KincaiMedia,JAKARTA -- Indonesia Zakat Watch (IZW) mengecam keras penyalahgunaan istilah “uang zakat” dalam skandal korupsi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Modus ini terungkap ketika dewan LPEI meminta jatah dari debitur sebesar 2,5 persen hingga 5 persen dan menyebutnya sebagai duit zakat.
IZW menilai praktik ini merupakan corak gratifikasi yang dikaburkan dengan dalih keagamaan.
Koordinator IZW, Barman Wahidatan Anajar menegaskan, penggunaan istilah amal dalam praktik terlarangan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pelecehan terhadap nilai amal sebagai instrumen kesejahteraan sosial.
Menurut Barman, ini bukan hanya soal korupsi, tetapi juga masalah transparansi dan integritas di lembaga negara. Jika istilah duit amal digunakan sembarangan dalam laporan internal maupun penggunaannya, kata dia, bisa muncul kesalahpahaman dan kecurigaan bahwa biaya amal betul-betul diselewengkan.
"Sehingga menciptakan misleading ke publik dan tentu berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengelolaan biaya amal yang sah," ujar Barman dalam siaran pers yang diterima KincaiMedia ,Selasa (4/3/2025).
Menurut dia, dalam norma Islam dan izin negara, amal mempunyai patokan ketat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PSAK 109 (2022), amal hanya boleh dikelola oleh lembaga resmi seperti BAZNAS alias LAZ yang berizin.
Dalam kasus LPEI, istilah amal justru digunakan untuk menutupi transaksi ilegal, sehingga menyesatkan publik dan berpotensi membuka ruang penyalahgunaan biaya lebih luas.
“Ini adalah modus baru dalam praktik korupsi. Menggunakan istilah amal untuk menyamarkan gratifikasi bukan hanya manipulatif, tetapi juga menyesatkan publik dan melecehkan prinsip amal yang sesungguhnya. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi celah bagi beragam corak penyalahgunaan biaya di masa depan,” kata Barman.
IZW juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap biaya sosial di lembaga negara dan perusahaan. Tanpa izin yang jelas, menurut Barman, modus seperti ini dapat berkembang menjadi praktik penyalahgunaan biaya yang lebih luas.
Dengan munculnya kasus ini, menurut dia, pihak-pihak mengenai perlu membincangkan masalah ini dengan serius, dengan mengevaluasi izin dan pengawasan yang ada. Karena, kata dia, masalah ini dapat menjadi laten apalagi bisa jadi praktiknya sudah ada sejak lama, hanya terbongkar melalui kasus LPEI ini.
Untuk mencegah kasus serupa, IZW mendesak pemerintah dan otoritas mengenai untuk segera menutup celah penyalahgunaan baik dalam izin maupun impementasi ini dengan langkah konkret.
Barman mengatakan, pemerintah kudu menetapkan patokan bahwa amal hanya boleh dicatat dan digunakan sesuai izin resmi. Sementara, pejabat yang menyamarkan gratifikasi dengan istilah amal kudu diproses norma sesuai patokan yang berlaku.
Selain itu, menurut dia, perusahaan dan lembaga negara wajib mencatat biaya sosial secara transparan dan akuntabel sesuai dengan standar akuntansi dan peraturan finansial negara.
"Perusahaan alias lembaga negara yang mau menyalurkan amal bisa melalui lembaga yang telah berizin agar penggunaannya sesuai dengan aturan," jelas Barman.
Dia menambahkan, tanpa izin dan pengawasan yang lebih ketat, modus seperti ini bakal terus berkembang dan menakut-nakuti integritas pengelolaan biaya sosial di Indonesia.
"Pemerintah kudu segera bertindak agar istilah amal tidak lagi digunakan sebagai tameng untuk praktik korupsi terselubung," ucap Barman.