Mengenal Nama Allah “al-‘adl”

May 03, 2025 11:00 AM - 3 minggu yang lalu 25555

Salah satu nama Allah yang menunjukkan kesempurnaan sifat-Nya adalah Al-‘Adl, ialah Dzat yang Mahaadil. Nama ini menunjukkan bahwa semua ketetapan Allah, baik dalam ciptaan-Nya, syariat-Nya, maupun jawaban di akhirat, pasti berasas keadilan yang sempurna. Allah tidak pernah menzalimi makhluk-Nya sedikit pun, dan tidak ada satu pun kebaikan yang terlewat dari perhitungan-Nya.

Dalam tulisan ini, kita bakal membahas seputar nama Allah Al-‘Adl: dalil-dalil yang menunjukkan nama ini dan pandangan para ustadz mengenainya; kandungan makna nama Al-‘Adl; dan gimana pengaruh alias akibat dari mengenal nama ini dalam kehidupan seorang hamba.

Dalil nama Allah “Al-‘Adl”

Nama Al-‘Adl tidak disebut secara definitif sebagai nama Allah dalam Al-Quran, dan tidak ada sabda sahih yang secara jelas menetapkannya sebagai nama. Namun, nama ini muncul dalam sabda penghimpunan nama-nama Allah yang terkenal, yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya. Para ustadz telah membahas sabda tersebut dan melemahkan penisbahan penyebutan nama-nama tersebut secara langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ash-Shan‘ani rahimahullah berkata,

اتفق الحفاظ أن سردها –أي عد أسماء الله تعالى في الحديث- إدراج من بعض الرواة.

“Para mahir sabda sepakat bahwa penyebutan berurutan nama-nama Allah dalam sabda itu merupakan sisipan dari sebagian perawi.” [1]

Namun demikian, kata al-‘Adl disebutkan dalam Al-Quran sebagai sifat yang melekat pada kalimat-kalimat Allah, seperti dalam firman-Nya,

وتمت كلمة ربك صدقاً وعدلاً

“Dan telah sempurna kalimat Tuhanmu (yang berupa janji dan ancaman) dalam kebenaran dan keadilan.” (QS. Al-An‘ām: 115)

Selain itu, telah diketahui dengan pasti bahwa Allah Ta‘ala disifati dengan keadilan dalam perbuatan-Nya. Dalam sabda sahih riwayat Bukhari (no. 3150) dan Muslim (no. 1062) dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, tentang seseorang yang memprotes pembagian kekayaan rampasan perang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يَعْدِلْ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Siapa lagi yang bakal bertindak setara jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?” [2]

Oleh lantaran itu, para ustadz berbeda pendapat dalam menghitung (memasukkan) al-‘Adl sebagai bagian dari nama-nama Allah. Sebagian dari mereka memasukkannya ke dalam daftar al-asmā’ al-ḥusnā, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mandah, Ibn al-‘Arabi, Al-Bayhaqi [3], dan Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy [4] rahimahumullah. Wallaahu a’lam.

Kandungan makna nama Allah “Al-’Adl”

Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dulu makna kata “Al-’Adl” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.

Makna bahasa dari “Al-’Adl”

Secara bahasa, al-‘adl ( الْعَدْلُ ) adalah sikap pertengahan (seimbang dan lurus) dalam segala urusan, musuh dari al-jawr ( الْجَوْرِ ), ialah kezaliman. [5]

Al-‘adl dari kalangan manusia berarti seseorang yang terpuji, lurus dalam jalan dan perilakunya. Dikatakan, “Hādzā ‘adl” ( هَذَا ‌عَدْلٌ ) – “Orang ini adalah pribadi yang adil.” [6]

Makna “Al-’Adl” dalam konteks Allah

Tentang makna Al-’Adl dalam konteks ini, Az-Zajjāj rahimahullah mengatakan,

وَالله تَعَالَى عَادل فِي أَحْكَامه وقضاياه عَن الْجور. فأفعاله حَسَنَة وَهُوَ كَمَا قَالَ {وَالله يقْضِي بِالْحَقِّ وَالَّذين يدعونَ من دونه لَا يقضون بِشَيْء}

“Dan Allah Ta‘ala adalah Dzat yang setara dalam seluruh norma dan keputusan-Nya, jauh dari sifat kezaliman. Semua perbuatan-Nya adalah baik, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan Allah menetapkan norma dengan kebenaran, sementara mereka yang diseru selain-Nya tidak dapat menetapkan norma apa pun.’ (QS. Ghāfir: 20)” [7]

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Nūniyyah-nya berkata,

‌والعَدْلُ ‌مِنْ ‌أَوْصَافِهِ فِي فِعْلِهِ … وَمَقَالِهِ والحُكْمِ بالمِيزَانِ

“Keadilan adalah salah satu sifat-Nya dalam perbuatan-Nya, dalam ucapan-Nya, dan dalam keputusan-Nya yang selalu memakai timbangan yang tepat.” [8]

Ketika menjelaskan bait tersebut, Syekh Muḥammad Khalīl Harrās mengatakan, “Dia Subḥānahu disifati dengan keadilan dalam seluruh perbuatan-Nya. Semua perbuatan-Nya melangkah di atas jalur keadilan dan kelurusan, tanpa sedikit pun mengandung unsur kezaliman. Seluruhnya berputar antara karunia dan rahmat, serta antara keadilan dan hikmah.” [9]

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan di akhir kitab tafsir beliau, ketika menjelaskan dua nama Allah Al-Hakam dan Al-’Adl; beliau mengatakan, “(Allah adalah) al-Ḥakam (Dzat yang memutuskan hukum), al-‘Adl (Dzat yang Mahaadil), yang menetapkan norma di antara hamba-hamba-Nya di bumi dan alambaka dengan keadilan dan keseimbangan-Nya. Dia tidak menzalimi meski seberat dzarrah, tidak membebani seseorang dengan dosa orang lain, tidak menghukum melampaui dosa yang dilakukan, dan Dia memberikan kewenangan kepada pemiliknya — tidak membiarkan satu pun orang yang berkuasa tanpa diberikan haknya. Dialah al-‘Adl dalam pengaturan dan ketetapan-Nya. Firman-Nya (yang artinya), {Sesungguhnya Rabbku berada di atas jalan yang lurus} (QS. Hūd: 56).” [10]

Dengan demikian, al-‘Adl dalam kewenangan Allah berfaedah bahwa seluruh keputusan, perbuatan, dan ketetapan-Nya sempurna dalam keadilan, tidak ada satu pun yang mengandung kezaliman alias penyimpangan. Wallaahu a’lam.

Konsekuensi dari nama Allah “Al-’Adl” bagi hamba

Penetapan nama “Al-’Adl” bagi Allah Ta’ala (bagi yang menetapkannya) dan sifat ‘Adl bagi-Nya, mempunyai banyak konsekunsi. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:

Beriman bahwa ‘adl (keadilan) merupakan salah satu sifat Allah

Hal ini berasas hadis-hadis yang sahih, di antaranya sabda dari Abdullah bin Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, sebagaiman telah di sampaikan di pembahasan sebelumnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فمَن يَعْدِلُ إذا لم يَعْدِلِ اللهُ ورسولُه؟

“Siapa lagi yang bakal bertindak setara jika Allah dan Rasul-Nya tidak adil?!” (HR. Bukhari no. 3150 – lafaz ini milik Bukhari, dan Muslim no. 1062)

Sifat keadilan ini adalah sifat dzātiyyah (melekat pada Dzat-Nya). Maksudnya, Allah senantiasa dan selamanya berkarakter dengan keadilan. Tidak pernah ada waktu di mana Allah tidak berkarakter adil, dan tidak bakal ada masa di mana keadilan-Nya lenyap. [11]

Beriman bahwa Allah menegakkan keadilan dalam syariat, ciptaan, dan balasan-Nya

Allah adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam seluruh perkara: dalam hukum yang Dia turunkan, dalam pembuatan makhluk-Nya, dan dalam pemberian jawaban atas kebaikan perbuatan.

Syekh As-Sa‘di rahimahullah dalam tafsirnya terhadap firman Allah Ta‘ala,

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan yang betul selain Dia, (demikian pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu – (semuanya bersaksi bahwa Dia) menegakkan keadilan. Tidak ada sesembahan yang betul selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Āli ‘Imrān: 18);

beliau mengatakan, “Adapun al-qisṭh (keadilan) adalah keadilan yang sempurna. Allah Ta‘ala adalah Dzat yang menegakkan keadilan dalam syariat-Nya, dalam penciptaan-Nya, dan dalam pembalasan-Nya. Semua ibadah dan muamalah yang disyariatkan, serta seluruh perintah dan larangan, adalah setara dan seimbang. Tidak ada kezaliman padanya dalam corak apa pun. Bahkan, seluruhnya disusun dengan sangat rapi dan penuh hikmah.

Adapun jawaban atas kebaikan perbuatan juga melangkah antara dua hal: (1) karunia dan kebaikan Allah kepada orang-orang yang bertauhid dan beriman, dan (2) keadilan-Nya dalam menghukum orang-orang kafir dan durhaka. Allah tidak mengurangi sedikit pun dari kebaikan mereka, dan tidak menghukum mereka selain atas dosa yang mereka lakukan, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), ‘Dan seseorang tidak bakal memikul dosa orang lain.’ (QS. Al-An‘ām: 164).” [12]

Berlaku setara dan menjauhi kezaliman

Allah Ta‘ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertindak setara dan melarang segala corak kezaliman. Perintah ini bertindak umum, baik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada seluruh makhluk-Nya.

Allah berfirman,

وَأُمِرْتُ لأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ

“Dan saya diperintahkan untuk bertindak setara di antara kalian.” (QS. Asy-Syūrā: 15)

Dan firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) untuk bertindak setara dan melakukan ihsan.” (QS. An-Naḥl: 90)

Sebaliknya, musuh dari keadilan adalah kezaliman, dan dia merupakan kegelapan di hari kiamat. Allah Ta‘ala telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya sendiri, dan mengharamkannya pula di antara sesama hamba. Orang kejam tidak bakal beruntung, sebagaimana dalam firman-firman-Nya,

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang kejam tidak bakal beruntung.”  (QS. Al-An‘ām: 21)

Dan tidak diragukan lagi bahwa corak kezaliman paling besar adalah syirik kepada Allah, sebagaimana firman-Nya,

لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Janganlah Anda mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqmān: 13) [13]

Takut kepada hari kiamat

Salah satu pengaruh dari mengenal nama Allah Al-‘Adl adalah timbulnya rasa takut terhadap hari kiamat. Sebab pada hari itulah keadilan yang sejati bakal ditegakkan, bukan di bumi yang sering dipenuhi oleh kezaliman dan ketimpangan.

Allah Ta‘ala berfirman,

وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ

“Dan timbangan pada hari itu adalah kebenaran (yang adil).” (QS. Al-A‘rāf: 8)

Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya di surah Āli ‘Imrān menjelaskan bahwa hari hariakhir (qiyaamah) dinamakan demikian lantaran tiga hal:

Pertama: manusia bangkit (qiyaam) dari kubur mereka,

Kedua: para saksi (malaikat dan lainnya) berdiri (qiyaam) untuk memberikan kesaksian,

Ketiga: ditegakkan (qiyaam) keadilan secara sempurna.

Beliau menyebut firman Allah,

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

“Dan Kami bakal tegakkan timbangan-timbangan yang setara pada hari kiamat, maka tidak ada satu jiwa pun yang bakal dizalimi sedikit pun. Dan jika (amal itu) seberat biji sawi pun, pasti Kami bakal mendatangkannya. Dan cukuplah Kami sebagai Penghisab.” (QS. Al-Anbiyā’: 47) [14]

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang bertindak adil, dan lindungilah kami dari kezaliman di bumi dan akhirat.

***

Rumdin PPIA Sragen, 20 Syawal 1446

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel Kincai Media

Catatan kaki:

[1] Subul as-Salam, 4: 108.

[2] https://islamqa.info/ar/answers/104488/

[3] Asmā’ Allāh al-Ḥusnā karya ‘Abdullah bin Shāliḥ al-Ghashn, hal. 334.

[4] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948.

[5] Al-Miṣbāḥ al-Munīr, hal. 398.

[6] Maqāyīs al-Lughah, hal. 646.

Ibnu Faris rahimahullah menyebutkan bahwasanya kata ini mempunyai dua akar makna yang berlawanan. Salah satunya menunjukkan makna ‘keseimbangan’ dan yang lainnya menunjukkan ‘penyimpangan’. Lihat juga Isytiqāq Asmā’ Allah, hal. 69.

[7] Tafsīr Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, hal. 44.

[8] Nūniyyah Ibn al-Qayyim, bait ke-3334.

[9] Syarḥ an-Nūniyyah, 2: 98; dinukil dari https://dorar.net/aqeeda/735/

[10] Taysīr al-Karīm ar-Raḥmān, hal. 948.

[11] https://islamqa.info/ar/answers/353989/

[12] Taysīr al-Laṭīf al-Mannān, hal. 20.

[13] https://www.alukah.net/sharia/0/30319/

[14] Tafsir Al-’Utsaimin – Surat Ali ‘Imran, hal. 442.

Selengkapnya