KincaiMedia, JAKARTA -- Pelbagai bentrok politik mewarnai masa-masa awal Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus. Kala itu, beberapa pemimpin yang otoriter berkuasa. Di antaranya adalah Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Ia merupakan seorang gubernur yang mengabdi pada Kekhalifahan Umayyah. Untuk mempertegas kekuasaan Damaskus, dia tidak segan-segan membunuh siapapun yang bersebarangan pandangan dengan rezim.
Salah satu korbannya adalah Said bin Jubair. Murid sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas, itu dikenal luas sebagai seorang ulama.
Bersama dengan koleganya, Said bin Jubair berjuang untuk membendung rezim Umayyah. Saat itu, kedudukan khalifah dipegang Abdul Malik bin Marwan. Sang khalifah dinilai telah melakukan banyak kezaliman sehingga ustadz ini melawannya.
Dalam sebuah pertempuran, golongan anti-Umayyah kalah. Said bin Jubair termasuk yang ditangkap. Ia lantas dibawa ke hadapan Hajjaj bin Yusuf dalam keadaan terbelenggu.
Terjadilah percakapan berikut ini.
“Siapa namamu?” tanya Hajjaj dengan angkuhnya.
“Said bin Jubair.”
“Bukan. Namamu adalah Syaqi bin Kusair.”
“Ibuku lebih mengetahui namaku daripada kamu,” timpal Said dengan tenang.
“Celakalah ibumu dan juga kau!” seru gubernur yang berjulukan Algojo Umayyah itu.
“Bukan dirimu yang mengetahui perkara-perkara gaib,” kata sang alim.
“Apa pendapatmu mengenai Muhammad?”
“Beliau adalah Nabi yang membawa rahmat. Pemimpinnya orang-orang yang memperoleh petunjuk,” jawab Said.
“Nah, gimana pendapatmu tentang Ali? Apakah dia ada di surga ataukah neraka?” tanya si raja kejam itu lagi.
“Kalau engkau sudah masuk neraka dan menjumpai siapa saja yang berada di dalamnya, pastilah engkau mengetahui siapa masyarakat neraka.”
Jawaban itu membikin gusar Hajjaj. “Bagaimana pendapatmu mengenai para khalifah?” selidiknya lagi.
“Saya bukanlah orang yang bertanggung jawab atas mereka.”
“Di antara keempatnya, mana yang paling kau sukai?”
“Adalah yang paling diridhai oleh Tuhanku,” jawab Said.
“Lantas, siapa yang paling diridhai Allah?” tanya Hajjaj.
“Pengetahuan mengenai perihal itu ada di sisi Zat Yang Mahamengetahui segala sesuatu.”
“Mengapa engkau tidak tertawa?” periksa Hajjaj kembali.
“Bagaimana bisa seorang makhluk yang diciptakan dari tanah tertawa, sedangkan tanah dapat dilalap api.”
“Dan sekarang Anda lihat, kamilah yang tertawa,” ujar gubernur picik ini sembari terbahak-bahak.
“Ya karena hati manusia tidaklah sama,” kata Said. Begitu mendengarnya, Hajjaj menghentikan tawanya dan menghardik ustadz tersebut.
Sesaat kemudian, gubernur Irak ini menyuruh para prajuritnya untuk membawakan berpeti-peti emas dan permata di hadapan Said. Di dekat tawanan itu, dia juga memerintahkan beberapa orang untuk memainkan instrumen musik, semisal kecapi dan seruling, serta menari-nari.
Seketika, Said menangis. Maka Hajjaj pun bertanya, “Kamu menangis lantaran musik ini?”
“Yang membuatku menangis adalah kesedihan. Tiupan (seruling) itu mengingatkanku pada hari nanti, ketika sangkakala ditiup.”
“Sialan kau, Said!” seru Hajjaj sembari menampar wajah ustadz tersebut.
“Tak ada celaka bagi siapapun yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan dalam surga,” kata berilmu ini.
Hajjaj kemudian menyuguhkan beragam perangkat eksekusi meninggal di hadapan Said, lampau berkata, “Tibakah saatnya engkau memohon pengampunan, ya Said?”