Kata Al-Ba’ah ( البَاءَة ) di dalam sabda yang diriwayatkan sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Beliau berbicara bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah dia menikah. Karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, hendaklah dia berpuasa, karena perihal itu dapat meredakan nafsunya.” [1]
Makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) secara bahasa ialah jimak, yang berasal dari kata al-maba’ah ( المباءة ) yang artinya tempat tinggal alias rumah ( المنزِل ), asal muasalnya adalah sebuat tempat berdiam dan berlindung. Seperti contoh kata Maba’atu Al-Ibil ( مباءة الإبل ), maksudnya adalah tempat tinggal unta. Kemudian kata ini dipinjam di dalam janji nikah; lantaran orang yang menikahi wanita, dia bakal memberikan sebuah rumah alias tempat tinggal. [2]
Adapun makna Al-Ba’ah ( البَاءَة ) pada sabda di atas, maka para ustadz berbeda pendapat:
Pendapat pertama: Ditinjau dari sisi bahasa yang artinya jimak, maka makna hadisnya sebagai berikut:
“Barangsiapa di antara kalian yang bisa jimak lantaran bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Namun barangsiapa yang tidak bisa jimak lantaran tidak bisa memenuhi kebutuhan pernikahan, maka wajib berpuasa untuk memutus syahwatnya dan membatasi air maninya, sebagaimana halnya orang yang terpotong testisnya (buah zakar), ialah pengebirian.”
Pendapat kedua: Memperhatikan argumen jimak dan bekal pernikahan. Sehingga istilah Al-Ba’ah dinamakan berasas kewajiban-kewajiban yang melekat pada maknanya. Sehingga makna hadisnya sebagai berikut:
“Barangsiapa di antara kalian yang bisa mencukupi sarana jimak dan bekal pernikahan, seperti mahar dan nafkah, maka hendaknya menikah. Dan siapa saja yang tidak mampu, hendaknya berpuasa untuk menghilangkan (mengendalikan) syahwatnya.” [3]
Maka yang lebih rajih (kuat) makna pendapat kedua ialah Al-Qudrah, yaitu keahlian alias kesanggupan di dalam nafkah pernikahan, bukan semata kesanggupan di dalam jimak [4], lantaran dua argumen berikut:
Pertama: Hadis tersebut ditujukan kepada para pemuda yang bisa jimak; lantaran kebanyakan dan umumnya pemuda, mereka telah mempunyai kekuatan untuk jimak, berbeda dengan orang tua.
Kedua: Karena orang yang tidak bisa jimak, tidak memerlukan puasa untuk menghilangkan syahwatnya. Oleh lantaran itu, yang dimaksud dengan “kesanggupan” dalam sabda di atas adalah kesanggupan menanggung biaya dan nafkah pernikahan, bukan kesanggupan untuk jimak.
Tetapi tidak kenapa andaikan Al-Ba’ah dibawa ke makna yang lebih luas, ialah kesanggupan jimak dan nafkah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah. [5]
Wallahu A’lam
***
Penulis: Junaidi Abu Isa
Artikel: KincaiMedia
Referensi: https://www.ferkous.app/home/?q=fatwa-1007
Catatan kaki:
[1] HR. Bukhari no. 1905, 5065, 5066, dan Muslim no. 1905
[2] An-Nihayah oleh Ibnu Atsir (1: 160), Gharibul Hadits oleh Ibnu Jauzi (1: 89), dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar (9: 108)
[3] Syarhu Muslim oleh An-Nawawi (9: 173), Fathul Bari oleh Ibnu Hajar (9: 108)
[4] Majmu Al-Fatawa oleh Ibnu Taimiyah (6: 32)
[5] Fathul Bari oleh Ibnu Hajar (9: 109)