Hadis: Hierarki Dan Dimensi Keimanan

Mar 18, 2025 06:00 AM - 1 bulan yang lalu 48761

Di antara perihal yang diyakini oleh mahir sunah waljamaah -yang berpegang dan berpatokan utama dalam berakidah pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan yang dilalui para salaf saleh terdahulu- adalah bahwa keagamaan seorang hamba itu bergerak dan tidak statis, selalu mengalami perubahan naik-turun, bertambah-berkurang, apalagi keagamaan mempunyai jenjang amalan-amalan, dan perihal ini sudah menjadi suatu keharusan untuk dipahami dengan betul dalam pembahasan ketaatan lantaran inilah yang dibawakan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Yang menjadi landasan pemahaman ini adalah sebuah sabda yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia bersabda,

الإِيمانُ بضْعٌ وسَبْعُونَ، أوْ بضْعٌ وسِتُّونَ، شُعْبَةً، فأفْضَلُها قَوْلُ لا إلَهَ إلّا اللَّهُ، وأَدْناها إماطَةُ الأذى عَنِ الطَّرِيقِ، والْحَياءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمانِ

“Iman mempunyai beberapa bagian (tingkatan) sejumlah tujuh puluh sekian alias enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Lailahaillallah’ (tidak ada Tuhan yang berkuasa diibadahi dengan betul selain Allah), sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan ancaman dari jalan. Selain itu, rasa malu (al-haya’) merupakan salah satu bagian iman.” (HR. Muslim no. 35)

Mari kita bedah sabda ini.

Jumlah bagian bagian dan tingkatan ketaatan berasas sabda adalah tujuh puluh sekian alias enam puluh sekian bukanlah suatu persoalan yang kudu didalami lebih daripada substansi hadisnya. Karena substansi sabda di atas adalah bahwa ketaatan tidaklah berada pada satu tingkatan dan aspek saja, apalagi antara seorang yang beragama dengan orang beragama lainnya ada perbedaan kualitas dan tingkat keimanan. Untuk itu, konsentrasi yang bakal dibahas di sini adalah mengenai jenjang dalam keagamaan yang mencakup aspek multi dimensi.

Mengambil contoh yang disuratkan dalam nash hadis, bahwa dari yang tujuh puluh alias enam puluh sekian bagian tingkatan itu, ada tiga tingkatan keagamaan yang disebutkan, yaitu:

Pertama: Tingkat tertinggi adalah Ucapan “La ilaha illallah” (tidak ada Tuhan yang berkuasa diibadahi dengan betul selain Allah);

Kedua: Tingkat terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan; dan

Ketiga: Rasa malu sebagai salah satu bagian yang tentunya berada di bawah ucapan “La ilaha illallah” dan di atas menyingkirkan gangguan dari jalan.

Tiap-tiap dari tingkatan yang disebutkan itu meliputi suatu dimensi keimanan, dan ini termasuk salah satu kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah perkataannya, yang kemudian diriwayatkan menjadi sebuah hadis, mempunyai lafaz yang pendek, ringan, tetapi maknanya mendalam, singkat, padat, berisi, dan sudah cukup mewakili.

Dimensi hati (batin) dan lisan (ucapan)

Diwakili oleh bagian tingkat teratas dalam jenjang keimanan, ialah ucapan “Lailahaillallah”. Perkataan (al-qaul) jika disebutkan, maka dia pada dasarnya mencakup dua hal: kepercayaan jiwa yang terpatri dalam hati dan pengucapan oleh lisan secara verbal. Kedua dimensi inilah yang tercakup dalam pemaknaan ucapan “Lailahaillallah”.

Titel kalimat tauhid ini sebagai bagian tertinggi dalam jenjang keagamaan menyiratkan bahwa hal-hal lain dalam kepercayaan ini dari ibadah dan lainnya pun termasuk ke dalam kategori “iman” dengan posisi di bawah “Lailahaillallah”.

Kalimat ini tentunya dipenuhi dengan keberkahan dan banyak sekali keistimewaan yang bisa menjadi sebuah pembahasan panjang jika diulik lebih dalam, tetapi mari kita sebutkan beberapa di antaranya, seperti:

Pertama: Bahwa para rasul ‘alaihimussalam membuka dakwah mereka dengan kalimat ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada tuhan (yang berkuasa disembah dengan hak) selain Aku, maka sembahlah Aku!’” (QS. Al-Anbiya: 25)

Senada dengan ini,

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadisnya pernah menyampaikan bahwa kalimat tauhid inilah, kalimat paling utama yang pernah dia shallallahu ‘alaihi wasallam dan para rasul sebelumnya ucapkan. Sebagaimana sabda dari Nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu,

أفضَلُ ما قُلْتُ أنا والنبيُّونَ من قَبْلي: لا إلهَ إلّا اللهُ

“Hal paling agung yang pernah saya dan para nabi terdahulu ucapkan adalah, ‘La ilaha illallah’.” (Hasan, diriwayatkan oleh Malik no. 726, Abdurrazzaq no. 8125, dan Baihaqi no. 8464)

Ketiga: Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أفضلُ الذِّكرِ لا إلهَ إلّا اللهُ وأفضَلُ الدُّعاءِ الحمدُ للهِ

“Zikir yang paling utama adalah ‘Lailahaillallah’ dan angan yang paling utama adalah ‘alhamdulillah’.” (HR. Ibnu Hibban no. 846 dalam “Shahih”-nya, Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800, dan Hakim no. 1834)

Keempat: Hadis yang disebutkan di awal pun sudah cukup menunjukkan sungguh kalimat tauhid ini punya keistimewaan yang besar, ditunjukkan oleh Nabi dengan disebutkannya dan ditempatkannya di bagian tertinggi dalam jenjang keimanan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perhatian terhadap tauhid, terkhusus pemahaman, pemaknaan, dan pengamalannya sudah sepatutnya diposisikan dalam prioritas tinggi dibandingkan ibadah dan perkara kepercayaan yang selainnya.

Baca juga: Membangun Kokohnya Iman dan Amal

Dimensi perbuatan (zahir)

Kalau ada bagian tingkat teratas dan paling utama, berfaedah ada pula yang paling bawah dan ringannya. Dalam perihal ini adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan” yang mewakili dimensi perbuatan alias ibadah zahir yang termasuk ke dalam cakupan keimanan.

Disebutkannya poin ini menunjukan bahwa ketaatan itu bukan hanya kepercayaan saja, alias bukan hanya ucapan di lisan saja, tetapi juga ada amalan-amalan zahir yang dilakukan oleh personil tubuh yang termasuk dalam iman.

“Menyingkirkan gangguan dari jalan” juga mempunyai hikmah berupa rekomendasi dan urgensi melakukan kebaikan kepada sesama hamba Allah dengan bagaimanapun corak kebaikannya, semudah dan sebisa yang dapat dilakukan. Seperti menyingkirkan gangguan yang terkesan remeh dan ringan, terlebih bukan suatu ibadah yang berkarakter ritual keagamaan, tetapi justru sesuatu yang remeh dan ringan itu mendapat posisi dalam bagian keagamaan dan berfaedah mempunyai nilai kemuliaan tersendiri di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu saja dengan catatan kebaikan yang tetap tidak menyelisihi syariat.

Mengapa yang disebutkan dalam sabda adalah “menyingkirkan gangguan dari jalan”? Beberapa poin yang mungkin bisa menjawab di antaranya,

Pertama: Mewakili dimensi ibadah bil jawarih (dengan personil tubuh) alias zahir,

Kedua: Karena ini adalah ibadah remeh dan ringan di mata manusia, tetapi berbobot di sisi Allah,

Ketiga: Karena tidak semua orang bisa melakukan ini. Setidaknya ada tiga jenis orang yang berangkaian dengan gangguan di jalan, yaitu: 1) Orang yang meletakkan alias membikin gangguan di jalan, 2) Orang yang membiarkan saja gangguan yang ada di jalan, dan 3) Orang yang menyingkirkan gangguan yang ada di jalan, dan jenis inilah yang mendapat predikat kemuliaan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan sabda lain yang senada dengan pembahasan ini,

بيْنَما رَجُلٌ يَمْشِي بطَرِيقٍ، وجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ على الطَّرِيقِ، فأخَذَهُ، فَشَكَرَ اللَّهُ له، فَغَفَرَ له.

“Suatu ketika seorang laki-laki sedang melangkah dan menemukan sebatang ranting berduri. Ia lampau mengambilnya, dan Allah pun menyambut perbuatannya dengan syukur dan mengampuni segala dosanya.” (HR. Bukhari no. 2472 dalam “Shahih”-nya dan Muslim no. 1914)

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan bahwa kemudian Allah memasukkan orang tersebut ke dalam surga.

Jika hanya sekadar menyingkirkan gangguan dari jalan saja sudah termasuk ke dalam cakupan bagian keagamaan dan apalagi bisa menjadi karena diampuninya dosa sampai pada akhirnya dimasukkan ke dalam surga, gimana dengan amalan-amalan lain yang berkarakter ritual dan telah jelas rekomendasi ataupun perintahnya serta tata langkah dan keutamaannya? Tentu saja lebih utama.

Ini berfaedah bahwa perbuatan dan ibadah zahir juga termasuk ke dalam iman.

Dimensi hati (batin)

Hal lain yang termasuk ke dalam keagamaan dan berada dalam bagian tingkatan keagamaan adalah rasa malu yang mewakili dimensi hati (batin) dan posisinya antara kalimat tauhid dan menyingkirkan gangguan dari jalan.

Disebutkannya rasa malu (al-haya’) sebagai salah satu bagian keagamaan menunjukkan bahwa rasa malu adalah bagian krusial dari keimanan, khususnya dalam ranah batin. Ketika tertanam kuat dalam hati, maka dia bakal berfaedah sebagai penghalang dari perbuatan tercela dan pendorong untuk melakukan kebaikan. Jika sifat ini hilang, seseorang tidak lagi mempunyai batas moral dan menjadi rentan terhadap segala corak keburukan.

Inilah perihal yang perlu digarisbawahi dalam perkara malu serta korelasinya dengan iman, bahwa hilangnya rasa malu adalah awal dari kehancuran moral, selaras dengan nasihat kenabian terdahulu dalam sabda yang diriwayatkan dari sahabat Uqbah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ ممّا أدْرَكَ النّاسُ مِن كَلامِ النُّبُوَّةِ الأُولى: إذا لَمْ تَسْتَحْيِ فاصْنَعْ ما شِئْتَ

“Sesungguhnya salah satu warisan ucapan kenabian terdahulu yang tetap dijumpai manusia adalah ‘Jika engkau tidak mempunyai rasa malu, maka silakan lakukan apa saja yang engkau mau.’”

Pembahasan tentang cabang, tingkatan, alias jenjang keagamaan adalah perihal yang sangat krusial untuk diketahui setiap muslim. Bahwa ketaatan mempunyai tingkatan, sehingga tidak sama antara satu perihal yang mempunyai nilai keagamaan dengan perihal lainnya. Bahwa ketaatan adalah kepercayaan multidimensi, mencakup dimensi hati, lisan, dan personil tubuh. Bahwa ketaatan seseorang bisa mengalami pasang-surut, bertambah-berkurang, sehingga kudu selalu dijaga dan tidak ditinggalkan begitu saja.

Seorang sahabat berjulukan Umair bin Habib Al-Khathmi radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Iman itu dapat bertambah (menguat) dan berkurang (melemah).” Ia kemudian melanjutkan dengan menjawab pertanyaan dari seseorang tentang gimana ketaatan bertambah dan berkurang, “Saat kami terus-menerus mengingat Allah, memuji, dan mensucikan-Nya, sungguh ketaatan kami tumbuh. Namun, ketika kami terjerumus dalam kelengahan dan kelalaian, ketaatan kami pun surut.”

Keimanan sebagai realitas spiritual setiap muslim, kestabilannya sangat dipengaruhi oleh usahanya menjaga hati, pikiran, dan kebaikan tetap terpaut kepada Allah.[1]

Sekian, wallahu a’lam bis-shawab. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammad.

Baca juga: Letak Pentingnya Tauhid dan Keimanan

***

Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad

Artikel: KincaiMedia

Catatan kaki:

[1] Disadur dari: Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr, Ahadits Al-Iman, hal. 51-58.

Selengkapnya