
Kincai Media – Qunut Subuh merupakan salah satu sunnah yang dikenal luas di kalangan umat Islam, terutama pengikut ajaran Syafi’i. Namun, sering muncul pertanyaan: gimana norma jika seseorang lupa membaca Qunut Subuh? Apakah shalatnya tetap sah? Dan apakah dia kudu melakukan sujud sahwi sebagai pengganti?
Dalam ajaran Syafi’i, Qunut Subuh termasuk dalam kategori sunnah ab’adl, ialah bagian sunnah dalam shalat yang andaikan ditinggalkan lantaran lupa, maka dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi.
Hal ini berbeda dengan sunnah hai’ah yang tidak disyariatkan sujud sahwi jika ditinggalkan. Artinya, posisi Qunut Subuh tidak setara dengan rukun shalat, namun mempunyai tempat krusial yang menuntut pengganti jika terlupa.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab menyatakan bahwa Qunut Subuh dilakukan setelah i’tidal pada rakaat kedua, dan jika ditinggalkan lantaran lupa, maka dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi sebelum salam. Jika tidak melakukan sujud sahwi, maka shalatnya tetap sah, namun terluput dari kesempurnaan.
Syekh Salim bin Sumair al-Hadlrami dalam Safinah an-Naja menjelaskan empat karena disyariatkannya sujud sahwi. Ia menulis:
أسباب سجود السهو أربعة. الأول ترك بعض من أبعاض الصلاة أو بعض البعض…
“Hal-hal yang menyebabkan sujud sahwi ada empat hal. Pertama, meninggalkan sebagian dari salah satu sunnah ab’adl shalat alias bagian dari sebagian sunnah ab’adl…”
(Safinah an-Naja, hlm. 43)
Dengan merujuk pada keterangan ini, maka lupa tidak membaca Qunut Subuh tergolong ke dalam karena pertama, ialah meninggalkan sebagian dari sunnah ab’adl. Maka, sangat dianjurkan untuk sujud sahwi sebagai corak penyempurna shalat.
Penjelasan lebih lanjut mengenai sebab-sebab sujud sahwi juga disebutkan dalam Hasyiyah al-Bujairimi:
وأسبابه خمسة ، أحدها ترك بعض .ثانيها : سهو ما يبطل عمده فقط…
“Sebab-sebab sujud sahwi ada lima. Salah satunya adalah meninggalkan sunnah ab’ad…” (Hasyiyah al-Bujairimi, Juz 4, hlm. 495)
Dari penjelasan tersebut, maka Qunut Subuh yang ditinggalkan secara tidak sengaja, alias apalagi lantaran tidak tahu hukumnya, tetap tidak membatalkan shalat. Namun, meninggalkannya menyebabkan kekurangan dalam kualitas ibadah tersebut.
Adapun jika seseorang secara sengaja meninggalkan Qunut Subuh, maka perihal itu tetap tidak membatalkan shalat, namun dia kehilangan sunnah muakkadah dalam ibadahnya. Jika dia meninggalkannya tanpa karena syar’i, maka dia berdosa lantaran menyepelekan bagian krusial dari tata langkah shalat.
Syekh Abu Abdurrahman Rajab Nuri dalam Dalil al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj juga mempertegas bahwa sujud sahwi adalah sunnah muakkadah yang berfaedah menutup kekurangan shalat:
سجود السهو سنة مؤكدة ولو في نافلة ما عدا صلاة الجنازة وهو دافع لنقص الصلاة
“Sujud sahwi tergolong sunnah muakkad, apalagi dalam shalat sunnah, selain shalat jenazah. Sujud sahwi ini berfaedah mencegah kekurangan dalam shalat.”
(Dalil al-Muhtaj, Juz 1, hlm. 129)
Dalam praktiknya, sujud sahwi dilakukan dua kali setelah tasyahud akhir dan sebelum salam. Ini adalah corak penyempurna ibadah atas sesuatu yang kurang alias keliru lantaran lupa. Maka, dalam konteks tidak membaca Qunut Subuh, sujud sahwi menjadi rekomendasi kuat, bukan kewajiban.
Perlu juga ditekankan bahwa bagi pemimpin shalat yang meninggalkan Qunut, makmum tidak perlu membatalkan shalat alias mengulangnya. Cukup mengikuti imam, dan jika pemimpin sujud sahwi, makmum pun mengikutinya. Jika tidak, maka tidak berdosa.
Kesimpulannya, norma tidak membaca Qunut Subuh lantaran lupa tidak membatalkan shalat, dan tidak mewajibkan sujud sahwi, namun disunnahkan sebagai corak kehati-hatian dan penyempurna ibadah.
Sikap ini mencerminkan ruh fiqh Ahlussunnah wal Jama’ah yang moderat, toleran, dan tidak terburu-buru dalam membid’ahkan alias menyalahkan praktik ibadah orang lain.