Mengenal Nama Allah “al-fattah”

Feb 01, 2025 06:00 AM - 1 minggu yang lalu 12446

Ketahuilah, bahwa Al-Fattāḥ sejatinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia adalah Zat Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Ia adalah Sebaik-baik Pembuka. Al-Fattāḥ adalah salah satu dari nama-Nya yang agung lagi mulia. Wajib bagi setiap muslim untuk beragama kepada Allah ‘Azza Wajalla dan beragama kepada seluruh asmaul husna. Termasuk nama-Nya yang mulia dan kudu diimani adalah Al-Fattāḥ. Dengannya, seseorang bisa bertabaruk alias mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beragama kepada-Nya. Hal ini sebagai corak pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا

“Dan hanya milik Allahlah asmaul husna (nama-nama yang terindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna.” (QS Al-A’raf: 180)

Berdoa kepada Allah Tabāraka Wata’ala dengan nama-nama-Nya yang Ia tetapkan mencakup dua hal: ialah angan ibadah (du’aul-‘ibadah) dan angan permintaan (du’aul-mas’alah). Doa ibadah meliputi pemahaman terhadap nama-nama tersebut dan mengetahui makna yang terkandung dari nama tersebut, serta menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Kemudian, diwujudkan dalam corak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah Tabāraka wa Ta’ala sesuai dengan apa yang diwajibkan dan dikehendaki oleh-Nya. Inilah corak merealisasikan keagamaan terhadap nama Allah tersebut.

Nama Allah Tabāraka Wata’ala, Al-Fattāḥ, disebutkan di dalam Al-Qur’an di dua tempat. Pertama, firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam sebuah angan yang dipanjatkan oleh Nabi Syuaib ‘alaihissalam,

رَبَّنَا ٱفْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِٱلْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْفَٰتِحِينَ

“Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan kewenangan (adil) dan Engkaulah Sebaik-baik Pemberi Keputusan.” (QS Al-A’raf: 89)

Kedua, dalam firman-Nya Tabāraka Wata’ala,

قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَهُوَ ٱلْفَتَّاحُ ٱلْعَلِيمُ

“Katakanlah, ‘Rabb kami bakal mengumpulkan kami semua, kemudian Ia bakal memberikan keputusan antara kami dengan kebenaran. Dan Ialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.’” (QS Saba’: 26)

Nama Allah Jalla Wa’ala, Al-Fattāḥ, menunjukkan bahwa Allah Jalla Wa’ala mempunyai sifat al-fatḥ, ialah pembuka alias pemberi keputusan. Dan sifat yang agung ini mencakup beragam makna sebagaimana yang disebutkan oleh para ustadz dari beberapa aspek. Di antaranya:

Pertama: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berasas syariat-Nya.

Kedua: Allah Jalla Wa’ala memutuskan perkara dengan keadilan-Nya di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan balasannya.

Ketiga: Allah Tabāraka Wata’ala memutuskan di antara hamba-hamba-Nya berasas hukum-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

مَّا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيم

“Apa yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang bisa menahannya. Dan apa yang Allah tahan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup untuk melepaskannya setelahnya. Ialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Fatir: 2)

Kiat pertama dalam perihal ini adalah siapa pun yang mau menjadi kunci pembuka pintu kebaikan, maka dia kudu beragama kepada Al-Fattāḥ, kepada Sebaik-baik Pembuka, ialah Allah Jalla Wa’ala, dengan memohon kepada-Nya, merendahkan diri disertai ketundukan di hadapan-Nya, berambisi bakal rahmat dan karunia-Nya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran kepada-Nya.

Allah ‘Azza Wajalla tidak bakal pernah mengecewakan seorang hamba yang senantiasa memohon kepada-Nya, dan tidak bakal menolak seorang mukmin yang berambisi kepada-Nya dan memohon rahmat dan karunia-Nya.

Maka, segala corak pembukaan maupun pemutusan perkara itu berasal dari Allah Jalla Wa’ala. Ialah yang membukakan untuk kita segala hal, baik berupa pengetahuan yang bermanfaat, kebaikan saleh, dan adab yang mulia.

Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf,

إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله تبارك وتعالى إذا أحب عبده وهبه إياها والله عز وجل قسم بين العباد الأخلاق ، والأرزاق والأعمال والأعمار وكل شيء منه جلّ وعلا

“Sesungguhnya adab yang mulia adalah pemberian dari Allah. Jika Allah Tabāraka Wata’ala mencintai seorang hamba, Ia bakal menganugerahkan adab mulia itu kepadanya. Dan Allah ‘Azza Wajalla telah membagi kepada hamba-hamba-Nya berupa akhlak, rezeki, amal, umur, dan segala perihal yang berasal dari-Nya.”

Sehingga, kiat yang pertama ini adalah corak bertawakal diri secara totalitas kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan mustahil bagi seseorang bisa memperoleh ilmu, memahaminya, mencapai adab yang mulia, melaksanakan ibadah, maupun meraih hal-hal yang lainnya, selain jika Allah telah membukakan jalan baginya.

Betapa indahnya perkataan Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir, salah seorang ustadz tabi’in rahimahullah, yang berbicara dengan perkataan yang sangat menakjubkan,

لو أخرج قلبي وجُعل في يساري وجيء بالخيرات كلها وجُعلت في يميني لم أستطع أن أجعل شيئا من هذه الخيرات في قلبي إلا أن يكون الله الذي يضعها

“Seandainya hatiku dikeluarkan dan diletakkan di tangan kiriku, lampau seluruh kebaikan dibawa dan diletakkan di tangan kananku, saya tidak bakal bisa memasukkan satu pun dari kebaikan itu ke dalam hatiku, selain jika Allah yang meletakkannya.” (Hilyatul-‘Auliyā’, 2: 201 dan Siyar A’lam An-Nubala, 4: 190)

Maka, segala urusan itu semuanya ada di tangan Allah Tabāraka Wata’ala.

Oleh lantaran itu, terkadang ada seseorang yang mendengar nasihat-nasihat yang penuh dengan manfaat, baik untuk urusan agamanya maupun dunianya. Lalu, dia mendengar tentang pintu-pintu kebaikan, kebaikan saleh, dan keberuntungan. Akan tetapi, justru jiwanya condong menolak, menjauh, menyimpang, dan tidak termotivasi untuk beramal alias bersedekah. Jadi, segala keberhasilan dan taufik hanya ada di tangan Allah Jalla Wa’ala. Tidak ada daya dan kekuatan selain dengan pertolongan-Nya.

***

Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi, A.Md.

Artikel: KincaiMedia

Referensi:

Kitab Kaifa Takunu Miftāhan lil-Khair, karya Syekh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 9-12.

Selengkapnya