
Kincai Media – Dalam konteks hubungan suami dan istri, Islam tidak menafikan pentingnya pemenuhan kebutuhan biologis selama dilakukan dengan langkah yang halal dan tidak melanggar batas-batas syariat. Salah satu pertanyaan yang cukup sering muncul di masyarakat adalah mengenai norma menjilat kemaluan pasangan, baik oleh suami maupun istri. Apakah perihal ini diperbolehkan dalam Islam?
Dalam fikih Islam, prinsip dasar dalam hubungan suami istri adalah kebolehan menikmati satu sama lain, selama tidak melanggar larangan hukum yang jelas. Kaidah umum dalam madzhab Syafi’i dan sebagian besar ustadz adalah bahwa semua corak kenikmatan seksual diperbolehkan antara suami dan istri, selain pada daerah yang dilarang secara eksplisit, seperti anal seks.
Imam Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menjelaskan bahwa seorang suami boleh menikmati seluruh bagian tubuh istri, selain sekitar lubang anusnya. Bahkan, beliau menyebut secara definitif kebolehan menghisap klitoris istri.
يَجُوزُ لِلزَّوْجِ كُلُّ تَمَتُّعٍ مِنْهَا بِمَا سِوَىَ حَلْقَةِ دُبُرِهَا وَلَوْ بِمَصِّ بَظْرِهَا
Artinya: “Diperbolehkan bagi seorang suami untuk bersenang-senang dengan isteri dengan semua model kesenangan selain lingkaran di sekitar anusnya, walaupun dengan menghisap klitorisnya.” ( Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, laman 217)
Dari quote Fathul Muin ini, jelas bahwa selama tidak menyentuh daerah terlarang (seperti anus) dan tidak membahayakan, kegiatan seksual termasuk menjilat alias menghisap organ kelamin tetap dalam pemisah kebolehan syariat. Namun, tentu kudu disertai dengan adab, kerelaan, dan kebersihan yang dijaga.
Lebih lanjut, dalam kitab Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, karya Imam Muhammad Abu ‘Abdillah at-Tharabulsi al-Hattab al-Ru’yani, juga disebutkan obrolan tentang tindakan menjilat kemaluan ini. Ulama menyebut bahwa meskipun ustadz ada yang menolak membahas ini [karena etika], tetapi secara fikih norma menjilat kemaluan suami dan istri adalah legal dan sah.
Simak penjelasan berkut;
قال : نعم ، ويلحسه فطرح العتبي لفظة ويلحسه ; لأنه استقبحه وفي كتاب ابن المواز : ويلحسه بلسانه وهو أقبح إلا أن العلماء يستجيزون مثل هذا إرادة البيان ; ولئلا يحرم ما ليس بحرام فإن كثيرا من العوام يعتقدون أنه لا يجوز للرجل أن ينظر إلى فرج امرأته في حال من الأحوال وقد سألني عن ذلك بعضهم فاستغرب أن يكون ذلك جائزا ، وكذا يكلم الرجل امرأته عند الوطء لا إشكال في جوازه ولا وجه لكراهته ، وأما النخير عند ذلك فقبيح ليس من أفعال الناس ، وترخيص القاسم بن محمد في ذلك لمن سأله عنه على معنى أن ذلك ليس بحرام والله أعلم
Artinya; Ia (seseorang) berkata: “Ya, dan dia menjilatinya.” Namun al-‘Utbi menghilangkan lafaz “dan dia menjilatinya” lantaran dianggapnya buruk. Dalam kitab Ibnu al-Muwaz disebutkan: “Dan dia menjilatinya dengan lidahnya.” Ini lebih jelek lagi, tetapi para ustadz membolehkan ungkapan seperti ini dengan tujuan penjelasan dan agar tidak mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak haram. Karena banyak orang awam yang meyakini bahwa seorang laki-laki tidak boleh memandang kemaluan istrinya dalam keadaan apa pun. Sebagian dari mereka pernah bertanya kepadaku tentang perihal itu dan merasa asing bahwa rupanya perihal tersebut diperbolehkan. Demikian pula, berbincang antara suami istri saat berasosiasi intim tidak ada masalah dan tidak ada argumen untuk memakruhkannya. Adapun mengeluarkan bunyi seperti mendengus saat itu, maka itu perbuatan jelek yang bukan termasuk kebiasaan manusia. Dan keringanan yang diberikan oleh al-Qasim bin Muhammad kepada seseorang yang bertanya tentang perihal itu maksudnya adalah bahwa perbuatan itu tidak haram. Dan Allah lebih mengetahui. [Muhammad Abu ‘Abd Allah al-Hattab al-Ru’yani, Mawahib Al Jalil Lisyarah Mukhtashar Khalil, Jilid III, laman 406]
Penjelasan ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian ustadz menganggap redaksi menjilat kemaluan itu kurang elok disebutkan, namun mereka tetap membolehkannya dalam praktik, lantaran tidak ada dalil qath’i yang melarangnya secara eksplisit.
Selain itu, dijelaskan pula bahwa larangan dan keburukan hanya bertindak jika perihal tersebut membawa akibat yang buruk, menjijikkan, alias tidak menjaga martabat. Maka, etika dan etika tetap kudu menjadi pertimbangan utama, apalagi jika pasangan merasa tidak nyaman alias jijik, maka lebih utama untuk ditinggalkan.
Yang krusial untuk digarisbawahi, para ustadz menyampaikan rincian seperti ini agar masyarakat tidak mengharamkan sesuatu yang sebenarnya mubah dalam syariat. Hal ini krusial lantaran tetap banyak dugaan awam yang beranggapan bahwa menyentuh alias memandang kemaluan pasangan adalah perbuatan tabu yang tidak dibenarkan.
Padahal, Islam sangat terbuka dan memberikan ruang luas dalam hubungan suami istri, termasuk berbicara, saling memuji, hingga melakukan ragam dalam berhubungan, selama itu dilakukan dalam suasana kasih sayang dan tidak menyimpang dari patokan dasar.
Namun tentu saja, setiap pasangan kudu menjaga kebersihan dan kesehatan dalam kegiatan seksualnya. Islam memerintahkan untuk menjaga kebersihan (thaharah) lantaran itu bagian dari iman. Tidak boleh ada praktik seksual yang berisiko menimbulkan penyakit alias kerusakan tubuh.
Kesimpulannya, menjilat kemaluan pasangan dalam hubungan suami istri adalah perbuatan yang tidak diharamkan menurut kebanyakan ulama, selama dilakukan dengan kesepakatan bersama, tidak menimbulkan mudarat, dan tetap dalam batas syariat. Namun, jika pasangan merasa tidak nyaman alias menjijikkan, maka tidak perlu dilakukan, lantaran tujuan utama dari hubungan adalah mawaddah wa rahmah, bukan sekadar pemuasan nafsu.