ILUSTRASI Perang Shiffin. Konflik antar-sahabat Nabi terjadi sesudah gugurnya khalifah Utsman
KincaiMedia, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku (sahabat), kemudian generasi berikutnya (tabiin), kemudian generasi berikutnya (tabiut tabiin)” (HR Bukhari-Muslim). Hadis itu mengisyaratkan, besarnya pengaruh pendidikan yang dilakukan Rasulullah SAW terhadap kaum Muslimin pada masanya.
Namun, sesudah Nabi SAW wafat, pada faktanya umat Islam dilanda perpecahan. Intrik politik dan perebutan kekuasaan menghiasi lembaran sejarah peradaban kaum Muslimin pasca masa-beliau.
Satu di antara noktah-noktah yang kerap diungkit adalah perselisihan yang melibatkan sejumlah sahabat dan tabiin. Rentetan pertikaian itu menimbulkan perdebatan panjang dan memunculkan bentrok yang tegas antara dua kubu hingga kini, yaitu Sunni dan Syiah.
Masing-masing pihak mempunyai paradigma dan perspektif yang--sebagaimana ungkapan bijak--jauh api dari panggangnya. Nyaris tak bertemu. Khususnya bagi Syiah pada umumnya, bentrok itu dianggap sebagai penyebab, kenapa sejumlah sahabat layak disalahkan atas kejadian yang menimpa Ali bin Abi Thalib dan segenap keluarganya.
Mengutip sejumlah literatur utama Syiah, seperti Al-Fushul al-Muhimmah fi Ushul al-A'immah, Majma' al-Faidah, dan Manhaj al-Faqahah, para sahabat itu dianggap melakukan fasik, bidah, alias bahkan--pada titik tertentu--telah kafir. Sikap itu merujuk pada "hadis" dalam tradisi Syiah bahwa Rasulullah SAW diyakini pernah menyerukan, jika muncul para mahir bidah, maka sering-seringlah mencaci maki mereka.
Namun, tidak demikian dalam tradisi Sunni. Para sahabat Rasulullah SAWtetap menyandang gelar 'udul, ialah berintegritas, dan kredibel, meski mereka terlibat dalam bentrok pasca-wafatnya Nabi SAW. Sunni memandang, posisi sahabat sangat strategis dan vital.
Bangunan risalah yang diturunkan dari Rasulullah SAW secara turun menurun memosisikan sahabat sebagai muara dan hulunya. Menyerang sahabat sama saja meruntuhkan fondasi itu.