Investasi Masih Jadi Tantangan Industri Telekomunikasi Indonesia

Feb 10, 2025 03:00 PM - 1 bulan yang lalu 25888

KincaiMedia, Jakarta – Industri telekomunikasi di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas jasa internet, terutama dalam sektor mobile broadband. Hal ini disebut lantaran beberapa faktor.

Salah satu aspek utama yang memengaruhi kualitas jasa adalah kepadatan jaringan. Semakin padat jaringan, semakin baik jasa yang dapat diberikan oleh operator. Namun, membangun jaringan yang lebih padat memerlukan investasi besar, yang menjadi tantangan tersendiri di tengah kondisi industri yang tetap belum sehat.

Menurut Rudi Purwanto, Chairman of Working Group Spectrum ATSI dalam kegiatan Selular Business Forum yang membahas jaringan di Indonesia pada Senin (10/02/2025), saat ini, rasio Beban Administrasi dan Perizinan (BAP) gelombang terhadap pendapatan kotor operator berada di nomor 12,2%.

BACA JUGA:

  • 10 Rekomendasi ATSI Soal Penerapan Aturan IMEI
  • Saran MASTEL Supaya Indonesia Menjadi Digital Hub Asia

“Angka ini mencerminkan tingginya beban spektrum gelombang dibandingkan dengan pendapatan mereka. Idealnya, rasio ini berada di kisaran 8-10% agar industri dapat beraksi dengan lebih sehat,” ujar Rudi.

Salah satu hambatan utama yang dihadapi oleh operator adalah nilai spektrum gelombang yang terus meningkat. Biaya ini menjadi beban besar bagi operator yang kudu tetap berinvestasi dalam pengembangan prasarana jaringan.

Kenaikan nilai spektrum terjadi akibat parameter dalam formula Biaya Hak Penggunaan (BHP) gelombang yang terus meningkat setiap tahun, dengan rata-rata kenaikan sebesar 4,7-5% dalam lima tahun terakhir.

Pemerintah sendiri berencana melelang beberapa spektrum gelombang baru dalam waktu dekat, termasuk 1.4 GHz yang menjadi sorotan utama lantaran potensinya dalam meningkatkan kapabilitas jaringan dan mengurangi latensi.

Meskipun spektrum 1.4 GHz dianggap sebagai solusi potensial, ada beberapa tantangan yang tetap kudu dihadapi. Salah satunya adalah kesiapan ekosistem teknologi. Saat ini, spektrum ini belum didukung oleh vendor utama seperti Huawei, ZTE, Nokia, dan Ericsson, sehingga perangkat yang kompatibel tetap dalam tahap pengembangan.

Proses ini diperkirakan memerlukan waktu hingga 1,5 tahun sebelum ekosistem betul-betul siap digunakan. Selain itu, ada perbedaan dalam penerapan teknologi untuk spektrum ini. Jika menggunakan VDI RedCap, misalnya, kecepatan yang dapat dicapai hanya berkisar 100-150 Mbps dengan latensi yang lebih tinggi dibandingkan standar 5G penuh.

Rencana pemerintah untuk melelang spektrum ini pada Maret alias April 2026 juga menimbulkan akibat tersendiri. Jika lelang dilakukan sebelum ekosistem siap, pemenang lelang bisa mengalami kesulitan dalam memenuhi komitmen pembangunan lantaran keterbatasan perangkat yang tersedia.

Risiko lainnya adalah spektrum tidak dapat digunakan secara optimal, yang dapat mengakibatkan operator terkena hukuman akibat kandas memenuhi sasaran pembangunan. Beberapa pihak menyarankan agar lelang spektrum 1.4 GHz ditunda hingga Juni 2026 agar perangkat yang mendukungnya sudah tersedia secara luas.

Untuk menciptakan industri telekomunikasi yang lebih sehat, diperlukan beberapa langkah strategis. Salah satunya adalah normalisasi nilai spektrum gelombang dengan melakukan kajian terhadap nilai K alias nilai dasar spektrum agar lebih sejalan dengan pendapatan operator.

“Targetnya adalah menurunkan rasio BAP gelombang terhadap pendapatan kotor menjadi 8-10% agar operator mempunyai elastisitas lebih besar dalam berinvestasi di prasarana jaringan,” ungkap Rudi.

Selain itu, Rudi pun menekankan bahwa waktu lelang spektrum perlu disesuaikan dengan kesiapan ekosistem. “Jika spektrum dilelang dalam kondisi di mana ekosistem belum siap, ada kemungkinan spektrum tidak dapat digunakan secara optimal, sehingga operator kesulitan dalam memenuhi komitmen pembangunan,” tegasnya.

Pemerintah juga dapat mendorong pemanfaatan prasarana yang sudah ada, seperti fiber optic dan jaringan eksisting, untuk meningkatkan konektivitas di beragam daerah. Program seperti home pass menjadi home connected perlu dipercepat agar akses internet lebih merata di seluruh daerah Indonesia.

Secara keseluruhan, industri telekomunikasi Indonesia menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas jasa internet. Kebutuhan bakal spektrum baru seperti 1.4 GHz, 700 MHz, 2.6 GHz, dan 26 GHz semakin mendesak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital.

Namun, strategi pelelangan spektrum kudu dilakukan secara jeli agar tidak membebani operator dan memastikan spektrum dapat dimanfaatkan secara optimal.

BACA JUGA:

  • Telkomsel Dorong UKM Naik Kelas Melalui Program DCE ke-4
  • Kolaborasi Lintas Sektor: Mewujudkan Indonesia Digital Menuju Asta Cita

Dengan penyesuaian nilai spektrum, normalisasi nilai K, serta penundaan lelang hingga ekosistem siap, industri telekomunikasi dapat bergerak menuju kondisi yang lebih sehat. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat mempercepat transformasi digital dan meningkatkan daya saing industri telekomunikasi di tingkat global. [FY/IF]

Selengkapnya