Keutamaan Selawat Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam

Jan 02, 2025 12:00 PM - 1 bulan yang lalu 48946

Shalawat kepada Nabi merupakan perintah Allah

Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran,

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah Anda untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

Shalawat kepada Nabi merupakan tanda cinta kepada beliau

Perkara yang ma’ruf bahwa seorang yang tengah jatuh cinta bakal senantiasa mengingat-ingat kekasihnya. Lisannya selalu memuji, menyanjung, dan menyebut kebaikan-kebaikan sang kekasih. Seorang penyair mengatakan,

أريد لأنسى ذكرها فكأئما * تمثل لي لينى بكل سبيل

Donasi Website KincaiMedia

Aku mau tak mengingatnya, namun justru seolah-olah

Laila terbayang di hadapanku di setiap jalan

Maka hendaknya seorang yang menyatakan dirinya cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau.

Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Adalah Rasulullah, andaikan beliau telah sampai pada dua pertiga malam, beliau bangun lampau berseru,

(يَا أَيُّهَا النَّاسُ ! اذْكُرُوا اللهَ اذْكُرُوا الله جَاءَتِ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيْهِ جَاءَ المَوْتُ بِمَا فِيْهِ) قَالَ أُبَيٌّ : قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي؟ فَقَالَ (مَا شِئْتَ) قُلْتُ : الرُّبُعَ ؟ قَالَ (مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ) قُلْتُ : فَالنِّصْفَ؟ قَالَ (مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ) قُلْتُ : فَالثَّلُثيْنِ ؟ قَالَ (مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ) قُلْتُ: أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا؟ قَالَ (إِذَا تُكْفى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ)

‘Wahai sekalian manusia! Berdzikirlah kepada Allah! Berdzikirlah kepada Allah! Telah datang tiupan pertama yang mengguncangkan alam. Tiupan pertama itu bakal diiringi oleh tiupan yang kedua. Telah datang kematian dengan segala kedahsyatannya. Telah datang kematian dengan segala kedahsyatannya.’ Ubay bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya bakal memperbanyak selawat kepadamu, lampau berapa bagian dari salat malamku kudu saya sisakan untuk membaca selawat kepadamu?’ ‘Terserah keinginanmu’, jawab beliau.

Aku bertanya, ‘Bagaimana jika seperempatnya?’ Beliau menjawab, ‘Terserah keinginanmu, namun jika Anda tambah, niscaya itu lebih baik bagimu.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana jika setengahnya?’ Beliau menjawab, ‘Terserah keinginanmu, namun jika Anda tambah lagi, niscaya itu lebih baik bagimu.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana jika dua pertiganya?’ Beliau menjawab, ‘Terserah keinginanmu, namun jika Anda tambah lagi, niscaya itu lebih baik bagimu.’ Aku berkata, ‘Kalau begitu, saya habiskan seluruh waktu salat malamku untuk membaca selawat kepadamu.’ Beliau bersabda, ‘Dengan demikian, segala keinginanmu (terhadap kemaslahatan bumi dan akhirat) dipenuhi dan Allah bakal mengampuni dosa-dosamu.” [Tuhfatul Ahwadzi (VII/152), At-Tirmidzi (2457) Shahih, lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi (1999)]

Dari Al Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ، ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ. وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang kikir adalah orang yang jika namaku disebut di hadapannya, kemudian dia tidak mau berselawat kepadaku.” Abu Sa’id berkata, “(Dengan lafazh): Lalu dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. Ahmad (I/201)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ. [وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ شَهْرُ رَمَضَانَ، ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ], وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ

“Celakalah seseorang yang ketika namaku disebut di hadapannya, dia tidak membaca selawat kepadaku. Celakalah seseorang yang telah memasuki bulan Ramadan, lampau bulan Ramadan itu berlalu, sementara dosa-dosanya belum sempat diampuni. Dan celakalah bagi seseorang yang kedua orang tuanya tetap ada dalam keadaan tua renta, lampau tidak dia jadikan (ajang berbakti) kepada keduanya sebagai sarana masuk Surga.” (HR. At-Tirmidzi no. 3545)

Baca juga: Mengenal Pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

Keutamaan shalawat Nabi

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan empat puluh untung yang dapat diperoleh seseorang dari berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam kitab beliau ‘Jala’ul Afham fi Fadhlish Shalati was Salami ‘ala Muhammadin Khairil Anam’, sepuluh di antaranya adalah:

1) Melaksanakan perintah Allah.

2) Menyertai Allah dalam berselawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kendati maksud dua shalawat ini berbeda. Shalawat kita untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berarti angan dan permohonan (agar Allah menambah sanjungan dan kemuliaan bagi beliau), sementara shalawat Allah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermakna sanjungan dan pemuliaan, seperti telah dijelaskan.

3) Menyertai malaikat dalam berselawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

4) Memperoleh sepuluh shalawat dari Allah bagi orang yang berselawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam satu kali.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Siapa saja yang berselawat untukku satu kali, maka Allah berselawat untuknya sepuluh kali.” [HR. Muslim (408), Abu Dawud (1530), At-Tirmidzi (485), An-Nasa’i (III/50), dan Ibnu Hibban (893, 894). At-Tirmidzi mengatakan, “Hadis hasan shahih.”]

5) Allah mengangkatnya sepuluh derajat lebih tinggi (untuk setiap shalawat).

6) Allah menuliskan sepuluh kebaikan untuknya (untuk setiap shalawat).

7) Allah menghapuskan sepuluh keburukannya (untuk setiap shalawat).

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan sebuah sabda dari Abu Thalhah Al-Anshari, dia berkata, “Pada suatu hari, di saat pagi menjelang, Rasulullah tampak berseri-seri. Di wajahnya tampak raut kegembiraan. Para sahabat bertanya-tanya, ‘Wahai Rasulullah! Pagi ini engkau begitu berseri-seri. Terlihat di wajahmu raut kegembiraan?’ Beliau menjawab,

أَجَلْ أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي عز وجل فَقَالَ مَنْ صَلّى عَلَيْكَ مِنْ أُمَّتِكَ صَلَاةً كَتَبَ اللهُ لَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَمَحَا عَنْهُ عَشْرَ سَيِّئَاتٍ وَرَفَعَ لَهُ عَشْرَ دَرَجَاتٍ وَرَدَّ عَلَيْهِ مِثْلَهَا

“Tentu saja, telah datang kepadaku seorang Malaikat utusan Rabbku. Ia berkata, ‘Barangsiapa yang berselawat kepadamu dari kalangan umatmu sebanyak satu kali saja, niscaya Allah bakal menuliskan untuknya sebanyak sepuluh nilai kebajikan, menghapus darinya sebanyak sepuluh nilai kejelekan, dan mengangkat untuknya sepuluh derajat. Dan (Allah) menjawabnya dengan perihal yang sama.” (HR. Ahmad IV/29, hasan lihghairihi, lihat Shahihut Targhib wat Tarhib, 1661)

8) Besar angan harapan dikabulkan andaikan diawali dengan shalawat. Sebab shalawat membawa naik angan sampai di hadapan Rabb semesta alam, sementara sebelum itu angan terkatung-katung di antara langit dan bumi.

Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ رَجُلًا يَدْعُوْ فِي صَلَاتِهِ لَمْ يَحْمَدِ اللهُ، وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «عَجَّلَ هَذَا»، ثُمَّ دَعَاهُ، فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ: «إِذَا صَلَّ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأُ بِتَحْمِيْدِ رَبِّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ يَدْعُوْ بَعْدُ بِمَا شَاءَ»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seseorang bermohon dalam salatnya, dia tidak memuji Allah dan tidak berselawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Orang ini tergesa-gesa.’ Kemudian beliau memanggilnya. Lalu beliau berfirman kepadanya alias kepada orang selainnya, ‘Apabila salah seorang kalian salat, hendaknya dia memulai dengan memuji Rabbnya dan menyanjung-Nya, kemudian berselawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu memohon apa yang dia inginkan.” [HR. Ahmad (VI/18), Abu Dawud (1481), An-Nasa’i (III/44), dan At-Tirmidzi (3477)]

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوْفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا يَصْعَدُ مِنْهُ شَيْءٌ حَتَّى تَصَلِّيَ عَلَى نَبِيِّكَ صلى الله عليه وسلم

“Sesungguhnya angan itu terhenti di antara langit dan bumi, tak sesuatu pun darinya naik (kepada Allah) sebelum engkau berselawat untuk Nabimu shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 486)

9) Shalawat adalah karena memperoleh syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik disandingkan dengan permintaan wasilah untuk beliau alias tidak disandingkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis, Dari Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari, dia mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَأَنْزِلْهُ الْمَقْعَدَ الْمُقَرَّبَ عِنْدَكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي

“Siapa mengucapkan, ‘Ya Allah, limpahkan selawat untuk Muhammad dan tempatkan beliau di tempat yang dekat di sisi-Mu pada hari kiamat.’ Ia wajib mendapat syafaatku.” [HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (V/4480)]

10) Shalawat adalah karena pemaafan dosa-dosa, seperti telah disebutkan.

Waktu spesial untuk membaca shalawat

  1. Ketika tasyahud akhir;
  2. Saat tasyahud awal;
  3. Akhir angan qunut;
  4. Saat salat jenazah setelah takbir kedua;
  5. Dalam khotbah;
  6. Setelah menjawab seruan muazin dan ketika iqamah;
  7. Saat berdoa;
  8. Ketika masuk dan keluar masjid;
  9. Di atas bukit Shafa dan Marwah;
  10. Ketika orang-orang berkumpul sebelum berpisah;
  11. Ketika menyebut Rasulullah;
  12. Ketika selesai talbiyah;
  13. Saat menyentuh Hajar Aswad;
  14. Ketika berdiri di atas makam beliau shallallahu ‘alaihi wasallam;
  15. Apabila pergi ke pasar, mendatangi undangan alias semacamnya;
  16. Apabila bangun dari tidur malam;
  17. Selepas khatam Al-Quran;
  18. Pada hari Jumat;
  19. Saat bangkit dari duduk;
  20. Saat melewati masjid alias melihatnya;
  21. Saat didera kesedihan, kesusahan, dan saat memohon ampunan;
  22. Saat menulis nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam;
  23. Pembukaan serta penutup mengajar dan semacamnya;
  24. Permulaan dan penghujung siang;
  25. Setelah melakukan dosa dan mau bertobat;
  26. Ketika ditimpa alias takut tertimpa kefakiran dan kepapaan;
  27. Ketika laki-laki meminang wanita;
  28. Ketika bersin;
  29. Setelah wudu;
  30. Saat masuk rumah;
  31. Setiap tempat berkumpul untuk mengingat Allah;
  32. Apabila lupa sesuatu dan mau mengingatnya;
  33. Saat kebutuhan menghampiri seorang hamba;
  34. Ketika telinga berdengung;
  35. Pada akhir salat;
  36. Ketika menyembelih;
  37. Saat salat di selain tasyahud;
  38. Sebagai pengganti infak bagi orang yang tidak mempunyai kekayaan alias orang yang sedang dalam kesulitan;
  39. Saat menjelang tidur;
  40. Saat memulai ucapan baik yang penting;
  41. Saat salat Ied.

Barangsiapa yang mau memandang dalil-dalilnya secara terperinci, dapat merujuk kepada kitab Ibnul Qayyim rahimahullah yang telah disebutkan sebelumnya.

Redaksi shalawat yang paling sempurna

Kita telah mengetahui bahwa shalawat kepada Nabi merupakan perintah Allah dan merupakan suatu ibadah yang mulia, yang mempunyai keutamaan-keutamaan. Maka menjadi sebuah keharusan bagi seorang muslim dalam mengamalkannya – juga pada semua ibadah lainnya – untuk mengikat diri dengan petunjuk Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam, komitmen dengan sunahnya, mengikuti jalannya, dan menempuh jalurnya. Karena sebaik-baik perilaku, sesempurna-sempurnanya, dan selurus-lurusnya adalah perilaku Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh lantaran itu, hendaknya kita mencukupkan diri dengan redaksi shalawat yang telah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Karena Allah telah mewahyukannya kepada beliau dan merupakan sesuatu yang Dia turunkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilihkannya untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengajarkan kepada beliau tentang perihal itu.

Salah satu lafaz shalawat yang komplit dan sempurna adalah redaksi shalawat Ibrahimiyah yang terdapat dalam sabda masyhur; sabda Abdurrahman bin Abu Laila, dia menuturkan, Ka’ab bin Ujrah menemuiku, lampau berkata,

أَلَا أَهْدِي لَكَ هَدِيَّةً؟ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقُلْنَا: قَدْ عَرَفْنَا كَيْفَ نُسَلّمُ عَلَيْكَ، فَكَيْفَ نُصَلّي عَلَيْكَ؟ فَقَالَ: «قُوْلُوْا: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللهُمَّ بَارِكْ – وَفِي لَفْظِ وَبَارِكْ – عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ»

“Bersediakah engkau saya beri sebuah hadiah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada kami lampau kami bertanya, “Kami telah mengetahui langkah kami mengucapkan salam pada Anda, namun bagaimanakah kami berselawat untuk Anda?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad dan untuk family Muhammad seperti Engkau melimpahkan shalawat untuk family Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung. Ya Allah, limpahkan berkah – dalam redaksi lain: dan limpahkan berkah – untuk Muhammad seperti Engkau melimpahkan berkah untuk family Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung.” [HR. Bukhari (4797), Muslim (406), Abu Dawud (976, 977, 978), At-Tirmidzi (483), An-Nasa’i (III/48), Ibnu Majah (904), dan Ahmad dalam Al-Musnad (IV/ 241, 243)]

Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam yang banyak untuk pemimpin kita; Rasulullah Muhammad, keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka secara ihsan hingga hari kiamat.

Baca juga: Tanda Cinta Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

***

Penulis: Annisa Auraliansa

Artikel KincaiMedia

Referensi:

Jala’ul Afham fi Fadhlish Shalati was Salami ‘ala Muhammadin Khairil Anam (Keutamaan Selawat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Penerbit Al-Qowam Sukoharjo, Cetakan V Ramadan 1425.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedelapan Rabi’ul Awwal 1435/ Januari 2014.

Fiqih Doa dan Dzikir, Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr, Penerbit Griya Ilmu, Cetakan Ketujuh Rabi’ul Awwal 1444/ Oktober 2022.

Selengkapnya