Kenangan Berpuasa 20 Jam, Sahur Di Laut Arab, Berbuka Di Kampungnya Mbappe

Mar 04, 2025 04:37 PM - 1 minggu yang lalu 9397

Oleh: Israr Itah, jurnalis KincaiMedia

KincaiMedia, Setiap datang Ramadhan, pembicaraan yang kerap muncul adalah suasana menjalankan ibadah puasa di bagian bumi lain. Salah satunya, lama puasa yang lebih lama dari negara kita. Bagaimana sih rasanya? Berat alias tidak? Begitu biasa yang tercetus di akal kita yang biasa berpuasa di kisaran 12 sampai 13 jam ini.

Tahun ini, umat Islam di Indonesia menjalankan ibadah puasa selama 13,5 jam. Namun di negara seperti Islandia alias Greenland, rentang waktu menahan haus dan laparnya bisa mencapai 17 jam ketika mendekati Idul Fitri. Tidak seperti di Indonesia, di Eropa sana, waktu shalat berubah sigap setiap hari, yang ikut memengaruhi lama puasa.

Lantas, gimana rasanya menjalankan ibadah puasa di negara lain, yang minoritas Muslim, Anda bukan penduduk yang sudah menetap lama di sana, serta lama tak makan dan minum lebih panjang dibandingkan Indonesia? Alhamdulillah, saya pernah merasakannya pada 2019 lampau waktu berjamu ke Kota Paris. Ketika itu, saya berpuasa sekitar 20 jam saat baru tiba dan tiga hari berikutnya selama sekitar 16 jam di "kampungnya" Kylian Mbappe.

Rasanya? Biasa saja. Bisa jadi lantaran cuaca saat itu cukup dingin yang membantu saya tak berkeringat meskipun lebih banyak beraktivitas dibandingan saat Ramadhan di Indonesia. Boleh jadi juga lantaran saya terlalu menikmati perjalanan saya di tempat yang untuk kali pertama saya kunjungi. Pemandangan baru sudut-sudut Kota Paris membuat tak begitu merasakan lapar dan haus. Mungkin.

Saya berangkat pada Kamis, 16 Mei 2019, pukul 00.40 awal hari WIB dari Jakarta menuju Doha, Qatar. Saya baru menyantap sahur sekitar pukul 06.30 WIB di atas pesawat. Itu berasas pemberitahuan dari pramugari. Yang saya ingat, pesawat sudah mulai memasuki Laut Arab berasas rute peta yang terpampang di layar monitor di bangku penumpang.

Pukul 11.20 WIB, setelah transit selama dua jam, saya melanjutkan perjalanan dari Doha menuju Paris yang menyantap waktu sekitar enam jam.

Tiba di Paris, saya disambut cuaca dingin sekitar 16 derajat Celcius, plus info bahwa waktu berbuka di sana adalah pukul 21.27 alias Jumat, 17 Mei awal hari pukul 02.27 WIB. Berarti, saya kudu berpuasa sekitar 12,5 jam di pesawat plus transit, ditambah 7,5 jam di Kota Paris yang dingin. Totalnya 20 jam!

Awalnya sempat kaget juga. Namun malu rasanya tidak berpuasa, meskipun saya dapat menggunakan opsi sebagai musafir. Yang paling utama, saya tak mau direpotkan untuk mengganti puasa setelah Ramadhan. Jadilah saya membulatkan tekad untuk tetap berpuasa.

Dengan kondisi capek perjalanan jauh, saya mendarat di Terminal 1 Bandara Charles de Gaulle, Paris sekitar pukul 13.15 waktu Paris. Sekitar pukul 14.00, saya sudah menunggu Roissybus dari airport dengan tujuan Opera Garnier, gedung pagelaran opera di Paris. Tiket bus saya beli di vending machine dengan biaya 12 euro. Hanya menunggu sekitar lima menit, saya sudah duduk di bus yang mirip dengan Transjakarta ini.

Butuh waktu sekitar separuh jam lebih untuk sampai di Geduang Opera Garnier. Saya sengaja memilih bus agar bisa melihat-lihat suasana Kota Paris. Rutenya melalui kampus Universitas Sorbonne, yang melekat di pikiran saya berkah novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata,

Menurut petunjuk arah yang saya terima, saya kudu menyambung naik Metro, kereta bawah tanah di Paris, setelah tiba di Gedung Opera Garnier. Metro itu bakal mengantarkan saya ke Boulougne Billancourt, salah satu kotamadya--sebut saja seperti itu--di pinggiran barat Kota Paris. Kalau patokannya Menara Eiffel, tempat saya menginap di salah satu hotel di Boulougne Billancourt hanya berjarak sekitar 6,8 km.

Selengkapnya