KincaiMedia, MAKKAH -- Di dalam Surat Al A'raf ayat 175 Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membacakan kisah seorang ustadz Yahudi yang berjulukan Bal'am bin Ba'ura yang diberi tugas oleh Nabi Musa untuk menyebarkan kepercayaan Yahudi ke daerah Madyan. Tetapi, dia melepaskan diri dari tugas tersebut dan kemudian diikuti setan sehingga menjadi sesat.
Bal'am bin Ba'ura mendapat sambutan sangat baik dari raja Madyan dengan menyediakan tempat tinggal yang baik, komplit dengan perabot rumah tangga dan seorang pembantu, dan mempersilahkan rehat beberapa lama sebelum melaksanakan tugas dari Nabi Musa.
Dengan kehidupan yang mewah ini dia berubah pendirian dengan mengikuti kepercayaan raja Madyan, dan tidak melaksanakan tugas dari Nabi Musa. Di sini terjadi kerjasama antara ustadz dan umara yang tidak dapat dibenarkan.
Pada ayat berikutnya ialah ayat 176 Allah menjelaskan bahwa orang yang telah dianugerahi pengetahuan kepercayaan dan menguasai ayat-ayat Allah dalam kitab suci, dapat saja hidup sejahtera dan bahagia, tetapi jika berubah pendirian dengan mengutamakan kehidupan yang mewah dan meninggalkan tugas agama, maka berfaedah dia telah memperturutkan hawa nafsu.
Orang itu seperti penjaga rumah, disuruh apa saja selalu menjulurkan lidah dan mengikuti dengan setia segala perintah tuannya. Ulama yang demikian bukan bekerjasama dengan umara dalam posisi yang sama derajatnya, untuk melaksanakan tugas yang sinergis, tetapi seperti hamba dan tuannya yang menentukan segala-galanya yang kudu diikuti dengan setia oleh hambanya.
Kerja sama ini adalah tidak baik, lantaran umara hanya mempergunakan pengaruh dan akomodasi yang dimilikinya untuk memperturutkan kehendak hawa nafsunya, bukan untuk kebaikan masyarakat dan Negara.
Dalam sejarah Islam juga pernah terjadi kerjasama ustadz umara yang tidak baik, ialah ketika Sultan al-Malik al-Zhahir yang berkuasa di pertengahan abad VII Hijriyah meminta seluruh ustadz Syam baik dari Suriah, Libanon, Yordania sampai Palestina, untuk datang membahas pembiayaan perang melawan pasukan Tartar yang telah menghancurkan Bagdad.
Sultan AL Zhahir meminta kepada para ustadz ini untuk membikin fatwa yang membolehkan negara mengambil kekayaan kekayaan rakyat untuk pembiayaan perang yang tidak sedikit. Para ustadz ini dengan sigap sukses merumuskan fatwa tersebut, yang ditulis dan ditandatangani para ustadz Syam.
Tetapi Sultan al-Zhahir tidak puas, lantaran dari para ustadz yang datang tidak terlihat Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Sharaf al-Nawawi, yang lahir di Nawa dekat kota Damaskus pada tahun 631 H (1234 M). Imam Nawawi yang sangat terkenal memang tidak datang, sehingga meragukan keterwakilan seluruh ulama.
Maka Sultan al-Zhahir bertanya, Adakah ustadz lain yang tidak datang di sini? Maka salah seorang ustadz menjawab, Ada, Muhyiddin al-Nawawi yang tidak terlihat di sini.
Sultan kemudian mengutus bawahannya untuk mengundang Imam Nawawi ke istananya di Damaskus. Di balairung kerajaan, setelah mengucapkan selamat datang dan terima kasihnya atas kehadiran Imam Nawawi, Sultan kemudian mengemukakan bahwa telah disepakati fatwa dari sejumlah ustadz yang menyetujui pembiayaan perang dengan kekayaan dari rakyat.
Sultan kemudian meminta support atas fatwa tersebut dari Imam Nawawi, agar lebih kuat lagi. Imam Nawawi yang waktu itu berumur 40 tahun menjawab, "Sultan yang mulia, kami minta maaf, andaikan kami tidak dapat memenuhi permintaan ini." Sultan sangat terkejut dengan jawaban itu, kemudian bertanya, Mengapa Anda berbicara demikian?
Sultan yang merasa sudah bersusah payah menyambut Imam Nawawi di tangga bawah istananya itu betul-betul tidak menyangka jawaban Imam Nawawi demikian.
Imam Nawawi menjawab, Mohon maaf jika Sultan kurang berkenan dengan penjelasan saya ini. Saya mendengar Tuanku mempunyai seribu orang hamba sahaya yang masing-masing mempunyai beberapa kantong emas. Andaikata Tuanku mengambil perhiasan emas dari dua ratus orang saja dari hamba-hamba sahaya wanita milik Tuanku untuk keperluan perang, maka saya bersedia memberi fatwa untuk membenarkan Tuanku mengambil kekayaan rakyat sebagai tambahan jika ada kekurangan dari finansial Negara.
Sultan terdiam mendengar penjelasan Imam Nawawi, yang intinya adalah lakukan dulu pembiayaan dari negara dan dari kekayaan istana sebelum menguras kekayaan rakyat. Bukan kekayaan rakyat dulu yang dikuras dan sama sekali tidak menyentuh kekayaan milik istana.
Tetapi kritik ini tentu sangat menyakitkan hati Sultan. Maka Sultan Malik al-Zhahir langsung marah dan mengusir Imam Nawawi agar keluar dari daerah Damaskus.
Imam Nawawi sudah menduga perihal ini, maka dengan tenang dia keluar dan bersedia menerima dan melaksanakan perintah Sultan. Kemudian Imam Nawawi pulang dan memindahkan pesantren pengajiannya ke luar daerah Damaskus, ialah ke Nawa tempat kelahirannya.
Sepenggal kisah Imam Nawawi ini menjadi kritik ustadz atas kekuasaan umara. Umara perlu diberi tahu bahwa sebagai manusia dia bisa salah, meskipun dia mempunyai otoritas yang wajib dipatuhi, tetapi otoritas ini juga tidak boleh disalahgunakan.