Darah merupakan bagian krusial dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, darah mempunyai status norma tersendiri yang membedakannya dari barang lain. Oleh lantaran itu, persoalan mengenai jual beli darah dan transfusi darah perlu dikaji berasas dalil-dalil syar’i agar dapat dipahami dengan baik oleh umat muslim.
Para ustadz sepakat bahwa darah merupakan sesuatu yang najis dan tidak boleh dimanfaatkan secara umum. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan,
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الدَّمَ حَرَامٌ نَجَسٌ لَا يُؤْكَل وَلَا يُنْتَفَعُ بِهِ
“Para ustadz sepakat bahwa darah adalah haram dan najis, tidak boleh dikonsumsi dan tidak boleh dimanfaatkan.” [1]
Namun, dalam keadaan darurat, Islam memberikan keringanan bagi umatnya dalam penggunaan darah untuk tujuan medis, seperti transfusi darah bagi mereka yang membutuhkannya. Dengan demikian, pemahaman yang jelas mengenai norma darah dalam Islam sangat diperlukan agar umat muslim dapat bersikap sesuai dengan aliran syariat.
Hukum transfusi darah dan syarat kebolehannya
Salah satu metode pengobatan bagi pasien dan pengamanan korban yang memerlukan adalah transfusi darah. Oleh lantaran itu, mendonorkan darah diperbolehkan bagi mereka yang membutuhkannya.
Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Musa mengatakan,
إذا مرض إنسان واشتد ضعفه ولا سبيل لتقويته أو علاجه إلا بنقل دم من غيره إليه وتعين ذلك طريقًا لإنقاذه، وغلب على ظن أهل المعرفة انتفاعه بذلك، فلا بأس بعلاجه بنقل دم غيره إليه
“Jika seseorang sakit dan sangat lemah, serta tidak ada langkah untuk menyembuhkannya, selain dengan transfusi darah, dan itu menjadi satu-satunya langkah untuk menyelamatkan nyawanya, serta para mahir medis berkeyakinan bahwa transfusi darah tersebut bakal berfaedah baginya, maka tidak ada masalah untuk melakukan transfusi darah kepadanya.” [2]
Kemudian, beliau melanjutkan, “Dalil dari perihal ini adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
‘Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa tanpa melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.’ (QS. Al-Baqarah: 173)
Sisi pendalilannya adalah bahwa jika kesembuhan seorang pasien alias korban hanya bisa dicapai dengan transfusi darah dari orang lain, dan tidak ada makanan alias obat yang dapat menggantikannya, maka transfusi darah diperbolehkan. Hal ini termasuk dalam kategori kebutuhan pangan, bukan sekadar obat (karena menggunakan makanan yang diharamkan dalam kondisi darurat diperbolehkan, seperti makan buntang bagi yang terdesak).
Namun, transfusi darah hanya diperbolehkan dengan syarat-syarat berikut:
Pertama: Tidak menyebabkan ancaman besar bagi pendonor, sesuai dengan hadis,
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, sabda hasan)
Kedua: Penerima darah kudu mempunyai kewenangan perlindungan nyawa.
Ketiga: Darah kudu terbebas dari penyakit menular, agar tidak menimbulkan ancaman bagi penerima.
Keempat: Transfusi hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat, ialah ketika nyawa penerima darah berjuntai pada transfusi tersebut.
Kelima: Darah tidak boleh diperjualbelikan.” [3]
Hukum jual beli darah manusia
Menjual darah adalah perbuatan yang diharamkan. Hal ini berasas dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan kesepakatan para ulama.
Allah Ta’ala berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ… الآية
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Dalam sabda yang diriwayatkan dari Abu Juhaifah,
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ melarang nilai darah.” (HR. Bukhari no. 2238)
Dalam Fathul Bari karya Ibnu Hajar disebutkan, ” ‘Tsaman ad-dam’ (harga darah) mempunyai dua tafsiran. Sebagian ustadz beranggapan bahwa yang dimaksud adalah bayaran bagi tukang bekam, sementara pendapat lain menyatakan bahwa larangan ini berkarakter umum, ialah larangan menjual darah sebagaimana haramnya menjual buntang dan babi. Pendapat kedua ini adalah yang lebih kuat, dan telah menjadi ijma’ bahwa menjual darah dan mengambil hasil penjualannya adalah haram.” [4]
Baca juga: Hukum Jual Beli Ijazah di Lembaga Pendidikan
Hukum membeli darah dalam keadaan darurat
Meskipun jual beli darah pada dasarnya dilarang, Islam tetap memberikan kelonggaran dalam kondisi darurat, di mana seseorang sangat memerlukan transfusi darah dan tidak bisa mendapatkannya secara gratis. Namun, pihak yang menjual darah tetap berdosa lantaran telah mengambil untung dari sesuatu yang haram.
Dalam keputusan no. 62 (3: 11) dari Majma’ Fiqih Islam, disebutkan,
ويستثنى من ذلك حالات الضرورة إليه؛ للأغراض الطبية ولا يوجد من يتبرع به إلا بعوض، فإن الضرورات تبيح المحظورات، بقدر ما ترفع الضرورة، وعندئذ يحل للمشتري دفع العوض، ويكون الإثم على الآخذ
“Dikecualikan dari larangan jual beli darah adalah keadaan darurat, khususnya untuk keperluan medis, andaikan tidak ada pendonor yang bersedia memberikan darahnya secara cuma-cuma, selain dengan imbalan. Dalam kondisi ini, norma fikih menyatakan bahwa ‘keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang’, namun hanya sebatas menghilangkan keadaan darurat tersebut. Oleh lantaran itu, dalam situasi demikian, diperbolehkan bagi pembeli untuk bayar sejumlah duit sebagai tukar darah yang dibutuhkan. Akan tetapi, dosa tetap menjadi tanggungan pihak yang menjual darah tersebut.” [5]
Hukum bingkisan untuk pendonor darah
Tidak ada larangan untuk memberikan duit sebagai bingkisan alias penghargaan kepada pendonor darah, selama bukan dalam corak transaksi jual beli.
Masih dalam nomor keputusan yang sama, Majma’ Fiqih Islam mengatakan,
ولا مانع من إعطاء المال على سبيل الهبة أو المكافأة؛ تشجيعًا على القيام بهذا العمل الإنساني الخيري؛ لأنه يكون من باب التبرعات، لا من باب المعاوضات
“Tidak ada masalah dalam memberikan duit sebagai bingkisan alias penghargaan untuk mendorong seseorang melakukan tindakan kemanusiaan yang baik ini. Sebab, pemberian tersebut termasuk dalam kategori bantuan dan bukan transaksi jual beli.” [6]
Berdasarkan perihal ini, tidak ada larangan bagi pendonor untuk menerima minuman seperti teh alias makanan setelah mendonorkan darahnya. Jika makanan tidak tersedia, maka tidak masalah jika dia menerima duit sebagai penggantinya. Sebab, salah satu penggunaan biaya negara adalah memberikan penghargaan kepada mereka yang melakukan kegiatan yang bermanfaat. Dalam perihal ini, dianjurkan bagi penerima untuk menggunakan duit tersebut untuk membeli makanan. Jika dia memilih untuk menyedekahkannya, maka perihal itu lebih baik, lantaran dia bakal mendapatkan pahala dari infak sekaligus dari perbuatan mulianya mendonorkan darah. [7] Wallaahu a’lam.
Baca juga: Apakah Darah Termasuk Najis?
***
Rumdin PPIA Sragen, 20 Sya’ban 1446
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel: KincaiMedia
Referensi Utama:
Al-Musa, Muhammad bin Ibrahim (dkk). Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar. Riyadh: Madar Al-Watan, Jilid 11-13 jenis pertama 1432 H/2011 M.
Catatan kaki:
[1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 21: 25.
[2] Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136.
[3] Diringkas dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 136-137.
[4] Fathul Baari (4: 427). Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 137 dan keputusan no. 62 (3: 11) dari Majelis Fiqih Islam yang berafiliasi dengan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami di Makkah.
[5] Dinukil dari Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 12: 138.
[6] ibid.
[7] https://islamqa.info/ar/398104.
Lihat juga https://www.dar-alifta.org/ar/fatawa/20858