pembahasan sebelumnya, telah sedikit disinggung tentang masalah rukun dari transaksi gadai. Setidaknya dalam transaksi gadai kudu terpenuhi beberapa rukun berikut ini:

Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan)

Rukun nan kudu ada adalah agunan berupa peralatan alias faedah nan diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. nan kemudian agunan tersebut dipegang oleh pemberi pinjaman sebagai agunan atas pinjaman nan diberikan. Tentang perihal ini ada beberapa ketentuan dari para ulama:

Pertama: Jaminan tersebut berupa peralatan alias manfaat. Kendati agunan berupa faedah terdapat khilaf di antara para ulama, nan kelak bakal datang penjelasannya pada pembahasan berikutnya.

Kedua: Jaminan tersebut bisa dan boleh untuk diperjualbelikan. Maksudnya, peralatan agunan nan terpenuhi syarat-syarat jual beli padanya. Seperti, adanya peralatan tersebut ketika janji gadai. Maka, tidak sah menggadaikan anak kambing nan tetap ada di dalam perut, lantaran belum ada wujudnya ketika akad.

Tidak sah pula menggadaikan anjing dan babi, lantaran keduanya bukan termasuk komoditi nan sah untuk diperjualbelikan. Tidak sah pula menggadaikan burung nan sedang terbang di udara. Karena perihal itu tetap belum pasti untuk dapat diterima.

Intinya agunan tersebut bisa dijadikan sebagai tebusan jika peminjam alias pengutang tidak bisa untuk bayar utangnya.

Ar-Rahin (Pemilik peralatan agunan / Peminjam)

Maka, nan dimaksud pada rukun nan kedua ini adalah peminjam. Sehingga tanggungannya adalah utang nan diberikan dan agunan nan kudu diserahkan kepada pemberi pinjaman. Dalam masalah Ar-Rahin para ustadz memberikan ketentuan di antaranya:

Pertama: Hendaknya Ar-Rahin (peminjam) adalah orang nan sudah layak untuk melakukan transaksi. Seperti sudah mencapai usia balig, berakal, dan tidak di-hajr[2]. Maka, tidak diperbolehkan anak kecil, orang gila, dan orang nan ambruk hartanya[3] untuk melakukan transaksi gadai. Mengingat tidak termasuk ketentuan nan boleh menjadi Ar-Rahin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena telah diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga dia bangun, anak mini hingga dia bermimpi, dan orang gila hingga dia berakal.“[4]

Al-Murtahin (Pemegang peralatan agunan / Pemberi pinjaman)

Rukun nan ketiga dari segi ketentuan sama halnya dengan rukun nan kedua. Yaitu, transaksi gadai kudu dilakukan oleh orang nan sudah layak melakukan transaksi. Dan posisi pemberi pinjaman pada transaksi ini adalah dia bakal menerima agunan dari peminjam. Ia kudu menjaga dan menyimpan agunan tersebut sampai pinjaman tersebut lunas, maka agunan tersebut bakal dikembalikan kepada peminjam.

Tentunya, termasuk poin krusial dalam perihal ini, antara pihak Ar-Rahin dan Al-Murtahin melakukan transaksi gadai ini secara sukarela dan tidak terpaksa. Jika terpaksa, maka transaksi gadai tidak sah.

Al-Marhun bihi (Utang)

Tentunya, ini bagian nan terpenting. Karena justru adanya transaksi gadai ini lantaran ada maksud dari Ar-Rahin untuk berutang alias meminjam. Tentang perihal ini para ustadz memberikan ketentuan di antaranya:

Hendaknya utang nan dimaksud kudu jelas bagi kedua belah pihak. Baik secara nilai ataupun sifatnya. Jika tidak jelas, maka tidak sah transaksi tersebut.

Demikianlah di antara rukun-rukun transaksi gadai nan kudu terpenuhi. Termasuk di antara rukun transaksi gadai adalah adanya janji alias ijab dan kabul. Hal ini termasuk dari pendapat jumhur ulama, bahwa kudu adanya ijab dan kabul. Kemudian ditegaskan lagi oleh para ustadz dari kalangan ajaran Syafi’i. Bahkan, mereka beranggapan tidak sah transaksi gadai ini jika tidak ada ijab dan kabul. Alasannya lantaran transaksi ini termasuk transaksi masalah kekayaan sehingga butuh bakal ijab dan kabul.

Adapun pendapat dari ajaran Maliki dan Hanbali bahwa janji transaksi gadai tetap sah. Kendati hanya dengan keridaan antara kedua belah pihak secara ‘urf (kebiasaan masyarakat sekitar). Maka, cukup dengan saling memberikan (barang dan utang), alias dengan isyarat nan dapat dipahami, alias dengan tulisan.

Alasannya lantaran keumuman dalil pada seluruh janji nan ada, serta tidak adanya contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mereka bertransaksi dengan ijab dan kabul. Andaikata mereka menggunakan langkah tersebut, niscaya telah tersebar luas sampai sekarang. Nyatanya tidak demikian.[5] Sehingga cukuplah keempat rukun di atas nan telah disebutkan.

Syarat sahnya transaksi gadai[6]

Selain rukun, tentunya ada syarat-syarat nan kudu terpenuhi agar transaksi gadai dikatakan sah. Di bawah ini termasuk di antara syarat sahnya gadai:

Jaminan nan diberikan peminjam termasuk dari peralatan nan boleh untuk diperjualbelikan.

Karena jika agunan bukan termasuk nan diperbolehkan untuk dijual, maka tidak ada faedahnya dari agunan tersebut. Mengingat kegunaan dari agunan adalah ketika peminjam tidak bisa untuk melunasi utangnya, maka pemberi pinjaman berkuasa untuk menjual agunan tersebut sebagai corak pelunasan dari utang peminjam.

Ar-Rahin adalah orang nan layak bertransaksi.

Di antara syarat sahnya gadai adalah hendaknya Ar-Rahin termasuk orang nan layak bertransaksi. Yaitu balig, berakal, merdeka, dan tidak terpaksa. Jika kedua belah pihak alias salah satunya bukan dari orang nan layak bertransaksi, maka tidak sah.

Ar-Rahin berstatus sebagai pemilik peralatan jaminan

Maksudnya, peminjam nan mau menggadaikan peralatan jaminannya dia kudu berstatus sebagai pemilik. Bukan peralatan orang lain nan dia gadaikan. Jika terpaksa peralatan orang lain nan kudu dia gadaikan, maka dia kudu mendapatkan izin dari orang tersebut.

Barang agunan dapat diketahui sifatnya, jenisnya, dan nilainya

Barang agunan nan diberikan kudu berkarakter jelas bukan nan berkarakter absurd alias gambling. Jika nan dijadikan agunan adalah mobil. Maka, mobil tersebut kudu jelas warnanya, mesinnya, harganya, dan sebagainya.

[Bersambung]

Wallahul Muwaffiq.

Depok, 23 Zulkaidah 1445 H / 31 Mei 2024

***

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Al-Fiqhul Manhaji ‘Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah

Al-Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof.Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd

Maktabah Syamilah

Catatan kaki:

[1] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, 7:115.

[2] Di dalam Islam ada orang-orang nan dimasukkan dalam kategori hajr. Artinya tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi lantaran beberapa perihal nan ada pada dirinya. Seperti bangkrut, murtad, orang gila, dan lain sebagainya. Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal.137.

[3] Sebagian ustadz mendefinisikan orang nan utangnya lebih banyak daripada hartanya adalah orang nan ambruk hartanya.

[4] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3825

[5] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23:177.

[6] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal.105.

Selengkapnya
Sumber Akidah dan Sunnah
Akidah dan Sunnah