Kincai Media , JAKARTA -- Pernah mendapat tawaran angsuran emas di bank-bank syariah? Bagaimana sebanarnya norma angsuran emas menurut aliran Islam?
Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Ustaz Dr Oni Syahroni menjelaskan perihal norma angsuran tersebut.
Menurut dia, produk angsuran emas adalah akomodasi pembiayaan yang diberikan untuk membeli emas atau logam mulia dalam corak batangan yang diangsur setiap bulannya dengan janji jual-beli (murabahah). Produk angsuran emas tersebut diperkenankan, sebagaimana fatwa DSN MUI Nomor 77/DSN-MUI/VI/2010 tentang Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai.
Dia menjelaskan, jika emas tersebut dititipkan oleh pelanggan ke bank syariah, itu diperkenankan selama disepakati bahwa emasnya mempunyai bentuk (tidak fiktif) dan dimiliki---sekurang-kurangnya secara prinsip---oleh pihak penjual (bank) sebelum dijual kepada nasabah.
Memang, ada beberapa perbedaan argumentasi di kalangan para mahir fikih. Hal itu terutama berangkaian dengan sabda Ubadah bin ash- Shamit, yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat) sama dan sejenis, serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, maka jual sekehendakmu jika dilakukan secara tunai" (HR Muslim).
Terkait pula dengan sabda dari Umar bin Khattab, yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali secara tunai" (HR Muslim).
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i, emas yang dimaksud dalam sabda Ubadah tersebut adalah perangkat pembayaran, bukan komoditas (barang yang diperdagangkan). Jadi, emas baik sebagai logam mulia ataupun perhiasan bukan bagian dari emas yang dimaksud dalam sabda Ubadah. Sebab, emas ini dipandang sebagai komoditas.
Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i, illat emas dalam sabda Ubadah tersebut adalah keberadaannya sebagai perangkat tukar alias perangkat pembayaran (atsman li al-asy-ya'). Dengan demikian, pertukaran antara mata duit dan emas, sebagaimana dijalankan pada produk angsuran emas di bank-bank syariah kini, tidak diharuskan secara tunai, tetapi boleh tidak tunai. Ia pun tidak termasuk riba jual beli (riba nasa') lantaran adanya pertemuan (tukar menukar) antara duit dan barang.
Kedua, tradisi (urf) masyarakat dan otoritas yang menyimpulkan bahwa emas adalah komoditas, bukan perangkat pembayaran. Ini sebagaimana kaidah, "Sesuatu yang menjadi kebiasaan dihukumi sama dengan sesuatu yang dipersyaratkan" (Al-Asybah wan-Nazhair, as-Suyuthi, 92).
Alat pembayaran (uang) kudu diterbitkan oleh otoritas dan menjadi perangkat tukar dalam sirkulasi peralatan dan jasa. Kedua karakter tersebut---diterbitkan otoritas dan jadi perangkat tukar---tidak tersedia dalam emas yang saat ini. Kini, emas menjadi komoditas.
Sulaiman Mani' berkata, "Uang adalah sesuatu yang dijadikan nilai oleh masyarakat, baik terdiri atas logam alias kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya yang diterbitkan oleh lembaga finansial pemegang otoritas" (Buhuts fi al- Iqtishad al-Islami).
Adapun di Indonesia, arti duit disebut oleh Bank Indonesia. "Bahwa duit adalah suatu barang yang pada dasarnya dapat berfaedah sebagai perangkat tukar, perangkat penyimpan nilai, satuan hitung, dan ukuran pembayaran yang tertunda. Uang kartal adalah duit kertas dan duit logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia yang berfaedah sebagai otoritas moneter" (Bank Indonesia, Uang, Jakarta, 2002).
sumber : Pusat Data Republika