Hukum Jasa Titip (jastip) Dalam Perspektif Islam

Nov 30, 2024 06:00 AM - 5 bulan yang lalu 193913

Jastip sebagai singkatan dari jasa titip. Menjadi perihal yang tidak tabu lagi di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali kaum muslimin. Hampir-hampir semua kalangan mengetahui tentang jastip ini. Bahkan, perihal ini di banyak kesempatan dijadikan sebagai kesempatan upaya yang cukup menghasilkan.

“Mumpung Anda sedang ada di kota sana, tolong belikan makanan untuk saya unik daerah sana. Nanti saya transfer uangnya sekarang juga, alias saya bayar jika Anda sudah sampai di sini. Sekaligus bayaran untuk anda.” Demikian gambaran ringkasnya tentang jastip.

Pengertian jastip

Dari sisi bahasa Indonesia

Sebelum  beranjak kepada hukumnya, tentu mengetahui tentang pengertiannya sangat penting. Karena tidaklah suatu norma berangkat, melainkan setelah diketahui tentang pengertiannya.

Jastip; jasa pembelian suatu peralatan yang diberikan kepada orang yang tidak dapat membeli langsung sebuah barang, baik di toko bentuk maupun daring dengan penarikan sejumlah biaya.[1]

Dari sisi syar’i

Adapun pengertian jastip dari sisi syar’i berbeda-beda sesuai dengan model jastip tersebut dan janji yang dilaksanakan. Jastip bisa dikatakan sebagai Al-Wakalah bil Ujrah (mewakilkan seseorang untuk membeli sesuatu dengan memberikannya upah), bisa juga dikatakan sebagai janji jual beli, dan bisa juga dikatakan sebagai jual beli yang digabung dengan utang piutang. Masing-masing dari pengertian ini bakal datang perinciannya.

Model-model jastip

Al-Wakalah bil Ujrah

Jastip dalam perihal ini menjadikan seorang yang membelikan peralatan alias penyedia jastip sebagai wakil. Gambaran sederhananya sebagai berikut,

B sedang berada di luar kota, kemudian A meminta B untuk membelikan baju di daerah sana. A berbicara kepada B,

“Tolong belikan saya baju yang bagus di daerah sana, uangnya bakal saya transfer sekarang juga. Silahkan beli dengan menggunakan duit saya. Sebutkan berapa nilai bajunya dan duit yang engkau butuhkan, saya bakal tambahkan.” Harga bajunya Rp.100.000 ditambah dengan jasanya Rp.10.000. Sehingga A bayar kepada B Rp.110.000.

Ini adalah janji yang diperbolehkan, dan janji seperti ini adalah janji yang paling kondusif dalam jastip. Yaitu, pembeli bayar duit di muka, tidak menggunakan duit yang diwakilkannya. Sehingga ada dua perihal yang dapat digaris bawahi pada janji ini:

Pertama: Uang diberikan di muka, tidak mengutang.

Kedua: Upah yang diberikan pun berada di muka sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Kedua perihal ini yang betul-betul kudu diperhatikan dalam janji jastip ini.

Di antara dalil yang membolehkan janji seperti ini adalah firman Allah Ta’ala,

فَٱبۡعَثُوٓاْ أَحَدَڪُم بِوَرِقِكُمۡ هَـٰذِهِۦۤ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ فَلۡيَنظُرۡ أَيُّہَآ أَزۡكَىٰ طَعَامً۬ا فَلۡيَأۡتِڪُم بِرِزۡقٍ۬ مِّنۡهُ وَلۡيَتَلَطَّفۡ وَلَا يُشۡعِرَنَّ بِڪُمۡ أَحَدًا

“Maka, suruhlah salah seorang di antara Anda pergi ke kota dengan membawa duit perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia bertindak lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.” (QS. Al-Kahfi : 19)

Ketentuan-ketentuan dalam janji ini:

Pertama: Kesepakatan antara kedua belah pihak kudu jelas di awal akad. Kesepakatan berupa duit yang diberikan, nilai barang, dan bayaran yang bakal diberikan.

Kedua: Yang kudu diingat bahwa posisi yang membelikan peralatan alias penyedia jastip adalah “wakil”, sehingga dia tentunya hanya sebatas wakil dalam membelikan peralatan tersebut. Ia membelikannya untuk orang lain, bukan untuk dirinya.

Ketiga: Barang yang mau dijastipkan kudu jelas tidak boleh samar-samar. Dalam perihal ini penyedia jastip kudu jujur sejujur jujurnya. Jika ada kerusakan alias abnormal peralatan kudu dijelaskan.

Keempat: Jika ada potongan nilai dari toko, maka penyedia jastip tidak boleh mengambil untung dari situ. Karena perihal tersebut adalah kewenangan pembeli bukan kewenangan wakil. Sehingga jika ada diskon, penyedia jastip kudu mengabarkan pihak yang menitipkan.

Kelima: Jika penyedia jastip membelikan peralatan yang tidak sesuai kesepakatan dengan yang mewakilkan, maka peralatan tersebut berkuasa untuk dikembalikan ke penyedia jastip.

Keenam Jika penyedia jastip membelikan peralatan lebih banyak dari pada kesepakatan di awal, seperti penyedia jastip diminta untuk membelikan kambing 1 ekor, namun rupanya dia mendapatkan 2 ekor dengan duit yang diberikan. Hal ini menurut ustadz Hanafi dan Maliki, 2 ekor kambing tersebut berkuasa diterima oleh yang mewakilkan (pembeli). Adapun menurut ustadz Syafi’i dan Hanbali, yang diambil hanya 1 ekor saja.

Dan ketentuan-ketentuan lainnya yang tentunya kudu diperhatikan oleh kedua belah pihak.

Penyedia jastip membeli peralatan terlebih dahulu

Model kedua ini, penyedia jastip membeli peralatan terlebih dahulu, sehingga kedudukannya bukan menjadi wakil bagi pembeli, namun nantinya seperti penjual. Gambaran sederhananya sebagai berikut,

B sedang berada di luar kota, dia mengatakan kepada A “Saya sedang berada di luar kota, maukah engkau membeli peralatan ini dan itu. Kalau mau saya belikan dulu, jika cocok silahkan dibeli jika tidak cocok tidak apa. Kemudian kelak bayarnya pas kita ketemu saja.”

Akad seperti ini pun janji yang diperbolehkan, karena perihal ini sama saja dengan jual beli. Dalam perihal ini penyedia jastip boleh untuk mengambil untung dan mengambil upah dari jasa yang telah dikeluarkan. Karena perihal ini tidak ada ikatannya dengan utang piutang dan juga janji wakalah, serta segala kerugian ditanggung oleh penyedia jastip dan pengguna jasa jastip ini tidak kudu membeli. Sehingga ada beberapa perihal yang kudu digaris bawahi:

Pertama: Akad ini jatuhnya adalah janji jual beli.

Kedua: Penyedia jastip boleh mengambil keuntungan.

Ketiga::Pengguna jasa jastip tidak kudu membeli.

Untuk memperjelas ketiga poin ini, silahkan beranjak kepada ketentuan-ketentuan berikut.

Ketentuan-ketentuan pada janji ini:

Pertama: Akad ini adalah janji jual beli, lantaran penyedia jastip membeli barangnya terlebih dulu ke toko dengan menggunakan uangnya sendiri. Seolah dia membeli barangnya untuk dirinya sendiri, bukan sebagai wakil.

Kedua: Dikarenakan penyedia jastip membeli barangnya untuk dirinya sendiri, dia bebas untuk menawarkan kepada siapa saja. Termasuk kepada orang yang menggunakan jasa jastipnya.

Ketiga: Penyedia jastip boleh mengambil untung sesuai dengan keinginannya. Jika ada potongan nilai dari toko, dia tidak mesti memberitahukan pengguna jasanya. Misal, nilai peralatan Rp.100.000 kemudian lantaran membeli banyak, turunlah nilai tersebut menjadi Rp.80.000, maka untung ini berkuasa diperoleh oleh penyedia jastip dalam model janji seperti ini.

Keempat: Penyedia jastip tidak diharuskan memberitahukan berapa biaya jasanya dan keuntungannya. Karena ini adalah murni janji jual beli.

Kelima: Pengguna jasa jastip boleh membeli peralatan tersebut alias tidak membelinya. Kalau dirasa peralatan yang ditawarkan terlalu mahal, dia berkuasa untuk menolak pembeliannya.

Dan ketentuan-ketentuan lainnya, di mana pada janji ini masuknya ke dalam kategori jual beli.

Penyedia jastip membelikan peralatan dengan uangnya [2]

Inilah model jastip yang saat ini sedang banyak dilakukan. Yaitu, penyedia jastip mendapatkan perintah dari pengguna jasa untuk membeli suatu peralatan dengan menggunakan duit penyedia jastip terlebih dahulu, istilah kata “ditalangin” terlebih dahulu. Hal ini tentunya diperbolehkan, jika penyedia jastip tidak mengambil untung sepeser pun. Dalam artian janji dalam perihal ini adalah janji sosial alias pure untuk membantu.

Gambaran sederhananya:

A meminta tolong kepada B untuk membelikan makanan, “Tolong belikan saya makanan pakai uangmu dulu, kelak saya tukar jika engkau sudah di sini.” B pun membelikannya dan A memberikan uangnya tanpa ada duit tambahan sebagai “jasa”.

Pada transaksi ini, tentunya tidak ada masalah. Dengan argumen tidak ada faedah yang diperoleh oleh B.

Namun, jika penyedia jastip mengambil untung pada transaksi ini, tentunya hukumnya berbeda lagi. Karena ada dua janji yang melangkah pada satu transaksi.

Pertama: Akad utang piutang.

Kedua: Akad jual beli jasa.

Gambaran sederhananya:

Seperti di atas, namun A meminta biaya jasanya alias B memberikan biaya jasa. Maka, perihal ini yang dikritisi oleh para ulama. Karena padanya ada “biaya jasa” yang dianggap sebagai faedah tambahan dari utang piutang seperti ini, jatuhnya adalah riba. Telah makruf kaidahnya,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَى نَفْعًا فَهُوَ الرِّبَا

“Setiap utang piutang yang memberikan manfaat, maka itu adalah riba.”

Utang piutang yang dimaksud pada transaksi ini adalah, duit talangan yang dimiliki oleh penyedia jasa. Hal ini dianggap sebagai “utang”, dan biaya jasa yang disepakati adalah sebagai “manfaat”. Dan faedah itu tidak bakal ada, selain setelah adanya utang. Inilah yang tidak diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يَحِلُّ ‌سَلَفٌ ‌وَبَيْعٌ

“Tidak legal menyatukan antara salaf (penundaan barang) dan jual beli.” (HR. Abu Daud)

Hal ini dilarang lantaran sebagai corak hilah (tipu daya) dari riba. Istilahnya riba yang terselubung, sehingga perihal ini menjadi wasilah untuk mengambil faedah dari utang piutang.

Beberapa perihal yang kudu diketahui tentang janji ini:

Pertama: Akad seperti ini adalah janji yang tidak diperbolehkan, lantaran menyatukan antara utang dan jual beli jasa. Telah terdapat larangan yang jelas dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas.

Kedua: Solusi dari janji yang tidak diperbolehkan ini adalah silakan untuk kembali kepada dua janji sebelumnya. Keduanya InsyaAllah janji yang diperbolehkan.

Ketiga: Sebagian ustadz ada yang membolehkan janji seperti ini dengan syarat ‘urf alias kebiasaan yang sudah ada antara kedua belah pihak. Seperti antara ibu dan anak, alias tetangga, teman, dan lain sebagainya. Ibu ketika memerintahkan kepada anaknya untuk membelikan makanan dengan duit anaknya, kemudian ibu mau melebihkan uangnya. Apakah yang demikian tidak diperbolehkan? Oleh lantaran itu, perihal ini dikecualikan oleh sebagian ulama.

Wallahu A’lam

***

Depok, 19 Jumadilawal 1446 H / 22 November 2024

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: KincaiMedia

Referensi:

  • Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili
  • Beberapa website lainnya.

Catatan kaki:

[1] https://x.com/BadanBahasa/status/1434051223586435076?s=19

[2] https://www.aliftaa.jo/decision/1720/%D9%82%D8%B1%D8%A7%D8%B1-%D8%B1%D9%82%D9%85-319-%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%AC%D9%85%D8%B9-%D8%A8%D9%8A%D9%86-%D8%A7%D9%84%D9%88%D9%83%D8%A7%D9%84%D8%A9-%D8%A8%D8%A3%D8%AC%D8%B1-%D9%88%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%B6-%D9%81%D9%8A-%D8%B9%D9%82%D8%AF-%D9%88%D8%A7%D8%AD%D8%AF

Selengkapnya