KincaiMedia– Kita tahu bahwa memuliakan pembimbing itu banyak sekali caranya. Di antaranya adalah dengan langkah siswa memberikan bingkisan tertentu kepada guru. Sejatinya, pembimbing menerima bingkisan dari murid, selain sebagai corak ungkapan rasa terima kasih, memberikan bingkisan kepada pembimbing juga merupakan bentuk apresiasi spesial atas pengetahuan dan keteladanan yang telah dicurahkan kepada murid. Lantas gimana norma pembimbing menerima bingkisan dari murid?
Bagi seorang murid, memberikan bingkisan kepada sang pembimbing ini termasuk perkara yang wajar dan memang idealnya secara etika sudah semestinya demikian. Akan tetapi, bagi seorang guru, menerima bingkisan dari para siswa terkadang dapat menimbulkan kecurigaan , iri hati sesama guru, dan lain sebagainya.
Hal tak mengenakan hati demikian ini bisa saja terjadi karena adanya pemikiran negatif terhadap pembimbing yang menerima hadiah.“Guru itu kan sudah mendapatkan bisyarah (gaji) dari pihak lembaga alias lembaga pendidikan tempat dia mengajar, tapi kok tetap menerima bingkisan dari muridnya? Bukankah perihal ini berlebihan dan termasuk perkara yang dilarang agama?”, begitu argumentasinya kira-kira. Lantas, gimana sih sebenarnya norma pembimbing menerima bingkisan dari siswa dalam pandangan Islam?
Sebelum kita telaah lebih jauh, kita perlu mengerti bahwa argumentasi di atas seolah-olah memang benar. Terlebih ada hadits Nabi yang menyatakan larangan ‘ghulul’. Berikut ini merupakan redaksi haditsnya:
وَعَنْ بُرَيْدَةَ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدُ فَهُوَ غُلُولٌ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُد
Artinya: “(Diriwayatkan) dari Buraidah dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: Siapa yang kami pekerjakan untuk suatu pekerjaan, kemudian kami memberinya rizki, maka apa yang dia ambil setelah itu adalah ‘ghulul’ (pengkhianatan)”. (HR. Abu Daud).
Dengan adanya hadits di atas, tentu saja seolah mendukung kebenaran argumentasi yang menganggap persoalan pembimbing menerima bingkisan dari muridnya tergolong sebagai perkara yang dilarang agama. Namun, apakah memang betul demikian?
Untuk memahami dan menjelaskan konteks hadits di atas, Syaikh Ibnu Ruslan dalam kitab
Syarah Sunan Abi Daud (12/554) menuturkan keterangan sebagai berikut:
)عن النبي ﷺ قال: من استعملناه على عمل) من أعمال الجهاد أو الصدقة أو غيرهما مما يستحق عليه أجرة (فرزقناه رزقًا) على ذلك فليأخذه، قال إبراهيم: لا بأس بجائزة العمال أن للعامل مؤنة ورزقًا، حكاه الغزالي قال: وقال العلاء بن زهير الأزدي: أتى إبراهيم أبي وهو عامل على حلوان فأجازه. فقيل: (فما أخذ بعد ذلك) أي: فوق ذلك من أموال بيت المال (فهو غلول) بضم الغين واللام وهو: الخيانة
Artinya:
“(Diriwayatkan) dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda: (Siapa saja yang kami angkat untuk suatu pekerjaan) baik itu pekerjaan dalam jihad, sedekah, alias lainnya yang berkuasa mendapatkan upah, (kemudian kami memberinya rizki) atas pekerjaan itu, maka hendaklah dia menerimanya.
Ibrahim berkata: “Tidak ada masalah dengan bingkisan untuk para pekerja, sehingga seorang pekerja mempunyai penghasilan dan rezeki.” Hal ini disampaikan oleh Al-Ghazali. Ia juga berkata: “Al-‘Ala bin Zuhair Al-Azdi berkata: ‘Ibrahim mendatangi ayahku yang bekerja di daerah Hulwan dan memberinya hadiah.'”
Kemudian dikatakan: (Apa yang diambil setelah itu), ialah mengambil lebih (dari yang seharusnya) dari kekayaan Baitul Mal, (maka itu adalah ghulul),” dengan dhammah ghoin dan lam yang berfaedah pengkhianatan.” (Ibnu Ruslan, Syarah Ibnu Abi Daud)
Dari keterangan di atas, dapat kita ketahui bahwa maksud sabda di atas itu memuat info larangan bagi seorang pejabat pemerintah untuk mengambil duit lebih dari kas negara melampaui porsi yang dialokasikan kepadanya. Tindakan mengambil duit lebih demikian inilah yang disebut ghulul (pengkhianatan) alias dalam bahasa sekarang biasa kita kenal dengan istilah korupsi.
Selanjutnya, selain tindakan korupsi, pejabat pemerintah juga diharuskan untuk tidak menerima bingkisan dari rakyatnya dalam bentuk suap/ gratifikasi. Imam Al-Mawardi dalam perihal ini memberikan komentar dalam kitab al-Hawi al-Kabir (16/281) sebagai berikut:
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: يَنْبَغِي لِكُلِّ ذِي وِلَايَةٍ أَنْ يَتَنَزَّهَ عَنْ قَبُولِ هَدَايَا أَهْلِ عَمَلِهِ.
Artinya: “Seyogyanya bagi setiap pejabat pemerintah itu untuk membersihkan (menjauhkan & menjaga) diri dari menerima hadiah-hadiah dari rakyatnya (gratifikasi/ suap).”
Larangan menerima bingkisan (suap/gratifikasi) bagi pejabat yang disampaikan oleh Imam Al-Mawardi ini sejatinya sesuai dengan hadits Nabi tentang pemberian bingkisan kepada Ibnu al-Lutbiyah.
Ceritanya, Ibnu al-Lutbiyah pernah ditugaskan oleh Nabi untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, tetapi dia menerima bingkisan dari orang yang didatangi. Mengetahui perihal ini, Nabi melarangnya lantaran beliau menganggap perihal itu sebagai suap dengan indikasi bahwa bingkisan tersebut tidak bakal diberikan jika saja Ibnu al-Lutbiyah tidak menjadi petugas zakat. Padahal, dia telah digaji untuk tugas tersebut (al-Hawi al-Kabir, 16/281-282).
Nah, dari uraian di atas, kita tahu bahwa pada intinya pejabat pemerintah dilarang menerima bingkisan atas tugasnya dengan langkah yang tidak sewajarnya dan melanggar ketentuan hukum (dalam makna menerima suap/ gratifikasi). Adapun yang dimaksud pejabat pemerintah di sini dalam kitab fikih biasanya adalah para pejabat pemerintah (wulat) dan pengadil (qudlat).
Lebih lanjut, Imam Al-Mawardi menjelaskan:
وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالْمُهَادَاةُ فِيمَنْ عَدَا الْوُلَاةِ مُسْتَحَبَّةٌ فِي الْبَذْلِ وَمُبَاحَةٌ فِي الْقَبُولِ، لِقَوْلِ النبي ﷺ َ -» تهادوا تحابوا”.
Artinya: “Kalau demikian, maka saling memberi bingkisan untuk selain pejabat disunahkan dalam konteks pemberiannya, dan diperbolehkan dalam konteks menerimanya, berasas sabda Nabi: “Saling berganti hadiahlah kalian, maka kalian bakal saling akrab”. (al-Hawi al-Kabir, 16/282).
Dengan demikian, dalam persoalan pembimbing menerima bingkisan dari muridnya, maka tidak ada larangan bakal perihal itu, selama pemberian tersebut murni dengan niat tulus memuliakan pembimbing dan bukan dalam rangka suap/gratifikasi. Bila seandainya bingkisan yang diberikan dalam rangka suap/gratifikasi kepada guru, seperti guna mempengaruhi nilai si siswa alias membikin pembimbing bertindak melawan hukum, maka perihal ini jelas terlarang.
Demikian penjelasan mengenai norma pembimbing menerima bingkisan dari murid. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. [Baca juga: Hari Guru; Sosok yang Digugu dan Ditiru].