Lebih Dekat Dengan Syekh Al-albani

Mar 05, 2025 10:14 PM - 1 minggu yang lalu 8565

KincaiMedia, JAKARTA -- Albania merupakan sebuah negara di Benua Eropa dengan jumlah masyarakat Muslim yang signifikan. Bukan hanya tentang perkara demografis, negara yang beribu kota di Tirana itu juga melahirkan sejumlah ustadz kelas dunia.

Di antara para cerdas pandai Muslim dari Albania adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh. Peneliti sabda itu lebih masyhur dengan julukan Syekh al-Albani. Ia lahir pada 16 Agustus 1914 alias 1333 Hijriyah di Ashqodar, ibu kota Albania pada masa lampau.

Keluarganya termasuk kalangan dengan ekonomi pas-pasan. Bagaimanapun, kedua orang tuanya mempunyai latar sebagai penuntut ilmu-ilmu agama.

Ayah al-Albani, Haji Nuh, adalah alumnus lembaga pendidikan ilmu-ilmu hukum di Istanbul. Ketika Ahmad Zagho berkuasa di Albania, Haji Nuh menjadi cemas. Sebab, penguasa tersebut mengubah sistem pemerintahan menjadi sekuler. Maka, Nuh memboyong keluarganya untuk berhijrah dari Albania ke Syam (Suriah), tepatnya Damaskus.

Muhammad Nashiruddin namalain al-Albani pun mengenyam pendidikan dasar di kota tersebut. Mula-mula, dia mendalami penguasaan bahasa Arab pada madrasah yang dikelola Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah. Di sanalah dia terus menempuh studi sampai level ibtidaiyah.

Selanjutnya, al-Albani belajar langsung kepada para syekh terkenal di seputar Damaskus. Disiplin fikih yang dipelajarinya terutama beraliran Hanafi.

Sebagai mata pencaharian, ayahnya bekerja membetulkan arloji. Di sela-sela kesibukannya belajar, al-Albani pun mempelajari keahlian tersebut hingga mahir. Kelak, itulah yang menjadi pekerjaannya di masa dewasa.

Saat berumur 20 tahun, al-Albani muda mulai berfokus pada pengetahuan sabda lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah Al-Manar. Media ini diterbitkan oleh seorang tokoh modernisme Islam, Syekh Muhammad Rasyid Ridha.

Pada tahap-tahap awal studi, al-Albani menyalin sebuah kitab berjudul Al-Mughni'an Hamli al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ishabah min al-Akhbar. Itu karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadis-hadis yang termuat dalam Ihya` Ulumuddin al-Ghazali.

Pada mulanya, Haji Nuh kurang suka dengan pilihan al-Albani menekuni pengetahuan hadis. Bahkan, sang ayah pernah berbicara kepadanya, “Sesungguhnya mengkaji pengetahuan ini adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut).”

Namun, perkataan itu tidak mengubah kecintaan al-Albani terhadap bumi hadis. Pada perkembangan berikutnya, dia tidak mempunyai cukup duit untuk membeli kitab-kitab. Karena itu, dia pun memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah Damaskus. Di samping itu, kerap pula dirinya mengunjungi perpustakaan-perpustakaan lain.

Begitulah, mendalami pengetahuan sabda menjadi kesibukan rutinnya. Sampai-sampai, acap kali al-Albani menutup gerai reparasi jamnya. Ia nyaman berlama-lama dalam Perpustakaan adh-Dhahiriyah.

Dalam sehari, dia bisa menghabiskan waktu hingga 12 jam di sana. Sering hanya membawa sedikit bekal makanan. Tidak pernah rehat menelaah kitab-kitab sabda selain jika waktu shalat tiba.

Akhirnya, kepala instansi perpustakaan tersebut memberikan sebuah ruangan unik di adh-Dhahiriyah untuknya. Bahkan, kemudiaan al-Albani diberi kewenangan untuk membawa kunci perpustakaan.

Dengan demikian, pengkaji sabda ini menjadi lebih leluasa. Dirinya terbiasa datang sebelum kebanyakan visitor lain tiba. Begitu pula, pulangnya lebih belakangan daripada mereka. Rutinitas demikian dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Selengkapnya