Hadapi Ujian Dengan Penuh Kesabaran

Dec 05, 2024 12:00 PM - 1 bulan yang lalu 55917

Bismillah.

Segala puji bagi Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia; siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Selawat dan salam semoga tercurah kepada manusia terbaik dan rasul paling utama teladan bagi pengejar keutamaan. Amma ba’du.

Nikmat ketaatan dan kebaikan saleh

Hari-hari ini kita menemukan begitu banyak kejadian memprihatinkan di tengah masyarakat Islam. Perkara-perkara yang membikin hati dan emosi seorang mukmin tergetar dan merenung. Kasus-kasus kerusakan dan kemungkaran yang merambah di sudut-sudut kehidupan umat.

Fenomena miras (minuman keras), pinjol, dan gambling online seolah mengguncangkan logika dan menggoyahkan rumah dan tatanan kehidupan. Belum lagi kasus bunuh diri dan beragam corak penyakit mental yang menakut-nakuti generasi penerus. Di sisi lain, kita perhatikan banyak masjid seolah tidak diminati oleh kaum muda. Pada jam-jam salat, mereka tetap saja berbual dan duduk santuy di warung. Panggilan adzan seolah tak terdengar oleh mereka, semoga Allah beri petunjuk-Nya untuk kita dan mereka.

Hal ini kembali mengingatkan kita bakal sebuah surah yang sudah kita hafal bersama, ialah surah al-’Ashr. Allah Ta’ala berfirman,

Donasi Website KincaiMedia

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa. Sesungguhnya manusia betul-betul dalam kerugian, selain orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya manusia mau merenungkan surat ini, niscaya dia telah cukup untuk (menyadarkan) mereka.”

Banyak orang yang lupa alias lalai, bahwa kehidupan bumi ini hanya sementara. Masih ada kehidupan setelah kematian dan hari pembalasan atas amal-amal hamba. Orang yang selamat dan berbahagia bukanlah yang paling banyak harta, paling tinggi jabatan, alias paling elok wajahnya. Akan tetapi yang senang adalah hidup melangkah di atas petunjuk Allah dan tuntunan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah berfirman,

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak bakal tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)

Allah telah menjelaskan mana jalan kebenaran dan mana jalan-jalan kesesatan. Adalah kesempatan bagi kita untuk menempuh jalan keselamatan dan menjauhi lembah kehancuran. Betapa tolol orang yang menjual kenikmatan kekal di surga dengan serpihan bumi yang semu dan fana.

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja bumi telah keluar dari bumi dalam kondisi belum merasakan sesuatu yang paling baik dan paling lezat di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang paling lezat di dunia?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Orang yang mengira bahwa kebahagiaan itu diukur dengan kekayaan dan kemewahan, maka sungguh telah tertipu dan terpedaya. Lihatlah Qarun dan segala kekayaannya, justru dia sengsara dan lenyap lantaran kesombongan dan kelalaiannya dari perintah agama. Begitu pula pongahnya Fir’aun, Namrud, Abu Jahal, dan Abu Lahab sehingga memilih jalan kekafiran dan tidak mau tunduk pasrah kepada patokan dan aliran Allah, penguasa langit dan bumi.

Apabila kita cermati surat al-Ashr di atas, tampaklah bahwa keberuntungan itu bakal diraih bagi mereka yang membekali dirinya dengan ketaatan dan menghiasi waktunya dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Iman dan kebaikan saleh menjadi pundi-pundi ketakwaan yang bakal tertanam dengan kuat di bumi penghambaan. Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan hantu dan manusia melainkan agar mereka beragama kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

Jangan Anda kira bahwa ibadah itu demi kepentingan Allah. Justru kita lah orang pertama yang paling butuh kepadanya. Tanpa ibadah, hidup tak bakal bahagia. Tanpa iman, hidup semakin merana. Ibadah adalah ruh dan sinar bagi kehidupan umat manusia. Manusia senantiasa memerlukan pengarahan risalah (ajaran rasul); kebutuhan mereka terhadapnya lebih besar daripada kebutuhan kepada makanan, minuman, alias apalagi air dan udara. Sebab risalah inilah kunci kehidupan, ruh, dan sinar bagi perjalanan umat manusia.

Allah Maha mengetahui segala persoalan dan kesulitan yang menimpa anda. Allah pula yang paling mengerti apa yang terbaik untuk anda. Allah lebih sayang kepada kita daripada ibu dan ayah kita. Barangsiapa beramal saleh, maka itu demi kebaikan dirinya sendiri. Barangsiapa yang beralih dari petunjuk dan peringatan Allah, maka dia bakal hidup dalam kegalauan dan kesempitan. Walaupun dia bermandikan emas dan perak serta tidur di atas ranjang lembek nan mewah dan tinggal di dalam istana nan megah!

Agungnya sabar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

“Tidaklah seseorang diberikan suatu hidayah yang lebih baik dan lebih lapang daripada sabar.” (HR. Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 1053)

Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, “Hakikat kesabaran itu adalah teguh di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3: 7).

Ibnu ‘Atha’ rahimahullah berkata, “Sabar adalah menyikapi musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3: 7)

Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakikat dari sabar ialah tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka perihal itu tidak meniadakan kesabaran.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3: 7)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sabar secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah Ta’ala berfirman kepada nabi-Nya,

وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم

‘Sabarkanlah dirimu berbareng orang-orang yang bermohon kepada Rabb mereka’. Maksudnya adalah: tahanlah dirimu untuk tetap berbareng mereka. Adapun di dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan (kemaksiatan) kepada-Nya …” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 3: 134; software Maktabah asy-Syamilah)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai kewenangan untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah, sebagaimana ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga mengatakan, “Maka sabar adalah tanggungjawab yang selalu melekat kepadanya, dia tidak boleh keluar darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk meraih segala kesempurnaan.” (Fath al-Bari, 11: 344)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya, maka perihal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua perihal itu merupakan pokok dan cabangnya. Karena pada hakikatnya, ketaatan itu secara keseluruhan merupakan kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan diridai-Nya serta untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, demikian pula kudu sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga lantaran sesungguhnya kepercayaan ini berporos pada tiga pokok utama: [1] membenarkan buletin dari Allah dan rasul-Nya; [2] menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya; dan [3] menjauhi larangan-larangan keduanya …” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 105-106)

Umar bin Khatthab radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Kami sukses memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas, dimaushulkan oleh Ahmad dalam az-Zuhd dengan sanad sahih. Lihat Fath al-Bari, 11: 342; cet. Dar al-Hadits tahun 1424)

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan perihal itu tidak ada selain pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan, maka dia pun bersyukur, maka perihal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka perihal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim no. 2999. Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9: 241)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sabar adalah separuh keimanan.” (HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dan al-Baihaqi dalam az-Zuhd. Lihat Fath al-Bari, 1: 62 dan 11: 342)

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Sabar bagi keagamaan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap, maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40]. Bagian awal atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535]; lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17: 121] software Maktabah asy-Syamilah)

Wallahu a’lam bish shawaab.

***

Penulis: Ari Wahyudi

Artikel KincaiMedia

Selengkapnya