Kincai Media – Serial drama Malaysia berjudul movie Bidaah yang tayang perdana pada 6 Maret 2025 di platform Viu Malaysia telah menarik perhatian luas, termasuk di Indonesia. Serial ini mengangkat tema penyalahgunaan kepercayaan sebagai perangkat kekuasaan melalui kisah sekte sesat yang dipimpin oleh tokoh karismatik, Walid Muhammad, yang berkawan dipanggil Walid.
Bidaah menceritakan perjalanan Baiduri, seorang remaja wanita yang dipaksa ibunya untuk berasosiasi dengan sekte Jihad Ummah yang dipimpin oleh Walid Muhammad. Seiring waktu, Baiduri menyadari adanya praktik mencurigakan dalam sekte tersebut, termasuk kawin paksa dan kepatuhan buta. Bersama Hambali, yang baru kembali dari Yaman, mereka berupaya mengungkap kebenaran di kembali sekte tersebut meski kudu menghadapi bahaya.
Karakter Walid Muhammad, diperankan oleh Faizal Hussein, digambarkan sebagai pemimpin sekte yang karismatik namun manipulatif. Ia menggunakan kepercayaan sebagai kedok untuk mengeksploitasi pengikutnya, terutama wanita muda, melalui ritual dan pernikahan ‘batin’ yang bertentangan dengan aliran Islam. Dialog Walid yang manipulatif, seperti “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid” dan “Walid nak Dewi boleh?”, menjadi viral di media sosial dan memicu obrolan tentang penyalahgunaan agama.
Serial ini mendapat perhatian unik lantaran keberaniannya mengangkat rumor sensitif tentang gimana kepercayaan dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kekuasaan. Bidaah mengingatkan penonton bakal pentingnya literasi kepercayaan yang kuat dan keahlian berpikir kritis agar tidak mudah terjerumus dalam aliran sesat. Melalui karakter Baiduri dan Hambali, serial ini menampilkan perlawanan generasi muda terhadap penyalahgunaan kepercayaan dan pencarian kebenaran.
Potret Gelap dalam Film Bidaah
Setidaknya dapat beberapa potret kelam yang diangkat dalam Film Bidaah. Pertama, movie ini menyuguhkan sebuah refleksi menggugah tentang gimana agama, ketika dikuasai oleh tangan-tangan yang salah, bisa berubah dari petunjuk kebaikan menjadi perangkat penindasan.
Lewat kisah fiktif namun terasa sangat nyata, movie ini membuka tabir kemunafikan atas nama iman, memperlihatkan gimana dogma dapat dipelintir demi ambisi dan syahwat. Sosok sentral dalam cerita ini adalah Walid, tokoh kharismatik yang menyatakan diri sebagai Imam Mahdi dan memimpin sebuah sekte berjulukan Jihad al-Ummah.
Di kembali jubah putih dan pidatonya yang membakar semangat, Walid adalah sosok predator yang lihai memanipulasi aliran kepercayaan demi kepentingan pribadi. Ia tidak hanya menyatakan wahyu, tetapi juga memaksa pengikutnya tunduk pada kehendaknya, baik secara spiritual maupun seksual.
Salah satu segmen paling menyayat adalah saat Mia, seorang wanita muda dan lugu, dipaksa melayani nafsu Walid atas nama “jalan menuju surga”. Ketika Mia hamil, Walid malah memerintahkannya menggugurkan kandungan demi menjaga gambaran pemimpin suci yang dia bangun.
Film ini dengan berani menyentuh realitas yang sering kali terbungkam: gimana kekuasaan spiritual dapat disalahgunakan, dan gimana orang-orang yang haus kendali menjadikan kepercayaan sebagai kedok sempurna.
Dalam narasi Bidaah, kepercayaan tidak lagi menjadi sinar yang menuntun, tetapi pisau yang melukai. Para pengikut, yang semula mencari makna dan keselamatan, justru terjerumus dalam lingkaran manipulasi dan kekerasan yang dibalut dengan dalil-dalil agama.
Kedua, salah satu segmen paling mencolok dalam movie Bidaah adalah ketika Walid dengan lantang menyatakan bahwa tindakan yang dia lakukan adalah atas dasar restu dan perintah Rasulullah. Klaim ini bukan hanya dusta, tetapi juga penghinaan terhadap kemurnian aliran Islam itu sendiri.
Dalam sejarah Islam, Rasulullah dikenal sebagai sosok penyayang, adil, dan penuh hikmah. Ia tidak pernah mengajarkan kekerasan sebagai perangkat pemaksaan akidah. Namun dalam narasi movie ini, sosok Nabi dimanfaatkan sebagai tameng pembenaran atas tindakan kekerasan, seolah-olah aliran Islam memberikan ruang bagi fanatisme buta.
Jika berbohong atas nama manusia biasa saja sudah termasuk dosa besar, maka berbohong atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman syari’at, jelas merupakan perbuatan yang sangat rawan dan tergolong dalam dosa besar yang paling berat. Perbuatan ini bukan hanya mencemari kebenaran, tapi juga mengganggu kemurnian aliran Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memperingatkan keras tentang bahayanya berbohong atas nama beliau. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dari sahabat al-Mughirah Radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Nabi bersabda;
عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya; “Sesungguhnya berbohong atasku tidak seperti berbohong atas orang lain. Barangsiapa berbohong atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia mengambil tempat tinggalnya di neraka.” (HR. Imam Bukhari)
Mengapa demikian? Karena setiap ucapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mempunyai potensi untuk dijadikan norma oleh umat Islam. Jika yang disandarkan tersebut adalah dusta, maka umat bakal mengikuti sesuatu yang bukan berasal dari Rasulullah, apalagi mungkin bertentangan dengan ajarannya.
Akibatnya bisa menyesatkan umat secara massal, sehingga kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya berkarakter pribadi, tapi menyebar luas ke tengah masyarakat.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kembali menegaskan:
لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ
Artinya; “Janganlah Anda berbohong atasku, lantaran sesungguhnya barangsiapa berbohong atasku, maka silakan dia masuk ke neraka.” (HR. al-Bukhâri dan Imam Muslim).
Perbuatan berbohong atas nama Rasulullah bisa muncul dalam beragam bentuk, seperti memalsukan hadits, menyebarkan kisah tiruan yang diklaim berasal dari Nabi, alias menyebarkan aliran yang tidak pernah beliau sampaikan.
Di era digital ini, penyebaran info yang tidak betul atas nama Rasulullah semakin rawan terjadi, baik secara sengaja maupun lantaran kelalaian. Maka, kehati-hatian dalam menukil hadits alias ucapan Nabi menjadi tanggungjawab bagi setiap Muslim.
Akhirnya, Bidaah bukan hanya sebuah film, tapi juga kritik sosial yang kuat terhadap hipokrisi religius dan ketimpangan kuasa dalam relasi antara tokoh kepercayaan dan jamaahnya. Ia adalah panggilan untuk lebih kritis, lebih waspada, dan tidak mudah tertipu oleh tampilan luar.
Film ini mengingatkan kita bahwa kebenaran dan kesalehan tidak selalu datang dari mereka yang paling lantang berbincang atas nama Tuhan, tetapi dari kejujuran, kerendahan hati, dan adab yang nyata dalam perbuatan.