Kincaimedia– Haji merupakan salah satu rukun Islam nan wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim nan mampu, baik dari segi fisik, mental, maupun finansial. Namun, dalam praktiknya, banyak umat Islam nan menunda penyelenggaraan ibadah haji meskipun sudah memenuhi syarat istitha’ah (kemampuan). Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai norma menunda haji dalam pandangan Islam. Nah berikut penjelasan Quraish Shihab, tentang seorang menunda haji.
“Berkunjung ke Makkah itu adalah berjamu ke rumah Tuhan. Sungguh rugi orang nan berjamu ke rumah kekasih tetapi tidak disambut oleh kekasih”.
Begitu ungkapan sufi. Banyak dari kaum muslimin nan tidak bisa berangkat haji dikarenakan suatu keadaan dari ataupun kondisi nan belum memungkinkan, nan berfaedah mereka belum termasuk orang nan wajib berhaji. Namun, emosi kangen dan mau berjamu ke Baitullah selalu muncul dalam hati.
Haji merupakan rukun Islam nan bersyarat, hanya wajib bagi nan bisa untuk melaksanakannya. Karena itu, maka tidak berdosa jika belum melaksanakannya lantaran belum mencapai pemisah “mampu” sesuai aliran agama. Kemampuan ini mencakup banyak aspek, sehingga terkadang ada nan menunda berangkat haji lantaran kondisi tertentu.
Lalu apa saja keahlian nan dimaksud oleh syariat? Dan gimana norma menunda kepergian haji ke Baitullah, apakah diperbolehkan?
Jika ditelisik secara makna, maka haji mempunyai makna “menuju”. Artinya, orang nan berhaji ada nan dia tuju. Tujuan bisa jadi tempat (haji menuju ke tempat). Pun, tujuan juga bisa berangkaian dengan motivasi. Misalnya Anda mau ke Makkah tujuannya apa?
Dua makna ini (tempat dan motivasi) ada pada haji nan disyariatkan. Jelasnya, haji itu adalah menuju ke Baitullah al-Haram (Makkah) dan sekitarnya. Maka dari itu jika ada orang nan berhaji lampau tidak pergi ke Madinah, maka hajinya sah-sah saja. Akan tetapi ke Makkah dan sekitarnya adalah wajib seperti Mina, Muzdalifah, Arafah dan lainnya. Dan menuju ke tempat ini ada langkah dan waktu tertentu (berbeda dengan haji kecil, Umrah, nan bisa kapan saja pergi ke sekitarnya.
Sementara menyangkut motivasinya adalah harus lillahi ta’ala. Dengan demikian, jika ada orang nan pergi ke Makkah pada bulan haji, kemudian dia wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, melontar jumrah tanggal 10, 11, 12 dan tawaf ifadah tetapi tujuannya bukan lantaran Allah Swt., maka tidak dinamai haji.
Syahdan. Haji diwajibkan di Madinah. Ada nan berbicara bahwa haji diwajibkan pada tahun ke 5 H, ada nan berbicara tahun ke 6 H, dan apalagi tahun ke 9 H. Ayat nan mewajibkan itu adalah firman Allah surat Ali Imran ayat 97:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Artinya: “Di sana terdapat tanda-tanda nan jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) tanggungjawab manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, ialah bagi orang-orang nan bisa mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97).
Nabi haji tahun ke 10 H. Di sini ada pembahasan hukum, apakah orang nan bisa haji dia kudu berhaji pada tahun dia bisa alias tidak? Bagaimana norma jika menunda haji? Apakah kudu segera? Jawabannya tidak. Imam Malik berbicara lil faur (harus segera), sementara Imam Syafi’i berbicara tidak.
Dikatakan tidak, lantaran jikalau kita berbicara haji itu baru diwajibkan tahun ke 9 tetapi Nabi belum haji. Justru Nabi menangguhkan sampai tahun ke 10. Dengan argumen ini, maka haji bisa ditangguhkan. Walaupun Anda sudah mampu, tetapi Anda bisa menangguhkannya jika Anda menduga tahun depan Anda lebih siap untuk berhaji.
Haji adalah rukun Islam, tetapi tanggungjawab haji ditetapkan Tuhan dengan suatu redaksi nan berbeda dengan rukun Islam nan lain. Misalnya syahadat, apa perintah Tuhan menyangkut syahadat? Dalam al-Qur’an surat Muhammad ayat 19 Allah Swt. berfirman:
فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِۢكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰٮكُم
Artinya: “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, dan mohonlah pembebasan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat upaya dan tempat tinggalmu.” (QS. Muhammad [47]: 19).
Kemudian shalat. Al-Qur’an mengatakan:
اُتْلُ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ ۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
Artinya: “Bacalah Kitab (Al-Qur’an) nan telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) biadab dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah nan lain). Allah mengetahui apa nan Anda kerjakan.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45).
Setelah itu puasa. Allah Swt. berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang nan beriman! Diwajibkan atas Anda berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum Anda agar Anda bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Sementara amal dalam al-Quran dinyatakan:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاَطِيْـعُوا الرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Artinya: “Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul (Muhammad), agar Anda diberi rahmat.” (QS. An-Nur [24]: 56).
Empat nan lain ini tidak digaris bawahi lillah walaupun wajib lillah. Dalam perihal ini, hanya redaksi haji nan ada kata lillah. Allah Swt. berfirman:
وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖۤ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِذَاۤ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَـرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْۤا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah lantaran Allah. Tetapi jika Anda terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu nan mudah didapat, dan jangan Anda mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara Anda nan sakit alias ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, ialah berpuasa, bersedekah, alias berkurban.
Apabila Anda dalam keadaan aman, maka peralatan siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu nan mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah Anda kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang nan bukan masyarakat Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 196).
Kata Quraish Shihab, niat kudu lurus sebelum haji lantaran godaannya banyak. Naik pesawat belum lurus tetap ditoleransi. Namun, begitu memakai busana ihram dan niat untuk haji, maka Anda kudu lurus. Semuanya kudu lurus menyatu-padu.
Tentang surat Ali Imran ayat 97.
Waktu turun ayat ini, ada seorang nan bertanya pada Nabi, “Wahai Nabi, hajinya setiap tahun?” Nabi menjawab, “Sekali seumur hidup.” Kata Quraish Shihab, untung Nabi mengatakan “sekali seumur hidup” dan juga Allah berfirman “bagi nan mampu”.
Demikian norma menunda kepergian haji dari penjelasan Profesor Quraish Shihab. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawaab. [Baca juga: Mandi Sunah Saat Ibadah Haji]