Kewajiban Ikhlas Dan Buah Keikhlasan

Dec 01, 2024 06:00 AM - 1 bulan yang lalu 58948

Pengertian ikhlas

Tentang pengertian ikhlas, para ustadz telah menjelaskannya dengan redaksi yang berbeda-beda, meskipun sebenarnya mempunyai maksud yang sama. Ada yang mengatakan bahwa tulus adalah mengesakan Al-Haqq (Allah) dalam niat dan tujuan ketika melakukan ketaatan. Ada yang mengatakan, tulus adalah membersihkan perbuatan dari memperhatikan pandangan makhluk. Ada yang mengatakan, tulus adalah kesamaan kebaikan perbuatan hamba secara lahir dan batin, sedangkan riya adalah perbuatan lahiriah yang lebih baik dari batinnya. Ada yang mengatakan, tulus adalah melupakan pandangan makhluk dengan terus memperhatikan (pandangan) Al-Khaliq, dan barangsiapa yang memperbagus diri di hadapan manusia dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka dia bakal jatuh dari pandangan Allah.

Di antara perkatan Al-Fudhail tentang perihal ini, “Meninggalkan kebaikan lantaran manusia adalah riya, sedangkan melakukan kebaikan lantaran manusia adalah syirik. Dan tulus adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.” Al-Junaid berkata, “Ikhlas adalah rahasia antara Allah dengan hamba, tidak diketahui oleh malaikat sehingga dia bisa menulisnya, tidak pula diketahui oleh setan sehingga dia bisa merusaknya, dan tidak pula diketahui oleh hawa nafsu sehingga bisa dibelokkan olehnya.” Sebagian ustadz berkata, “Ikhlas adalah engkau tidak mencari saksi atas amalmu selain Allah dan engkau tidak mencari pemberi jawaban selain-Nya.” (Lihat nukilan-nukilan ini dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 2: 348-350)

Dalil-dalil wajibnya ikhlas

Sangat banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, yang menjelaskan tentang wajib dan pentingnya keikhlasan seorang hamba kepada Allah.

Di antaranya, Allah berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal, mereka tidak disuruh, selain agar menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) kepercayaan yang lurus, dan agar mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah kepercayaan yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Allah Ta’ala juga berfirman,

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ  أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah kepercayaan yang bersih (dari syirik).” (QS. Az-Zumar: 2-3)

Dan Allah berfirman,

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya saya diperintahkan agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’ ” (QS. Az-Zumar: 11)

Sedangkan dalam hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Aku adalah Zat yang paling tidak memerlukan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu ibadah yang dalam ibadah itu dia menyekutukan selain-Ku dengan-Ku, maka Aku tinggalkan dia berbareng sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985)

Buah keikhlasan

Ikhlas merupakan perkara yang sangat utama dan mempunyai buah dan kegunaan yang sangat banyak dan agung. Di antaranya:

Pertama: Amal bakal diterima dengan adanya keikhlasan

Telah menjadi sebuah ketetapan dalam hukum Islam bahwa kebaikan ibadah seorang hamba tidak bakal diterima di sisi Allah, selain jika terpenuhi dua syarat padanya: kesesuaian kebaikan dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan niat yang tulus dalam melakukan kebaikan tersebut.

Al-Fudhail bin Iyadh berbincang tentang firman Allah,

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menjadikan meninggal dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara Anda yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)

Beliau berkata, “Yakni, yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab).”

Kemudian orang-orang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa maksud yang paling murni (ikhlas) dan paling tepat (shawab)?”

Beliau berkata, “Sesungguhnya kebaikan itu jika murni (ikhlas) namun tidak tepat (shawab), maka tidak bakal diterima. Demikian pula, jika tepat (shawab) namun tidak murni (ikhlas), juga tidak bakal diterima. Sampai kebaikan itu murni (ikhlas) dan tepat (shawab). Amal yang murni (ikhlas) adalah yang ditujukan hanya untuk Allah, sedangkan yang tepat (shawab) adalah yang sesuai dengan sunah (tuntunan).”

Kemudian beliau membaca firman Allah,

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebaikan yang saleh dan janganlah dia menyekutukan seorang pun dalam beragama kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110) (Madarijus Salikin, 2: 344)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah tidak bakal menerima ibadah selain yang murni untuk-Nya, dan diniatkan untuk mendapatkan wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i no. 3140, disahihkan Al-Albani)

Kedua: Ikhlas menjadikan kebaikan berbobot besar

Hal itu lantaran Allah bakal mengembangkan ibadah orang yang tulus dan membalasnya dengan membesarkan nilainya dan memperbanyak pahalanya. Sehingga pada hari hariakhir kelak, dia bakal mendapatinya lebih besar dari apa yang dia sangka.

Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak ibadah remeh yang menjadi besar lantaran niat, dan sungguh banyak ibadah besar yang menjadi mini lantaran niat.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, 1: 13)

Ketiga: Ikhlas membersihkan hati dari kotoran

Hati manusia sangat mudah berbolak-balik, mempunyai banyak kesibukan, dan mudah beralih dari kebaikan hanya lantaran sedikit gangguan. Maka, tulus bakal memberikan agunan bakal kebersihan hati lantaran keikhlasan bakal mencondongkan hati kepada Penciptanya, ialah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ

“Ada tiga perihal yang hati seorang muslim tidak bakal mempunyai sifat dengki atasnya; mengikhlaskan kebaikan kepada Allah, memberi nasihat kepada penguasa, dan menetapi jamaah kaum muslimin.” (HR. At-Tirmidzi no. 2658, lihat Ash-Shahihah no. 404)

Maksud sabda ini, bahwa tidak bakal tersisa sifat dengki dalam hati selama ada tiga perangai tersebut.

Abu Sulaiman Ad-Darani berkata, “Jika seorang hamba bersikap ikhlas, niscaya bakal terputus darinya banyak was-was dan sifat riya.” (Madarijus Salikin, 2: 350)

Keempat: Ikhlas menjadikan seseorang tenang dan istikamah dalam beramal saleh

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ

“Allah membikin perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih, dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 29)

Dalam ayat ini, Allah memberikan perumpamaan orang yang menyekutukan Allah ibaratkan seorang budak yang dimiliki oleh banyak tuan yang masing-masing tuan itu mempunyai tuntutan yang berbeda, apalagi bisa jadi bertentangan dengan tuan yang lain. Maka, tentu budak yang seperti ini keadaannya tidak bakal mendapatkan ketenangan sama sekali.

Adapun orang yang ikhlas, maka dia ibaratkan seorang budak yang hanya dimiliki oleh seorang tuan saja. Dia tidak menghadapi tuntutan yang beraneka ragam dan saling bertentangan, sehingga dia tidak bakal bingung dalam melaksanakan tugasnya. Dia bakal lebih tenang dari budak yang pertama.

Ketenangan yang didapatkan seorang hamba lantaran keikhlasan, tentu bakal lebih mendukung untuk tetap konsisten dan istikamah dalam melakukan amalan.

Kelima: Orang yang tulus tidak bakal mudah diganggu oleh setan

Tentang perihal ini, Allah Ta’ala telah berfirman,

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ  إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Iblis berkata, ‘Demi kekuasaan-Mu, saya bakal menyesatkan mereka semuanya, selain hamba-hamba-Mu yang mukhlas (ikhlas) di antara mereka.’ ” (QS. Shad: 82-83)

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah menjelaskan tentang orang yang “mukhlas” adalah orang yang Allah pilih lantaran keikhlasan mereka, keagamaan mereka, dan tawakal mereka. (Lihat Taisirul Karimir Rahman, tafsir surah Al-Hijr ayat 40)

Wallahu a’lam.

***

Penulis: Abu Ubaidillah Apri Hernowo

Artikel: KincaiMedia

Selengkapnya