Hukum Keputihan Di Vagina, Najis Atau Suci?

Apr 30, 2025 06:00 PM - 2 minggu yang lalu 21826
Hukum Keputihan di Vagina, Najis alias Suci?Hukum Keputihan di Vagina, Najis alias Suci?

BincangMuslimah.Com – Berdasarkan ilmu kesehatan, keputihan adalah lendir alias cairan yang keluar dari kemaluan perempuan. Cairan ini adalah langkah alami tubuh untuk menjaga kelembaban dan kesehatan organ intim perempuan. Pastinya wanita sering mengalami keputihan. Lantas gimana status norma keputihan di memek itu najis alias tidak?

Konsekuensi norma dari masing-masing status tersebut pun berbeda. Jika keputihan adalah najis, maka busana yang terkena keputihan tidak boleh digunakan untuk shalat. Sebaliknya jika keputihan adalah suci, busana yang terkena cairan tersebut boleh digunakan untuk shalat.

Keputihan di Vagina dalam Tinjauan Fikih

Dalam literatur fikih, ustadz klasik menyebut keputihan dengan istilah ruthubah al-farj. Sedangkan ustadz kontemporer menyebutnya dengan istilah al-ifraazat. Keputihan ini adalah cairan yang berbeda dengan mani, madzi, dan wadi.

Bila mani, madzi, dan wadi adalah cairan yang keluar dari kemaluan laki-laki dan perempuan, ruthubah al-farj hanya keluar dari kemaluan wanita saja.

Keputihan atau ruthubah al-farj dalam literatur fikih (salah satunya disebutkan dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab [2/570]), adalah cairan putih yang keluar dari kemaluan perempuan, yang tetap belum jelas apakah dia termasuk madzi atau keringat (di satu sisi menyerupai madzi, di sisi lain menyerupai keringat).

Karena belum adanya kejelasan ini, ustadz mempunyai perbedaan pandangan tentang statusnya, baik antar empat ajaran fikih, ataupun dalam internal mazhab.

Hukum Keputihan di Vagina Menurut Ulama Fikih

Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa ruthubah al-farj adalah suci, sama seperti “cairan” badan yang lain (contohnya keringat). Sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (keduanya adalah siswa pemimpin Abu Hanifah), ruthubah al-farj statusnya najis.

Karena cairan tersebut keluar dari tempat najis, ialah kemaluan. (Abu Bakr ibn ‘Ali al-Hanafi: al-Jauharah al-Nirah ‘ala Mukhtashar al-Qudwari [1/38])

Merujuk kepada literatur fikih ajaran Hanafi yang lain, yaitu Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar karya Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, pada jilid 1 hlm. 313 beliau menyebut bahwa ruthubah al-farj bagian luar adalah suci, dan ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

Kemudian dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [40/93], pendapat ajaran Hanafi mengenai status ruthubah al-farj dijelaskan lebih rinci. Ruthubah al-farj yang dianggap suci oleh pemimpin Abu Hanifah, dan dianggap najis oleh kedua muridnya, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah ruthubah al-farj yang keluar dari kemaluan bagian dalam.

Sedangkan keputihan yang dianggap suci, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Abidin, adalah keputihan yang muncul dari kemaluan wanita bagian luar. Bagian yang dimaksud adalah yang terlihat ketika seorang wanita jongkok, yang wajib dibasuh saat bersuci.

Dalam ajaran Maliki, ruthubah al-farj dihukumi sebagai najis. (al-Hatthab al-Ru’yani: Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil [1/105]).

Kemudian Muhammad ibn ‘Arafah al-Dasuqi dalam Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir [1/57] menyebut lebih rinci, bahwa ruthubah al-farj dihukumi sebagai najis berasas pendapat yang paling kuat dalam ajaran Maliki.

Artinya, ada sebagian ustadz maliki yang menganggap ruthubah al-farj suci, tidak najis. Akan tetapi pendapat ini lemah.

Sementara dalam Tuhfah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj [1/301], ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan rincian status ruthubah al-farj menurut ajaran Syafi’i. Ada tiga status ruthubah al-farj:

Pertama, ruthubah al-farj yang keluar dari kemaluan bagian luar —yaitu bagian yang wajib dibasuh saat bersuci—dihukumi suci;

Kedua, ruthubah al-farj yang keluar dari kemaluan bagian dalam dihukumi najis;

Ketiga, ruthubah al-farj yang keluar dari tempat sampainya kemaluan laki-laki saat berasosiasi dengan istrinya, dihukumi suci, menurut pendapat yang ashah. Sedangkan menurut pendapat yang muqabil al-ashah, ia dihukumi najis.

Dalam al-Syarh al-Kabir ‘ala Matn al-Muqni’ [1/310], ‘Abd al-Rahman al-Maqdisi menyebut bahwa dalam ajaran Hanbali, ada dua riwayat mengenai status ruthubah al-farj. Riwayat pertama mengatakan najis, lantaran cairan ini menyerupai madzi. 

Sementara riwayat kedua mengatakan suci, dengan argumen bahwa saat seorang wanita mengeluarkan mani, otomatis mani tersebut bakal bercampur dengan ruthubah al-farj. Jika ruthubah al-farj dihukumi najis, maka mani yang awalnya suci, bakal berubah menjadi najis saat bercampur dengan cairan ruthubah al-farj. (Lihat juga: Ibnu Qudamah: al-Mughni, [2/65]).

Kemudian Ibnu Taimiyah dalam Syarh al-‘Umdah [bab bersuci, hlm. 112] menjelaskan, riwayat yang paling kuat dalam ajaran Hanbali mengatakan bahwa ruthubah al-farj adalah cairan yang suci.

Kesimpulan Hukum Keputihan di Vagina Perempuan

Kesimpulan status ruthubah al-farj menurut empat ajaran fikih:

Mazhab Hanafi:

  1. Ruthubah al-farj dari bagian luar kemaluan: suci
  2. Ruthubah al-farj dari bagian dalam kemaluan: ada yang mengatakan suci, ada yang mengatakan najis.

Mazhab Maliki: pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa ruthubah al-farj statusnya najis.

Mazhab Syafi’i:

  1. Ruthubah al-farj dari bagian luar kemaluan: suci
  2. Ruthubah al-farj dari bagian dalam kemaluan: najis
  3. Ruthubah al-farj dari tempat masuknya kemaluan suami saat berasosiasi badan, hukumnya suci menurut pendapat yang paling shahih argumennya.

Mazhab Hanbali: status ruthubah al-farj adalah suci berasas riwayat yang paling kuat.

Itulah beragam pandangan ustadz dalam menentukan status ruthubah al-farj. Masing-masing pandangan mempunyai argumen tersendiri yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya pada tulisan ini.

Berdasarkan penjelasan dari literatur fikih 4 ajaran tersebut, dapat terlihat bahwa ajaran Syafi’i adalah ajaran yang paling rinci dalam mengulas status ruthubah al-farj. Jika dia muncul dari permukaan luar kemaluan statusnya suci, lantaran cairan ini lebih mirip dengan keringat, dan tidak membatalkan wudhu.

Maka busana yang terkena cairan ini dapat digunakan untuk shalat. Sebaliknya jika cairan keputihan keluar dari bagian dalam kemaluan, dia dihukumi najis lantaran lebih mirip dengan cairan madzi. Jika cairan keputihan keluar dari bagian yang tidak terlalu dalam, hukumnya suci.

Bagaimana jika bingung menentukan apakah cairan tersebut keluar dari permukaan luar kemaluan, alias dari bagian dalam kemaluan? Jawabannya adalah ruthubah al-farj tersebut tetap dihukumi suci dan tidak membatalkan wudhu. Karena al-yaqin laa yuzaalu bi al-syakk. (‘Abd al-Rahman ibn ‘Abdillah ibn ‘Abd al-Qadir al-Saqqaf: al-Ibaanah wa al-Ifaadhah fi Ahkam al-Haidh wa al-Niifas wa al-Istihadhah, hlm. 18).

Oleh karenanya tetap dibolehkan untuk shalat menggunakan busana yang terkena cairan keputihan tersebut, dan jika keluar saat melaksanakan shalat, dia tidak membikin shalat batal.

Namun begitu, agaknya wanita bisa mendeteksi dan membedakan antara cairan yang keluar dari bagian dalam kemaluan, dan yang hanya muncul dari bagian luar, yang mirip dengan keringat.

Demikian penjelasan norma keputihan di memek perempuan, najis alias suci? Semoga bermnafaat. Wallahu a’lam bisshawwab. (Baca juga: Bolehkah Wanita Keputihan Membaca Al-Quran?).

Selengkapnya