Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2024 menemukan bahwa 1 dari 4 wanita berumur 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan bentuk dan alias seksual dari pasangan dan alias selain pasangan selama hidup.
Tak hanya itu, berasas informasi global, pencapaian Gender Development Index (GDI) Indonesia berada di nomor 0,94 dari skala 0 sampai 1, alias tetap berada di bawah standar global.
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Farid Nila Moeloek (FNM) Society berbareng dengan United Nations Population Fund (UNFPA), didukung oleh Takeda, menyelenggarakan Women National Conference yang bertema “Perempuan Sehat dan Berdaya, Menuju Kesetaraan Global”, di Jakarta, 11 Maret 2025.
Ketimpangan Gender jadi Tantangan
Berbagai informasi menunjukkan bahwa ketimpangan kelamin tetap menjadi tantangan besar, terutama di sektor kesehatan meskipun beragam kemajuan telah dicapai. dr. Maria Endang Sumiwi, MPH, Direktur Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas Kementerian Kesehatan RI, menjelaskan, beberapa kewenangan wanita di Indonesia belum terpenuhi.
“Mulai dari persoalan pemenuhan gizi, akibat penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi, kematian ibu, kesehatan jiwa, serta persoalan kekerasan wanita dan anak. Untuk menanggulangi persoalan tersebut, kita tentu tidak dapat melakukan upaya sendiri, namun melakukan kerjasama lintas kementerian, seperti dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, BKKBN serta beragam lembaga lainnya, termasuk berbareng dengan komponen masyarakat lain seperti pihak swasta dan komunitas,” jelasnya.
Veronica Tan, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia menyatakan, ketika wanita mendapatkan kesempatan yang setara, berkekuatan dalam beragam sektor baik itu pendidikan, ekonomi, maupun politik, maka wanita dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan bangsa.
Saat ini jumlah wanita mencapai 50% dari 280 juta jiwa masyarakat Indonesia. Menurut Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, Sp.M(K), Ketua FNM Society, jumlah ini mencerminkan potensi luar biasa, dan kesenjangan kelamin yang tetap ada perlu segera diatasi.
“Kita kudu memastikan setiap perempuan, di mana pun mereka berada, mempunyai akses yang sama terhadap kesempatan, kesehatan, dan perlindungan. Pemberdayaan wanita bukan hanya tanggung jawab pemerintah alias organisasi tertentu, namun menjadi tugas kita bersama. Dan yang terpenting, perubahan selalu dimulai dari diri sendiri. Saat kita bergerak, kita membawa perubahan bagi lingkungan kita, organisasi kita, dan pada akhirnya, bagi bangsa ini.”
Hak-hak reproduksi dan Kesehatan Perempuan
Sementara itu, Hassan Mohtashami, UNFPA Indonesia Representative, menjelaskan, kesetaraan kelamin mengenai erat dengan kesehatan seksual dan reproduksi dan hak-hak reproduksi. Kesehatan, kesejahteraan dan otonomi wanita berjuntai pada jasa kesehatan seksual dan reproduksi.
“Meskipun telah terjadi banyak kemajuan, tantangan tetap ada. Ketimpangan gender, akses jasa kesehatan yang terbatas, serta kekerasan terhadap wanita tetap menjadi penghalang bagi banyak wanita untuk mencapai potensi penuh mereka,” jelasnya.
Melalui inisiatif seperti Women at the Center Project yang juga dikenal sebagai Perempuan Indonesia Hidup Tanpa Kekerasan (PIHAK), UNFPA terus bekerja untuk memastikan setiap wanita mendapatkan akses jasa kesehatan reproduksi yang kondusif dan berbobot serta bisa menentukan masa depannya sendiri.
Proyek ini merupakan kerjasama dengan Takeda. Akiko Amakawa, Corporate Strategy Officer & CEO Chief of Staff, Takeda Pharmacuticals, menjelaskan, melalui program ini, Takeda memberikan biaya hibah (grant) kepada lima (5) negara ialah Azerbaijan, El Salvador, Madagaskar, Zimbabwe, dan Indonesia. Total biaya hibah yang diberikan adalah sebesar JPY 998 juta alias sekitar USD 7,13 juta.
“Kami percaya bahwa kesetaraan dan pemberdayaan bukan hanya tentang kebijakan, tetapi juga tentang tindakan nyata. Dengan terus bekerja-sama lintas sektor, kita dapat menciptakan perubahan berkepanjangan yang berakibat bagi perempuan, masyarakat, dan generasi mendatang.”
Prof. Nila menambahkan, "Ke depan, kami berambisi semakin banyak pihak yang berdampingan tangan dan berasosiasi dalam sinergi untuk menciptakan wanita yang sehat dan berdaya. Sebab, ketika wanita semakin kuat, bukan hanya dirinya yang maju, tetapi juga ekonomi tumbuh, kesehatan membaik, dan kesejahteraan masyarakat semakin terangkat. Bersama, kita bisa mewujudkan perubahan yang nyata," pungkasnya.*