Bayangkan menonton movie klasik The Wizard of Oz dengan pengalaman visual yang belum pernah ada sebelumnya. Google, berbareng mitranya, telah menggunakan kepintaran buatan (AI) untuk menghidupkan kembali movie legendaris ini dalam format 360 derajat dengan resolusi tertinggi di dunia. Proyek ambisius ini bakal tayang perdana di The Sphere, venue intermezo ikonik di Las Vegas, pada Agustus mendatang.
Film tahun 1939 ini tidak hanya di-remaster, tetapi betul-betul diciptakan ulang menggunakan teknologi AI mutakhir. Kolaborasi antara Google, Sphere Entertainment, Magnopus, dan Warner Bros. Discovery ini disebut sebagai “upaya produktivitas dan teknologi yang epik.” Bahkan, Google Cloud CEO Thomas Kurian menyatakan bahwa satu-satunya langkah lain untuk mencapai hasil serupa adalah dengan kembali ke masa lampau dan merekam ulang movie menggunakan kamera unik The Sphere.
Teknologi AI di Balik Pembaruan The Wizard of Oz
Google memanfaatkan model generatif AI dari family Gemini, terutama Veo 2 dan Imagen 3, untuk proyek ini. Tantangan utamanya adalah memperbesar movie original yang direkam dalam format 35mm agar sesuai dengan layar raksasa The Sphere seluas 160.000 kaki persegi, yang terdiri dari 16.000 LED. Selain itu, AI juga kudu mengisi bagian-bagian segmen yang sebelumnya terpotong lantaran batas kamera tradisional.
Misalnya, dalam segmen di Kansas yang menampilkan Dorothy, Bibi Em, dan Miss Gulch, karakter Paman Henry—yang sebenarnya ada di ruangan itu tetapi tidak terlihat di frame aslinya—kini bakal muncul berkah teknologi AI. Google menggunakan tiga pendekatan utama:
- Super-resolution AI: Menghasilkan piksel baru untuk menyesuaikan dengan resolusi layar yang jauh lebih tinggi.
- AI outpainting: Memperluas segmen di luar pemisah movie seluloid asli.
- Performance generation: Mengintegrasikan komposit tokoh ke dalam lingkungan yang diperluas.
Proses Pelatihan AI yang Mendalam
Untuk memastikan hasil yang autentik, Google tidak hanya melatih model AI dengan footage original film. Mereka juga memberikan informasi tambahan seperti skrip syuting, ilustrasi produksi, foto-foto, rencana set, dan partitur musik. Hal ini membantu AI memahami perincian karakter, lingkungan, dan komponen produksi seperti panjang konsentrasi kamera.
Google apalagi berkonsultasi dengan kreator movie ahli untuk memastikan gerakan, ekspresi, dan penampilan karakter tetap konsisten dengan jenis aslinya. “Sekarang, bintik-bintik di wajah Dorothy terlihat lebih jelas, dan Toto bisa berlarian dengan lebih mulus di lebih banyak adegan,” klaim Google.
Menjaga Keaslian di Tengah Inovasi Teknologi
Meskipun AI menyentuh “lebih dari 90 persen film”, tim di kembali proyek ini menegaskan bahwa mereka “menghormati jenis original dalam segala hal.” Tidak ada perbincangan baru yang ditambahkan, dan tidak ada satu pun musik baru yang dimasukkan. Semua perubahan berkarakter visual semata, bermaksud untuk meningkatkan pengalaman menonton tanpa mengubah prinsip cerita.
Namun, dari cuplikan yang dirilis, beberapa penonton mungkin menyoroti pengaruh “halus berlebihan” pada wajah karakter yang menjadi karakter unik hasil upscaling AI. Bagaimanapun, penilaian akhir bakal datang dari para penonton yang rela merogoh kocek ratusan dolar untuk duduk di salah satu dari 17.600 bangku The Sphere mulai 28 Agustus mendatang.
Proyek ini tidak hanya menjadi bukti kemajuan teknologi AI dalam bumi hiburan, tetapi juga memicu pertanyaan tentang batas antara preservasi seni dan penemuan digital. Apakah ini awal dari era baru dalam menikmati movie klasik, alias sekadar atraksi teknologi yang mengorbankan keaslian? Jawabannya mungkin terletak di ujung jalan berbatu yang dipenuhi AI ini.