Teks Hadis
Dari Judzamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
حَضَرْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي أُنَاسٍ وَهُوَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا ، ثُمَّ سَأَلُوهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَلِكَ الْوَأْدُ الْخَفِيُّ
“Aku pernah menghadiri majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbareng beberapa orang (sahabat), dan beliau bersabda, “Sungguh, saya nyaris melarang praktik ghilah (suami yang tetap menyetubuhi istri saat sang istri berada dalam periode menyusui anaknya, pent.), tetapi saya memperhatikan bangsa Romawi dan Persia. Ternyata mereka tetap melakukan ghilah terhadap anak-anak mereka, dan perihal itu sama sekali tidak membahayakan anak-anak mereka.”
Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (coitus interruptus). Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah corak pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).” (HR. Muslim no. 1442)
Dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ، وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ، وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ: كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ
“Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, saya mempunyai seorang budak perempuan, dan saya melakukan ‘azl darinya lantaran saya tidak mau dia hamil. Namun, saya tetap menginginkan apa yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya. Kaum Yahudi berbicara bahwa ‘azl adalah corak pembunuhan (anak) secara terselubung (tersembunyi).”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Jika Allah menghendaki untuk menciptakan (anak), engkau tidak bakal bisa mencegahnya.” (HR. Ahmad 17: 389; Abu Dawud no. 2171; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra 8: 222; At-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 3: 31 dan Syarh Musykil Al-Atsar 5: 170. Lafaz sabda ini milik Abu Dawud, dan dinilai sahih oleh Al-Albani) [1]
Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
كُنَّا نَعْزِلُ، وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Kami dulu melakukan ‘azl sementara Al-Qur’an sedang diturunkan.” (HR. Bukhari no. 5207 dan Muslim no. 1440)
Dalam riwayat Muslim, terdapat tambahan,
زَادَ إِسْحَاقُ، قَالَ سُفْيَانُ: لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ
“Isḥaq menambahkan, Sufyan berkata, “Jika itu adalah sesuatu yang dilarang, tentu Al-Qur’an bakal melarangnya kepada kami.”
Dalam riwayat Muslim yang lain juga disebutkan,
كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَنْهَنَا
“Kami dulu melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika perihal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak melarang kami.”
Kandungan Hadis
Kandungan pertama: Hukum ‘azl
Jumhur (mayoritas) ulama, di antaranya adalah pemimpin ajaran yang empat, beralasan dengan sabda Abu Sa’id Al-Khudhri dan sabda Jabir radhiyallahu ‘anhuma ini untuk mengatakan bolehnya ‘azl. Sisi pendalilannya adalah perkataan Jabi bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Sedangkan Al-Quran tetap turun.”
Perkataan beliau ini menunjukkan bolehnya ‘azl. Seandainya ‘azl itu haram dan seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, maka Al-Quran bakal turun untuk mengharamkannya. Inilah di antara kegunaan perkataan sahabat radhiyallahu ‘anhu,
وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Sedangkan Al-Quran tetap turun.”
Oleh lantaran itu, Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata,
لَوْ كَانَ شَيْئًا يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَانَا عَنْهُ الْقُرْآنُ
“Seandainya ada sesuatu yang dilarang oleh syariat, maka Al-Quran bakal mengharamkannya.”
Para ustadz ushul fikih berkata,
إن ما وقع في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – ولم يعلم به فإنه لا ينسب إلى سنته، لكنه حجة لإقرار الله تعالى له
“Sesungguhnya apa pun yang terjadi pada era Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak diketahui oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perihal itu tidak dinisbatkan sebagai sunahnya. Akan tetapi, perihal itu merupakan hujah (dalil) bahwa Allah Ta’ala menyetujui (membolehkan) perbuatan tersebut.”
Bahkan dalam riwayat Muslim di atas, disebutkan bahwa ‘azl telah diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengetahui bahwa para sahabat melakukan ‘azl, namun beliau tidak melarangnya. Maka persetujuan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut. Hal ini lantaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin mendiamkan alias menyetujui kebatilan.
Diriwayatkan dari sepuluh sahabat radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka membolehkan ‘azl, di antaranya adalah Sa’d bin Abi Waqash, Abu Ayyub, Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. [2]
Mayoritas ustadz menyebut syarat bahwa ‘azl harus dilakukan dengan seizin istri. Mereka berdasarkan pada sabda Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melakukan ‘azl terhadap istri, selain dengan izinnya. [3] Hal ini lantaran istri mempunyai kewenangan atas anak, dan juga lantaran jimak (hubungan intim) adalah haknya. Jimak dengan langkah ‘azl dapat mengurangi kepuasan istri serta menghalanginya untuk sepenuhnya menikmati dan berbagi kesenangan dengan suaminya saat berasosiasi intim.
Mereka menjawab sabda Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan larangan ‘azl dengan menyatakan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl itu bertentangan dengannya, dan hadis-hadis tersebut adalah sabda yang sahih dan jelas menunjukkan bolehnya ‘azl., di antaranya adalah sabda Jabir radhiyallahu ‘anhu dengan beragam riwayatnya. Selain itu, sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum memberikan keringanan mengenai perihal ini, dan mereka lebih memahami teks-teks serta tujuan-tujuan hukum (maqashid syari’at) dibandingkan kita. Hadis Judzamah radhiyallahu ‘anhu juga tidak secara definitif menunjukkan larangan ‘azl, seperti yang kelak bakal dijelaskan.
Ibnu Hazm rahimahullah dan sekelompok ustadz lainnya beranggapan bahwa ‘azl itu haram dilakukan, berasas sabda Judzamah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan. Beliau menjawab hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl dengan mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut merujuk pada norma asal, ialah boleh (mubah). Sedangkan sabda Judzamah menjadi dalil yang memindahkan norma asal tersebut (menjadi haram). Sehingga siapapun yang menyatakan bahwa ‘azl diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang, kudu mendatangkan dalil.
Dari sini, menjadi jelas bahwa penyebab perbedaan pendapat tentang norma azl adalah adanya hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan dan hadis-hadis yang dzahir-nya menunjukkan larangan.
Yang tampak -wallahu a’lam- adalah bahwa lebih utama berpegang pada hadis-hadis yang menunjukkan bolehnya ‘azl. Hal ini lantaran sabda Judzamah tidak secara definitif menunjukkan larangan, karena ‘azl bukanlah pembunuhan bayi (wa’d) secara hakiki. ‘Azl hanya disebut sebagai wa’d lantaran memandang maksud dan niat dari orang yang melakukan ‘azl. Hal ini berbeda dengan wa’d yang sebenarnya, di mana niat dan tindakan langsung untuk membunuh anak betul-betul terjadi. Jika ‘azl betul-betul dianggap sebagai pembunuhan, maka ‘azl termasuk dosa besar. Oleh lantaran itu, yang lebih kuat adalah bahwa istilah “wa’d (pembunuhan) tersembunyi” digunakan hanya untuk memberikan peringatan keras, bukan untuk menunjukkan keharamannya. Atau mungkin, perihal ini bertindak pada masa awal Islam, kemudian dihapus (di-nasakh) dengan hadis-hadis yang menunjukkan kebolehannya, seperti dalam sabda Abu Sa’id dan Jabir radhiyallahu ‘anhuma.
Kandungan kedua: ‘Azl diperbolehkan ketika terdapat maslahat
Atas dasar ini, maka diperbolehkan melakukan ‘azl atau menggunakan metode tertentu untuk mengatur kehamilan, seperti pil KB dan lainnya, jika terdapat maslahat yang menuntutnya. Misalnya, jika istri sedang sakit tertentu (dan tidak memungkinkan baginya hamil); alias jika kehamilan yang berulang dapat membahayakan istri; alias jika istri sedang menyusui bayinya dan dikhawatirkan bakal membahayakan bayi tersebut dalam proses menyusui dan juga tumbuh kembangnya (meskipun wanita yang menyusui biasanya tidak mudah hamil). Demikian pula alasan-alasan lain yang berkarakter kasuistik atas setiap orang. Karena alasan-alasan ini berkarakter sementara, maka kebolehannya hanya bertindak selama argumen tersebut ada, dengan syarat: tidak menimbulkan mudarat, metode yang digunakan kudu sesuai syariat, dan tidak ada tindakan yang membahayakan janin yang sudah ada.
Adapun jika ‘azl atau penggunaan perangkat (metode) untuk mencegah kehamilan dilakukan lantaran takut jatuh miskin; cemas terhadap bertambahnya jumlah penduduk; lantaran menolak terhadap tanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak; alias alasan-alasan yang lemah lainnya, maka perihal ini tidak diperbolehkan secara syariat. Hal tersebut merupakan bagian dari tipu daya musuh-musuh Islam terhadap umat Islam, dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kaum muslimin dan melemahkan mereka, sehingga musuh-musuh Islam mempunyai keahlian untuk menjajah (menguasai) negeri-negeri muslim, memperbudak penduduknya, dan merampas kekayaannya. Padahal, pada saat ini umat sangat memerlukan pertambahan jumlah kaum muslimin agar bisa berjuang demi menyebarkan agamanya, mendukung akidahnya, dan melawan musuh-musuhnya. Selain itu, tindakan seperti ini juga termasuk perbuatan jahiliyah dan menunjukkan buruknya prasangka (suuzan) kepada Allah Ta’ala. Wal’iyadhu billah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk mempunyai anak dan memperbanyak keturunan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، إِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Menikahlah dengan wanita yang al-wadud (penyayang) dan al-walud (subur alias banyak anak). Karena sesungguhnya saya bakal membanggakan diri dengan karena (banyaknya jumlah) kalian di depan para Nabi pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Ibnu Hibban.)
Telah kita ketahui bahwa menjaga keturunan (hifzhu an-nasl) adalah salah satu dari lima tujuan pokok yang dijaga oleh syariat. Memperbanyak keturunan merupakan nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya. Hal ini juga memperkuat umat Islam secara sosial, ekonomi, dan militer, serta menambah kekuatan dan pertahanan mereka. Menjawab seruan musuh yang bermaksud mengurangi jumlah umat Islam berfaedah menghancurkan potensi kekuatan dan ketahanan mereka. Semoga Allah memberi taufik kepada umat Islam menuju kekuatan dan kemuliaan mereka, serta memenangkan mereka atas musuh-musuh mereka. Wallahu Ta’ala a’lam.
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. [4]
***
@Fall, 27 Jumadil awal 1446/ 29 November 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Yahudi telah berdusta” (ketika disampaikan kepada beliau bahwa kaum Yahudi berbicara bahwa ‘azl adalah corak pembunuhan secara terselubung); dzahir-nya tampak bertentangan dengan apa yang disebutkan sebelumnya dalam sabda Judzamah, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang ‘azl, lampau bersabda, “Itu adalah pembunuhan tersembunyi.”
Kompromi antara kedua pernyataan ini telah dijelaskan dengan beberapa penjelasan ulama. Salah satu kompromi yang terbaik adalah keterangan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi mengira bahwa ‘azl sepenuhnya menghilangkan kemungkinan hamil, sehingga mereka menyamakannya dengan memutus keturunan dengan mengubur anak hidup-hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dan menjelaskan bahwa ‘azl tidak sepenuhnya mencegah kehamilan jika Allah menghendaki pembuatan kehidupan. Dan jika Allah tidak menghendakinya, maka itu tidak dianggap sebagai pembunuhan secara hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutnya sebagai “pembunuhan terselubung (tersembunyi)” berasas niat dan tujuan dari orang yang melakukan ‘azl. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sinin, 3: 85)
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Kompromi ini adalah penjelasan yang kuat (bagus).” (Nailul Authar, 6: 223)
[2] As-Sunan Al-Kubra, 7: 230-231, karya Al-Baihaqi; Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 3: 85; Zaadul Ma’aad, 5: 142.
[3] HR. Ibnu Majah no. 1928; Ahmad, 1: 339; dari jalur Abdullah bin Lahi’ah. Sanadnya lemah (dha’if) karena kelemahan Abdullah bin Lahi’ah.
[4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 362-366). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.