Hukum Menyusui Dengan Bank Asi Menurut Islam

Dec 05, 2024 01:43 PM - 1 bulan yang lalu 50021

Jakarta -

Produksi ASI setiap ibu memang berbeda satu sama lain. Keberadaan bank ASI kerap menjadi solusi membantu pemenuhan nutrisi ASI bagi ibu yang minim produksinya. Lantas, gimana norma menyusui dengan bank ASI menurut Islam?

ASI merupakan makanan yang paling sempurna, bersih, serta mengandung banyak nutrisi bagi bayi lantaran pengolahannya dilakukan secara alami oleh tubuh. Meski demikian, dalam praktiknya, pemberian ASI oleh para ibu tidak selalu lancar.

Sering kali, hambatan ASI yang minim dan beragam argumen lainnya membikin sebagian ibu menyusui kesulitan memenuhi pasokan ASI bayi secara maksimal. Kehadiran para pendonor ASI yang memberikan stok ASI mereka melalui bank ASI menjadi jalan tengah yang membantu para ibu yang mengalami masalah tersebut.

Mengenal bank ASI

Keberadaan bank ASI bermaksud untuk mempermudah bayi mendapatkan ASI yang ibunya tidak dapat memberikan ASI kepada bayinya lantaran argumen tertentu terutama bagi bayi yang lahir prematur lantaran bayi prematur diharuskan diberi ASI bukan susu formula. 

Selain itu, pemberian ASI sangat krusial diberikan kepada bayi lantaran kandungan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang yang optimal, untuk kesehatan dan kelangsungan hidup bayi. 

Bank ASI dalam pengetahuan fiqih tergolong fiqih kontemporer dan termasuk masalah cabang. Gagasan bank ASI telah berkembang di Eropa sejak 50 tahun lalu. Ada beberapa informasi tentang negara-negara yang telah mendirikan Bank ASI seperti di India, Cina, Amerika Selatan maupun Prancis. 

Di negara maju seperti Belanda, penyelenggaraan Bank ASI dilakukan dengan mengumpulkan ASI dari para ibu yang rela mendonorkan ASI-nya, memerahnya, dan menyimpan dalam freezer setiap dua pekan sekali.

Para petugas yang ditugaskan negara mengambil ke rumah ibu dan dengan mobil pendingin tentu dengan menggunakan listrik yang tidak boleh padam. Semua petugas dan perangkat serta tempat kudu steril dan ASI kudu melalui proses pasteurisasi terlebih dahulu. Inilah yang menjadikan para ustadz berbeda pendapat.

Dalam kitab Problematika Hukum Islam Kontemporer disebutkan, bahwa ada beberapa ustadz yang membolehkan bank ASI seperti Yusuf Al Qaradhawi, asalkan tujuan pendirian bank ASI itu untuk mewujudkan kebaikan bagi masyarakat. 

Menurut beliau, bank ASI bermaksud mulia lantaran memerintahkan menolong kaum yang lemah terutama para  bayi. Alasan lainnya beliau memaparkan gimana di era Nabi, ada banyak para wanita yang menyusui bayi. Sebab, untuk mencari mata pencaharian guna memenuhi kebutuhan hidup.

Ulama lain yang membolehkan adalah Asy Syeikh Ahmah Ash Shirbasi, yang merupakan salah seorang tokoh dari Al Azhar Mesir. Beliau mengungkapkan bahwa hubungan kerabat sepersusuan yang terjadi akibat penyusuan itu kudu melibatkan saksi dua laki-laki alias satu laki-laki dan dua saksi wanita sebagai tukar satu laki-laki. Bila tidak ada saksi, maka persusuan itu tidak menjadikan kerabat sepersusuan.

Adapun ustadz yang tidak membolehkan bank ASI misalnya DR Wahah Az Zuhaily. Hal tersebut dikarenakan dapat menyebabkan tercampurnya nasab. Majma'al Fiqh Al Islami Organisasi Konferensi Islam dalam Muktamar di Jeddah pada 1985 memutuskan bahwa pendirian bank ASI tidak diperbolehkan seperti dikutip dari Buku Menyusui dan Menyapih dalam Islam yang ditulis Wida Azzahida & IndScript Creative yang diterbitkan PT Elex Media Komputindo.

Jika ada yang mau mendirikan bank ASI pun kudu memenuhi syarat yang sangat ketat, seperti ada penulisan nama pemiliknya secara khsuus. Dalam perihal ini setiap ASI yang dikumpulkan kudu disimpan pada tempat unik dan diberi nama sesuai pemiliknya, sehingga dipastikan ASI ini tidak tercampur dengan ASI pemilik yang lain. ASI juga kudu diketahui oleh pemiliknya diberikan kepada bayi siapa ASI-nya tersebut, sehingga tidak ada pencampuran nasab lantaran semua jelas.

Selanjutnya dilakukan dalam kondisi darurat. Pendirian bank ASI diperbolehkan jika kondisi betul-betul darurat dan tidak ada langkah lain selain dengan mendirikan bank ASI ini. Dan selanjutnya adalah kudu betul-betul steril.

Hal-hal lain yang menyebabkan para ustadz merasa berat dalam mendirikan Bank ASI, di antaranya:

1. Pendirian bank ASI memerlukan biaya besar lantaran beratnya biaya yang besar dalam pendirian tersebut dan sepertinya juga sangat memberatkan jika didirikan oleh negara berkembang seperti di Indonesia.

2. ASI yang disimpan juga berpotensi untuk terkena virus dan kuman-kuman yang berbahaya. Sehingga, perlu pengawasan yang ketat. Jika tidak, maka dapat menyebabkan kualitas dan kandungan zat-zat krusial yang terdapat dalam ASI menjadi menurun sehingga maksud baik dari tujuan pendirian bank ASI menjadi tidak terpenuhi.

3. Banyak para ibu berlomba-lomba menjual ASI dengan nilai tinggi

Hal lain yang juga berpotensi menjadi sesuatu yang kurang baik adalah adanya family yang berada dalam tingkat ekonomi lemah, sehingga mereka menjual ASI-nya dengan nilai yang mahal kepada bank ASI dan justru memberikan susu formula kepada anak-anak mereka sendiri.

4. Semakin rendahnya kesadaran memberi ASI kepada perempuan

Dengan adanya bank ASI, kekhwatiran lain yang diprediksikan adalah banyaknya wanita yang memilih untuk sibuk berkarier. Dengan demikian, mereka pun lebih memilih untuk tidak menyusui anaknya dan memilih membeli ASI dari bank ASI.

Mengutip dari Halalmui, di antara norma Ushul Fiqh disebutkan, jika ada 'mashlahat', dan tak ada dalil alias nash yang melarang, hukumnya boleh (dilakukan).

Apalagi memberikan air susu ibu (ASI) untuk bayi yang bukan anaknya sendiri, dengan menyusukan bayi itu secara langsung, telah ada contohnya secara nyata. Yakni bahwa dalam Sirah Nabawiyyah disebutkan, orang-orang Arab mempunyai tradisi untuk menyusukan anaknya kepada para wanita dusun.

Di antara alasannya adalah agar si anak dapat hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku dengan nilai sastra yang tinggi. Terkenal dalam riwayat, saat Nabi SAW tetap bayi juga disusui oleh ibu susunya yang berjulukan Halimah as-Sa’diyah dari kabilah bani Sa’ad di desa daerah Thaif.

Dalam Al-Qur'an disebutkan perintah sebagai tuntunan wabil-khusus bagi para orang tua, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, ialah bagi orang yang mau menyempurnakan penyusuan. Dan tanggungjawab bagi ayah untuk memberi makan dan busana kepada para ibu dengan langkah yang ma’ruf. Tidaklah satu jiwa dibebani selain sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu mengalami kemudlaratan lantaran anaknya, demikian pula seorang ayah. Dan pewaris anak itu pun mempunyai tanggungjawab yang sama. Apabila keduanya (ayah dan ibu) mau menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian mau anak-anak kalian disusukan oleh orang (wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian andaikan kalian memberikan pembayaran dengan langkah yang ma’ruf. Bertakwalah kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 233).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan pengarahan dari Allah kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna ialah selama dua tahun sehingga setelah lewat dua tahun tidaklah teranggap, lantaran itulah Allah menyatakan, ‘Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, ialah bagi orang yang mau menyempurnakan penyusuan’.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290).

Setelah usia dua tahun, air susu ibu bukan lagi sumber makanan bagi si anak namun dia telah beranjak kepada makanan yang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di  berkata, “Apabila seorang anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berfaedah telah sempurna penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah kemahraman.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 104).

Selanjutnya tentang kemahraman lantaran penyusuan, disebutkan dalam ayat yang artinya, “Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara wanita kalian, amah-amah (saudara wanita ayah) kalian, khalah-khalah (saudara wanita ibu) kalian, anak-anak wanita dari kerabat laki-laki dan dari kerabat wanita (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara wanita kalian sepersusuan….” (QS. An-Nisa, 4: 23). Dalam ayat itu, Allah hanya menyebut dua golongan wanita yang haram dinikahi lantaran hubungan penyusuan, ialah ibu susu dan kerabat wanita sepersusuan.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Setiap wanita yang haram (dinikahi) lantaran hubungan nasab maka diharamkan pula yang semisalnya lantaran hubungan penyusuan. Mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, amah, khalah, keponakan wanita dari kerabat laki-laki, dan dari kerabat wanita dengan corak yang telah dijelaskan dalam masalah nasab, dengan dalil dari hadits sabda Nabi saw yang artinya: “Apa yang haram lantaran nasab maka itupun haram lantaran penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi).

Dalam riwayat lain: “Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram lantaran hubungan kelahiran (nasab).” (al-Mughni, 7/87).

Al-Imam al-Qurthubi menyatakan, “Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi laki-laki (yang bukan anaknya), wanita ini menjadi haram (dinikahi) si anak (bila telah dewasa) lantaran wanita ini adalah ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak susu ini menikahi putri ibu susunya lantaran merupakan kerabat perempuannya, haram baginya menikahi kerabat wanita ibu susu lantaran dia adalah khalahnya, haram baginya ibunya ibu susu lantaran dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putrinya ayah susu (suami ibu susu yang menjadi karena keluarnya air susu tersebut) lantaran dia adalah kerabat perempuannya, haram baginya kerabat wanita ayah susu lantaran dia adalah amahnya, haram baginya ibunya ayah susu lantaran dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak laki-laki ataupun anak wanita ibu susu (cucunya ibu susu) lantaran mereka adalah putri-putri dari kerabat laki-laki dan kerabat perempuannya sepersusuan.” (al-Jami’ li Ahkamil Quran, 5/72).

Dalam praktek mutakhir masa kini, memberikan ASI untuk bayi dilakukan dan diperoleh dengan pengganti dari ASI para donor yang dikumpulkan di Bank ASI. Maka pada dasarnya, dalam Kaidah Syariah, perihal itu diperbolehkan. Sedangkan masalah kemahramannya, itu masuk ke dalam Ranah Khilafiyah, alias ada perbedaan pendapat.

Bila dicermati, sekarang ada beberapa family di satu lingkungan pemukiman yang membikin semacam 'Asosiasi Ibu Menyusui' dan mengumpulkan secara menyalurkan ASI dengan praktik seperti bank ASI. Namun dalam skala yang tetap kecil, dan dibuat pencatatan yang baik. Sehingga pendonor dan penerima ASI-nya dapat diketahui dengan jelas. Dan jika ada yang mengambil pendapat tentang kemahraman lantaran menyusui bayi dengan Bank ASI tersebut, maka perihal itu juga dapat diketahui dengan jelas.

Lebih lanjut lagi tentang kemahraman sebagai kerabat sepersusuan lantaran meminum ASI, ada beberapa pendapat. Pertama, ada yang menyebut menjadi mahram sebagai kerabat sepersusuan, jika meminum susu itu secara langsung dengan mengisap puting ibu yang menyusuinya.

Sedangkan jika meminum susu ASI itu secara tidak langsung, seperti yang disediakan melalui bank ASI itu, norma kemahramannya menjadi tidak berlaku. Pendapat ini berasas pada hadits Nabi saw yang menyebutkan, "Laa tuharrimul-masshotu wal-masshotaani. Tidaklah mengharamkan (karena susuan) satu hisapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450). Dalam hadits itu disebutkan al-masshotu yang secara harfiah berarti mengisap susu alias menyusu, dengan mengisap langsung ke puting susu ibu yang menyusukan. Bukan meminum (susu), yang dalam bahasa Arabnya syariba-yasyrobu.

Sedangkan meminum susu dari bank ASI, tidak mengisap susu secara langsung ke puting susu ibu yang menyusukan. Tetapi bayi meminum ASI itu melalui gelas, alias dengan menggunakan botol minum untuk bayi.

Selain itu, berasas perkataan Aisyah disebutkan, “Yang pernah diturunkan dalam Al-Qur'an adalah bahwa sepuluh kali persusuan menyebabkan adanya hubungan mahram, kemudian perihal itu dihapus menjadi lima kali persusuan. Kemudian Nabi SAW wafat dan keadaan tetap seperti itu.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi dan kitab Jami’-nya).

Hukum yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan jika kurang dari lima susuan, beralasan dengan hadits ‘Aisyah yang menyebut di-mansukh-kannya (dihapus) norma penyusuan yang sepuluh menjadi lima: “Dahulu Al-Qur’an turun menyebut sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.” Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin az-Zubair, asy- Syafi‘i, dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad. (al-Umm, 5/26—27, Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480—481, Subulus Salam, 3/331—332, Nailul Authar, 6/363)

Al-Imam asy-Syafi‘i berkata, “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman selain lima kali susuan yang terpisah.” (al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hazm rahimahullah dalam al-Muhalla (10/9).

Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan yang nyaris sama ketika menjelaskan ucapan Abul Qasim al-Khiraqi, “Penyusuan yang tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram lantaran nasab) adalah lima kali penyusuan alias lebih.” Dan sumber penyusuan (ASI) itu adalah dari seorang ibu yang sama. Sedangkan jika dari Bank ASI, sangat boleh jadi ASI-nya dari beberapa (banyak) ibu yang berbeda-beda. 

Adapun corak satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas alias kenyang lampau dia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu dia berakhir sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main alias menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan. (al-Umm, 5/27). Dan sebagian ustadz seperti Ibnu Hazm membatasi hanya air susu yang dihisap langsung dari tetek dengan berpegang pada makna menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ustadz lebih kuat, lantaran yang krusial air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, gimana pun langkah si bayi meminum air susu tersebut. (Fathul Bari, 9/148, al-Muhalla, 10/7).

Wallahu a’lam.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join organisasi KincaiMedia Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(pri/pri)

Selengkapnya