Syarat-syarat undangan walimah yang wajib dipenuhi
Para ustadz rahimahumullah telah menyebut beberapa syarat yang kudu dipenuhi untuk wajibnya memenuhi undangan walimah. Syarat-syarat ini diambil dari prinsip-prinsip umum hukum dan dari kejadian-kejadian yang terjadi pada masa para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di antara syarat-syarat yang krusial adalah:
Syarat pertama
Syarat pertama adalah bahwa orang yang mengundang kudu seorang muslim. Jika orang yang mengundang adalah non-muslim dan dia mengundang ke kegiatan walimah, misalnya, maka tidak wajib untuk memenuhi undangannya. Akan tetapi, diperbolehkan datang asalkan tidak ada maksud untuk menjalin kasih sayang (atas dasar agama) dengannya. Selain itu, makanan mereka bisa dianggap tidak suci (tidak halal) lantaran kemungkinan adanya najis (misalnya, babi).
Jika undangan tersebut berangkaian dengan ritual keagamaan mereka, seperti seremoni hari besar agama, maka haram untuk memenuhi undangan tersebut. Karena perihal itu berfaedah menyetujui (rida) ritual keagamaan mereka dan menyetujui apa yang mereka percayai berupa iktikad kekufuran dan kesesatan. Oleh lantaran itu, dilarang untuk mengucapkan selamat kepada mereka ketika seremoni hari besar mereka.
Syarat kedua
Syarat lainnya adalah bahwa orang yang mengundang kudu seorang muslim yang lurus agamanya (bukan orang fasik). Jika dia adalah seseorang yang terang-terangan melakukan maksiat (dosa besar, disebut sebagai mujaahir) dan ada faedah (maslahat) dalam meng-hajr (memboikot) serta tidak memenuhi undangannya, maka undangan tersebut tidak wajib dipenuhi. Namun, jika tidak ada faedah dalam meng-hajr, maka tidak perlu diboikot, lantaran pada dasarnya dilarang untuk melakukan hajr. Akan tetapi, jika ada faedah yang jelas dari hajr, maka disyariatkan memboikotnya, baik hukumnya wajib ataukah sunah.
Syarat ketiga
Pengundang kudu menyebut (nama) orang yang diundang dan menyebut secara unik bahwa undangan tersebut ditujukan kepadanya, baik mengundang secara langsung dengan lisan, melalui telepon, alias dengan mengirimkan utusan untuk menyampaikan undangan. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa pengundang memang bermaksud untuk mengundang dan mengharapkan kehadiran orang tersebut, sehingga dia merasa kecewa jika orang yang diundang tidak datang dan merasakan ketidakhadirannya di antara para tamu yang lain.
Adapun jika undangan itu berkarakter umum, seperti undangan terbuka untuk semua orang, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. Contohnya, jika seseorang berkata, “Undanglah siapa saja yang Anda temui”; alias memberikan beberapa kartu undangan untuk dibagikan, dan undangan tersebut tidak menunjukkan bahwa undangan tersebut ditujukan kepada orang (person) tertentu. Dalam kasus semacam ini, maka tidak wajib untuk memenuhi undangan tersebut. [1] Hal ini lantaran pemilik kegiatan (pengundang) tidak mengkhususkan undangan tersebut kepada orang (person) tertentu. Sehingga andaikan orang tersebut tidak hadir, hati pengundang tidak bakal merasa kecewa, dan dia tidak bakal menanyakan tentang ketidakhadirannya.
Terdapat pengecualian andaikan yang diundang adalah kerabat alias rekan (sahabat), dan diketahui andaikan yang diundang tidak hadir, perihal itu bakal dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahmi alias pelanggaran terhadap kewenangan pertemanan dan persahabatan. Atau jika diketahui bahwa pengundang bakal merasa senang dengan kehadirannya, maka sebaiknya dia memenuhi undangan tersebut.
Adapun pendapat sebagian mahir fikih yang menyatakan bahwa jika undangan berkarakter umum, maka tidak dianjurkan untuk memenuhinya [2]; maka pendapat ini perlu ditinjau kembali. Yang benar, undangan tersebut boleh dipenuhi, meskipun tidak wajib.
Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara kepada Anas radhiyallahu ‘anhu dalam kisah pernikahannya dengan Zainab radhiyallahu ‘anha,
ادْعُ لِي رِجَالًا – سَمَّاهُمْ – وَادْعُ لِي مَنْ لَقِيتَ
“Undanglah untukku beberapa orang yang disebutkan namanya, dan undanglah siapa saja yang Anda temui … “ (HR. Bukhari no. 5163)
Syarat keempat
Tidak boleh ada kemungkaran dalam undangan tersebut, seperti intermezo yang berlebihan, musik, ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), disediakan rokok, khamr (minuman keras), dan hal-hal lain yang termasuk kemungkaran. [3] Hal ini dibatasi dengan syarat bahwa jika seseorang (yang diundang) tersebut tidak bisa mengubah kemungkaran tersebut, maka haram baginya untuk menghadiri kegiatan tersebut.
Hal ini berasas dengan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah Anda tolong-menolong dalam melakukan dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Dan juga firman-Nya,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan sungguh, Dia telah menurunkan larangan kepadamu dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) bahwa andaikan Anda mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diolok-olok (oleh orang-orang kafir), maka janganlah Anda duduk berbareng mereka sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika Anda melakukan demikian), tentulah Anda serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa’: 140)
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Wahai sekalian manusia, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يقعدن على مائدة يدار عليه الخمر
“Barangsiapa yang beragama kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia duduk di meja (hidangan) yang di atasnya diedarkan (disajikan) khamr (minuman keras) … “ (HR. Ahmad, 1: 377. Sanadnya dha’if, akan tetapi naik ke derajat hasan lighairihi karena jalan-jalan dan syawahid yang lain. Lihat Fathul Baari, 9: 250)
Dan dari Abu Mas’ud –’Uqbah bin ‘Amr– bahwa ada seorang laki-laki yang membikin makanan untuknya dan mengundangnya. Dia berkata, “Apakah di rumah itu ada gambar (makhluk bernyawa, pent.)?” Laki-laki itu menjawab, “Ya.” Maka dia enggan masuk sampai gambar itu dihilangkan, lampau dia pun masuk. (HR. Al-Baihaqi, 7: 268. Sanadnya sahih, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar di Fathul Baari, 9: 249)
Al-Auza’i rahimahullah berkata,
لا ندخل بيتًا فيه طبل ولا مِعزاف
“Kami tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada rebana alias perangkat musik.” [4]
Namun, andaikan seseorang bisa mengubah kemungkaran tersebut dengan kedudukan (kewenangan alias otoritasnya) alias kedudukannya di masyarakat, maka dia boleh datang dan mengubah kemungkaran itu. Hal ini berasas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
“Barangsiapa di antara kalian memandang kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya.” (HR. Muslim no. 49)
Inilah yang wajib bagi seorang muslim, ialah mempunyai semangat tinggi, kecemburuan terhadap agama, dan kekuatan, sehingga dia tidak boleh merendahkan dirinya saat memandang kemungkaran, agar Allah memberikan faedah kepada kaum muslimin melalui dirinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
“Orang beragama yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang beragama yang lemah, dan pada setiap keduanya terdapat kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664)
Syarat kelima
Orang yang diundang tidak mempunyai uzur (alasan yang bisa dibenarkan) seperti sakit, safar (bepergian jauh), hujan lebat, merawat orang sakit, alias cemas bakal keselamatan diri, keluarga, alias kekayaan benda. Semua tanggungjawab hukum gugur dengan adanya uzur, berasas kaidah,
لا واجب مع العجز
“Tidak ada tanggungjawab ketika ada ketidakmampuan”; yang diambil dari dalil-dalil syar’i.
Termasuk uzur, sebagaimana disebutkan para ulama, adalah ketika orang yang diundang menyampaikan permintaan maaf kepada pengundang (kalau tidak bisa hadir) dan pengundang menerima permintaan maaf tersebut, maka tanggungjawab memenuhi undangan itu gugur. [5]
Syarat keenam
Undangan itu kudu pada kesempatan pertama. Jika pengundang mengundang lagi untuk kegiatan yang sama pada kesempatan kedua, maka tidak wajib memenuhi undangannya.
Ada syarat-syarat lain, dan Ibnu al-Iraqi rahimahullah dalam syarah “at-Taqrib” menyebut ada tujuh belas syarat, meskipun beberapa di antaranya tetap diperdebatkan. [6] Wallahu Ta’ala a’lam. [7]
[Bersambung]
***
@Fall, 30 Rabiul akhir 1446/ 2 November 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel KincaiMedia
Catatan kaki:
[1] Lihat Al-Qaulul Mufiid ‘an Kitabit Tauhiid, 3: 113; Syarh Al-Mumti’, 12: 331.
[2] Lihat Al-Mughni, 10: 194.
[3] Sebagian ustadz memberikan catatan bahwa andaikan kemungkaran tersebut berasal dari tamu undangan, maka tetap wajib memenuhi undangan walimah. Misalnya, pada asalnya tuan rumah tidak menyediakan rokok. Akan tetapi, banyak dari tamu undangan yang datang dan membawa rokok sendiri, kemudian merokok di tempat walimah. Dalam kasus seperti ini, memenuhi undangan tetap wajib. Kemungkaran yang menyebabkan tidak wajib mendatangi walimah adalah kemungkaran yang memang berasal dari tuan rumah. (Faedah dari pidato Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah di sini)
[4] Al-Albani menyandarkan pada Adab az-Zafaf (hal. 94) kepada Abu al-Hasan al-Harbi dalam Al-Fawaid al-Muntaqa dengan sanad yang sahih darinya.
[5] Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 8: 246.
[6] Lihat Tharh At-Tatsrib, 7: 71.
[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 419-421). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.