Melihat Strategi Diplomasi Nabi Dalam Perjanjian Hudaibiyah

Dec 10, 2024 11:37 AM - 2 bulan yang lalu 76691

KincaiMedia– Saat itu setelah perjanjian Hudaibiyah disetujui dan ditandatangani, kaum Muslimin merasa kecewa dengan hasilnya dan menganggapnya sebagai kelemahan dan kekalahan. Keengganan Umar bin Khattab terhadap perjanjian ini dapat dilihat dari sikapnya yang tidak puas, menganggapnya sebagai penghinaan terhadap Islam, Nabi, dan pengikutnya.

Kaum Muslimin pasti tidak menyukai syarat-syarat itu, tetapi mereka tetap tak bersuara lantaran menghormati sikap perdamaian Nabi Muhammad Saw. Karena kemurahan hati dan keluhuran budi Nabi Muhammad saw. dalam menyetujui perjanjian ini, ada sedikit ketidakpuasan di antara pengikutnya. Namun demikian, Nabi Muhammad Saw. meyakinkan mereka bakal pendirian yang betul dan bakal menghasilkan hasil yang baik.

Sebenarnya, pemikiran para sahabat tersebut adalah dasar kekecewaan lantaran perjalanan dari Madinah ke Hudaibiyah yang memerlukan banyak perjuangan bentuk dan kerinduan mereka untuk melakukan umrah tiba-tiba sirna.

Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. mencoba memahami masalah ini dari perspektif yang lebih mendalam, berasas realitas logis yang tidak dapat ditangkap oleh para sahabat pada saat itu. Akibatnya, reaksi para sahabat terhadap kekecewaan itu adalah reaksi emosional semata.

Anda tahu! Perjanjian Hudaibiyah terbukti dapat menciptakan suasana yang tenang dan kondusif sehingga penyebaran Islam dapat berjalan dengan leluasa dan mencapai kemajuan yang pesat. Nabi Muhammad Saw. mengirimkan beberapa pucuk surat kepada raja-raja di beragam negeri dan kepada penguasa Arab di sekitar semenanjung Arabia.

Surat-surat Nabi Muhammad saw. kepada raja dan penguasa untuk memeluk Islam dikirim oleh sahabat-sahabat yang terpilih, lantaran mereka mempunyai keahlian diplomatik dan berbincang dengan baik di daerah yang mereka tuju. Dalam salah satu surat, Nabi Muhammad Saw. membikin stempel bertuliskan tiga kata yang dimulai dengan Muhammad, lampau Rasul, dan kemudian Allah, yang paling tinggi.

Surat-surat itu Nabi ditujukan kepada banyak orang, termasuk Heraclius, kaisar Romawi, Chosroes, Kisra dari Persia, Cyrus, raja Mesir yang dikenal sebagai Muqauqis; Negus, penguasa Abessinia; dan Munzir bin Sawi, penguasa Bahrain.

Lalu gimana sebenarnya strategi diplomasi Nabi dalam perjanjian Hudaibiyah?

Perjanjian Hudaibiyah menunjukkan bahwa, Nabi Muhammad Saw. berupaya meyakinkan tokoh-tokoh Makkah melalui orang-orang netral dan utusan langsung bahwa kehadiran Nabi bukan untuk berperang, bakal tetapi untuk umrah dan menghormati Ka’bah. Para utusan yang dikirim Nabi untuk menjelaskan argumen kehadiran mereka ke Makkah.

Salah satu utusan yang diutus oleh Nabi Muhammad Saw. adalah Khurrasy bin Umayyah al-Khuza’i, yang nyaris dibunuh oleh kaum Musyrikin Makkah. Namun, Umar kemudian menyarankan agar orang lain melakukannya.

Kenapa demikian? Karena orang Musyrikin Quraisy sangat memusuhinya dan dia tidak bakal dilindungi oleh kabilahnya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Inilah mungkin yang menjadi argumen kenapa dia tidak bakal memberikan kelancaran pada pesan yang bakal disampaikan.

Setelah perjuangan dan perundingan yang panjang antara Utsman bin Affan dan kaum Musyrikin Quraisy, akhirnya tersiar bahwa Utsman bin Affan telah dibunuh. Mendengar bakal ha ini, Nabi Muhammad Saw. kemudian membujuk seluruh rombongannya untuk berbaiat sembari berdiri di bawah pohon.

Semua rombongan dikumpulkan oleh Nabi untuk membulatkan tekad dan bersiap menghadapi kaum Musyrikin Quraisy. Semuanya bersalaman dan berjanji setia kepada Nabi dengan semangat yang luar biasa dan ketaatan yang teguh, selain seorang munafik berjulukan al-Jud bin Qais.

Menariknya, apa yang terjadi pada hari Hudaybiyah ketika sahabat Nabi saw melakukan baiat, yang dikenal sebagai “Baiat al-Radwan” alias janji yang dibuat di bawah pohon, yang dihormati secara khusus.

Ini juga sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Jaabir bin Abdullaah, Nabi mengatakan kepada mereka pada hari Hudaybiyah, “Kalian adalah sebaik-baik penunggu bumi, kami seribu empat ratus, dan jika saya menemui Anda hari ini, saya bakal menunjukkan pohon itu kepada Anda.”

Ketika terdengar buletin bahwa Utsman tidak dibunuh, suasana tegang itu tiba-tiba hilang. Tak lama kemudian, Utsman memberi tahu kepada Nabi bahwa orang Musyrikin Quraisy bakal mengirim utusan untuk memeriksa kebenaran bahwa kehadiran Nabi Muhammad Saw. murni hanya untuk berumrah dan beribadah.

Datangnya beberapa utusan

Rupanya, delegasi Budail bin Warqa’ al-Khuzai, utusan pertama Musyrikin Quraisy, percaya bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak bermaksud untuk berperang, melainkan beribadah. Setelah mereka memandang realita di letak rombongan kaum Muslimin, Budail dan rekannya kemudian mengatakan kepada tokoh-tokoh Musyrikin Quraisy bahwa beberapa mencurigainya, karena dia berasal dari suku Khuza’ah, yang selama ini mempunyai hubungan baik dengan Nabi Muhammad Saw.

Merasa laporan Budail kurang memuaskan, Musyrikin Quraisy akhirnya mengirimkan Urwah bin Mas’ud, seorang personil suku Thaqif. Nabi Muhammad Saw. kemudian menjelaskan kepada Urwah sebagaimana dia menjelaskan kepada Budail bin Warqa’.

Meski begitu, Urwah dan salah satu sahabatnya sempat bertengkar, bakal tetapi Nabi Muhammad saw. dapat meredamnya. Bahkan, ketika kembali ke Makkah, Urwah meninggalkan ingatan yang mendalam tentang kepribadian Nabi Muhammad saw. dan sikap sahabatnya yang baik.

Sama. Meski sudah mengirim Urwah, namun rupanya mereka puas bakal laporannya. Akhirnya, orang-orang Musyrikin Quraisy mengirimkan delegasi Hulais bin al-Qamah. Ketika melihatnya datang, Nabi Muhammad Saw. mengatakan kepada para sahabatnya bahwa Hulais adalah orang yang mempunyai rasa keagamaan yang baik. Nabi pun memerintahkannya untuk menggiring unta yang bakal diberikan kepada Hulais untuk dilihat.

Tibalah saat setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw. hanya dengan memandang unta-unta yang digiring untuk qurban, akhirnya Hulais merasa tidak perlu menemui Nabi Muhammad Saw. alias mempelajari maksud dan tujuan perjalanan Nabi dan pengikutnya ke Makkah.

Ia kembali ke tokoh-tokoh Muslim Quraisy dan memberi tahu mereka bahwa Nabi Muhammad Saw. hanya datang untuk beragama dan mengagungkan Ka’bah. Alih-alih menerimanya, beberapa dari mereka tidak senang bakal info Hulais, apalagi mengejeknya sebagai orang gunung yang tolol dan mudah ditipu.

Musyrikin Quraisy mengirim delegasi berikutnya, yang dipimpin oleh Mukriz bin Hafs, yang pada akhirnya melaporkan seperti tiga delegasi sebelumnya. Pada akhirnya, Musyrikin Quraisy mengirim Suhail bin Amr dengan mandat penuh, tetapi Suhail tidak mengabaikan satu syarat yang tidak boleh diabaikan: Muhammad dan rombongan tidak diperbolehkan masuk ke kota Makkah pada tahun ini lantaran argumen apa pun.

Ketika Nabi Muhammad Saw. memandang kehadiran Suhail bin Amr, beliau sangat percaya bahwa mereka bakal menemukan solusi terbaik. Keyakinan ini muncul dari nama utusan Musyrikin Quraisy itu, Suhail, yang seakar dengan kata “sahl”, yang berfaedah mudah, dan beliau bersabda, “Telah dipermudah untuk kalian urusan kalian.” (HR. Ahmad).

Perundingan yang sangat alot

Meskipun perundingan melalui sejumlah utusan alias delegasi melangkah alot, akhirnya tercapai kesepakatan. Nabi Muhammad memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menulis teks perjanjian Hudaibiyah.

Ketika Nabi memerintahkan untuk menulis kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”, Suhail menentangnya dengan berkata, “Saya tidak mengenal apa itu al-Rahman al-Rahim, tapi tulislah “bismikaallahumma”.”

Sahabat-sahabat Nabi yang datang ketika itu menolak dan bersikeras agar “Basmallah” ditulis dengan lengkap. Namun, Nabi Muhammad dengan tegas menyatakan, “Tulislah “bismikaallahumma”, dan katakan, “Inilah keputusan Muhammad.”

Setelah Nabi Muhammad saw. berkata, “Demi Allah, saya adalah Rasulullah, meski kalian mengingkariku tulislah Muhammad bin Abdullah selama kalian membiarkan kami bertawaf di Ka’bah,” Suhail menentang dengan mengatakan, “Seandainya kami mengetahui bahwa engkau adalah Rasulullah, kami tidak menghalangimu berjamu ke Ka’bah dan tidak juga memerangimu.”

Suhail kemudian menyetujui, tetapi bukan tahun ini. Orang Arab kemudian mengatakan bahwa kami dipaksa. Suhail kemudian menyatakan bahwa dia kudu mengembalikan siapapun dari pihak kami yang datang kepadanya, tidak peduli agamanya.

Namun demikian, para sahabat sangat tidak setuju, gimana bisa seorang Muslim dikembalikan kepada kaum Musyrik? Putra Suhail binti Amr, Abu Jandal al-Ashi, yang baru saja kembali dari Mekkah, tiba-tiba muncul dalam keadaan seperti itu. Dia melangkah dengan berat lantaran kedua kakinya dibelenggu.

Suhail lampau berkata, “Ini yang pertama saya tuntut untuk dikembalikan.” Nabi berkata, “Kita belum memutuskan perjanjian.” Kemudian Suhail berkata, “Kalau demikian saya tidak bakal mengikat perjanjian apapun.” Nabi berkata, “Kecualikan ini saja.”

Suhail menolak dan berkata, “Aku tidak setuju.” Nabi kemudian bersabda, “Ayolah perkenankanlah yang ini.” Suhail menjawab, “Tidak. Aku tidak bakal memperkenankan.” Mukriz, yang juga datang dalam rombongan Suhail, berkata, “Tapi dalam realita tidak demikian, Abu Jandal tidak diizinkan berasosiasi dengan kaum Muslim.”

Itu adalah bagian dari proses yang membawa kepada perjanjian Hudaibiyah. Menurut riwayat Bukhari, Suhail bin Amir adalah utusan terakhir yang datang ke Hudaibiyah untuk berjumpa Nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya.

Dia diberi tugas yang sangat ketat dan tidak dapat diubah, dan orang-orang Musyrik Makkah memberitahunya bahwa, dia kudu pergi dari tempat kita tahun ini. Demi Allah, orang-orang Arab tidak boleh berbincang dengan kita tentang kebenaran bahwa itu datang dengan kekerasan.

Menyepakati Perjanjian Hudaibiyah

Hingga pada akhirnya, kedua belah pihak menyepakati Perjanjian Hudaibiyah, yang mencakup sejumlah detail, seperti: pertama, selama sepuluh tahun gencatan senjata, tidak ada permusuhan alias tindakan jelek terhadap kedua pihak.

Kedua, semua orang yang datang ke Nabi dari kaum Musyrik tanpa izin keluarganya kudu dikembalikan ke Mekkah; namun, jika salah satu dari kaum Muslim berbalik dan kembali ke kaum Musyrik, maka dia tidak bakal dikembalikan.

Ketiga, semua orang di antara suku-suku Arab dipaksa untuk mengikat perjanjian tenteram dan berasosiasi dengan salah satu pihak. Kemudian, suku Khuza’ah bekerja sama dengan mengikat janji pertahanan berbareng Nabi Muhammad Saw., dan Banu Bakar memihak kepada kaum Musyrik.

Keempat, tahun ini, Nabi dan rombongan tidak diizinkan untuk masuk kota Makkah. Namun, tahun berikutnya, mereka diizinkan untuk masuk, tetapi hanya untuk tiga hari dan tidak boleh membawa senjata apa pun selain pedang yang tidak dihunus. Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melakukannya dengan betul tanpa penipuan alias penyelewengan. Wallahu a’lam bishawab.

Selengkapnya